Kamis, 15 November 2018

Jerawat Santri

Sumber Gambar : Internet
Ada-ada di Balik Jerawat Satu

Bel tanda pengajian klasikal sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Teman-teman kamar Una juga sudah berhamburan menuju tempat klasikal masing-masing. Tapi, Una masih sibuk mengaduk-aduk isi almari kotaknya, mencari-cari kitab Fathul Qarib yang akan dikajinya pagi itu. Benar-benar merepotkan kalau punya kebiasaan lupa apalagi jarang menata isi almari. Padahal almarinya nggak gede -gede amat. Hanya dua lapis rak. Yang atas untuk menyimpan buku, yang bawah untuk tempat pakaian.
“Kitabmu, Un!” sebuah teriakan dari luar meredakan ketegangan Una. Ia segera menutup pintu almarinya dan berlari menyongsong keluar.
Fathul Qarib bukan?”
“Nih, kleleran di dampar. Untung nggak di atas baduk. Bisa menumpuk tagihan dendaan kamu.”
Una melengos sambil menerima kitabnya yang bersampulkan kertas teh dari tangan Upik. Tanpa basa-basi ia langsung mengeluarkan jepitnya dari kotak sandal, dan berlari tergesa -gesa menuju kompleks Abjad. Melewati beberapa kelas pengajian yang tampak sudah mulai dengan aktivitas baca dan maknani.
Fashlun ai hadza fashlun, utawi iki iku ono fasal. Fi bayani ahkamil haidhi ing ndalem nerangaken hukume haidh wannifasi lan nifas walistihadhati lan istihadhah,” suara Ning Ummah, pengampu pelajaran fikih di kelas IIIA sayup-sayup menyapa telinga Una.
Una menunduk, menyembunyikan rasa malunya karena untuk kesekian kali harus menjadi murid terakhir yang memenuhi teras kompleks Abjad. Untung ia bisa masuk ke ruang kelas yang terbuka itu dari belakang. Meskipun bisa dilihat dengan jelas oleh Ning Ummah dari tempat duduknya, ia tak perlu merasa risih sudah menarik perhatian teman-teman sekelasnya.
“Halaman berapa?” bisiknya pelan.
 “Baru juga dimulai. Masih sama dengan yang kemarinlah.”
Una mencibir sambil memosisikan duduk lesehannya lebih mendekat ke samping Mahsa. “Besok lagi aku nggak mau kamu ajak curhat -curhatan di pemean. Jadi nggak dengar kalau ada bel!”
“Dengar aja! Buktinya aku nggak tel at. Dasar kamunya yang nggak cekatan, terlalu banyak dandan,” Mahsa membela diri.
“Eit. Bukannya yang suka dandan itu kamu?” “Tapi, biar begitu aku kan tepat waktu…” “Sssttt…!”
Secara bersamaan Una dan Mahsa menoleh ke arah Ida yang kebetulan duduk di depan mereka.
“Debatnya nanti aja! Topik ngajinya kita banget nih. Sayang kalau dilewatkan!”
“Apaan sih, Da. Kita banget?” Una bingung. Kelihatan dari ekspresi matanya yang berkedip-kedip.
Ida membalikkan punggung, siap-siap mau menjelaskan.
“Nggak usah. Aku sudah paham,” tolak Mahsa yang membuat Una kian bloon. Mahsa geleng-geleng kepala. “Kamu mau aja dikerjain Ida. Topiknya emang kita banget. Nih baca, tentang macam darah yang kita produksi…”
What? Kita memproduksi darah? Darah merah sama darah putih maksudmu?”
“Una! Sekarang pelajaran fikih bukan biologi. Lihat dong kitab kamu!”
Una cengengesan. Maksudnya sih bergurau. Ia tahu kok kalau yang dimaksud Mahsa atau pembahasan Fathul Qarib pagi itu adalah soal haid, nifas, dan istihadhah. Tiga macam darah yang diproduksi oleh perempuan. Sudah berkali-kali ia mendengar keterangan itu. Sebut saja dari kitab Mabadiul Fiqhiyyah yang ia kaji sampai hatam juz 4 di klasikal tingkat I dan II, kitab Sulam, bukan kitab sulam-menyulam melainkan Sulamu at-Taufiq, sampai ad-Durusu al-Fiqhiyyah al-Halaqah ar-Rabiah yang ia ikuti pas Ramadhanan di pondok. Tak ada yang berbeda. Macam darah yang keluar dari farji perempuan tetap tiga…
“Berapa ya rata-rata umur kalian?” suara Ning Ummah membuyarkan pikiran Una yang mengembara dari kitab satu ke kitab yang lain.
“Lima belas tahun, Ning!” serempak teman-teman Una menjawab.
“Nah, kalau di sini disebutkan bahwa usia datangnya haidh adalah sembilan tahun, berarti kalian sudah haidh semua kan?”
“Sudaaahhh!” jawaban kompak kembali terdengar dari kelas IIIA. “Ada yang belum haidh?”
Semua menggeleng. Ning Ummah tersenyum. Untunglah cucu Mbah Nyai itu tidak meneliti lebih jeli lagi. Tempat duduknya terlalu jauh untuk bisa melihat dengan jelas siapa yang tidak menggelengkan kepala. Una menunduk, pura-pura menekuni buku besar kuning di hadapannya. Meski sudah berkali-kali ia mengaji fikih dan membahas soal haidh, baru kali ini ia merasa begitu kecil dan paling kecil di antara teman -teman sebayanya.
“Tapi, tidak mesti tepat usia sembilan tahun lho. Di sini ada keterangan faaktsar. Jadi, bisa lebih dari sembilan tahun,” tambah Ning Ummah.
Una masih menunduk, belum berani mengangkat wajahnya.
“Kamu dulu dapat haidh umur berapa?” Zahroh menoleh ke arah Mahsa.
“Sepuluh tahun.”
“Kamu, Un?”
Una pura-pura tersenyum, “Kamu nggak yakin dengan keteranga kitab ini ya? Kok pakai nanya-nanya lagi?”
Mahsa cekikikan, tapi ditahan kuat -kuat. “Sudah. Bilang aja kamu belum pernah dapat.”
“Heh?” Zahroh mendelik, lalu menoleh lagi ke arah Mahsa, “Yang bener?”
“Ya bener aja. Jerawatan aja belum pernah apalagi haid. Ya kan, Un?” balas Mahsa tanpa beban.
Una tak lagi bisa mengeluarkan kata-kata. Ia cuma melirik jengkel ke arah Mahsa, lalu kembali menekuni kitabnya dengan bibir ditekuk.
Hoho, Una ngambek nih. Mahsa sih pakai nyinggung -nyinggung soal yang satu itu. Padahal, entah kenapa setiap kali Una mendengar ledekan jenis itu rasanya agak gimana gitu. Seperti dianakkecilkan dan dihinakan. Apalagi kalau ada yang terang-terangan berteriak keheranan di tempat umum, “Kelas III MTs belum haid?” Duh, rasanya cewek 15 tahun itu
kehilangan muka. Malu banget. Meskipun ia tahu betul kalau usia datangnya haid tidak bisa disamaratakan setiap individunya. Malah yang usianya di atas Una tapi belum haid juga ada kok!
Tiga bulan yang lalu Una agak legaan karena selain dirinya, Uswah dan Atik, teman sekamarnya yang kelas I MTsN itu juga belum haid. Tapi, pertengahan bulan ini secara berurutan Uswah kedapatan haid, seminggu kemudian Atik menyusul. Walhasil, di antara 30 anak yang menghuni kamar Pena 4, kamar yang Una tinggali sejak pertama masuk Pondok Pesantren Sang Pecinta Manahijul Muridin Kalirandu Mojokerto, cuma dirinya saja yang masih berplat putih. Atau kata teman -teman kamarnya, betul-betul SMP alias “Santri Masih Putih”.
Untunglah Una tak begitu ambil pusing kalau sekali waktu ada slentingan kayak gitu. Not responding dengan gojlokan teman-teman kamarnya. Apalagi ia sudah tiga tahun bergaul dengan mereka. Setiap sesuatu pasti akan ada waktunya, begitu ia berkeyakinan. Meski kadang ia iri dengan Aida, Anizqi, Lilik, dan Mike yang sudah mens sejak mereka kelas VI MI. Sekarang keempat teman sekamarnya itu sudah duduk di kelas I Muallimat.
“Halo, Manis. Abis ngaji kok manyun gitu?” Adawiyah tiba -tiba sudah menjajari langkah Una. Ia sudah rapi dengan jilbab dan stelan baju panjangnya. Ia adalah anggota seksi Pengabdian Masyarakat di pondok yang salah satu programnya melibatkan diri dalam kegiatan Posyandu di desa Kalirandu.
“Mau Posyandu, Mbak?”
“Nggak dong. Kan baru hari Senin. Aku sekarang mau ke pasar nderekke Mbah Nyai, sekalian beli bahan-bahan untuk bikin bubur kacang ijo. Biasa, makanan tambahan buat balita. Eh, jangan lupa, besok Jumat ikutan yandu ya. Zila sama Iswati sudah aktif lho!”
Una menggigit bibir. Entah tiba-tiba ia tidak ada mood lagi mendengar istilah Posyandu dari mulut Adawi. Sudah kebawa suasana sakit hati ya, Non! Padahal tiga bulan yang lalu dengan semangat 45 ia mendaftar ketika seksi Pengabdian Masyarakat pasang iklan butuh relawan. Pakai tes-tesan segala lagi. Dan ternyata, meskipun belum lulus MTs, ia lolos seleksi. Padahal Zila dan Iswati, juga anak -anak Posyandu yang lain, rata-rata sudah MAN.
“Besok aku absen dulu ya, Mbak. Belum ada persiapan sih…
“Kamu itu kayak mau ujian aja. Tugas kita nggak serumit itu kok.
Cuma nyatet-nyatet gitu!” potong Adawi.
“Em…,” Una mikir, cari-cari alasan lagi. “Tapi, besok siang aku ada rapat panitia Muwada’ah di sekolah!”
“Oh, ada rapat? Ya udah, kalo gitu. Tapi, bulan depan ikut ya?” Adawi menowel pipi murid kelas III MTs Plus itu gemas.
Una mengangguk pelan sambil mengelus bekas towelan Adawi di pipinya. Emang pipiku cabi? Una membatin.
Adawi segera membalikkan punggung, meninggalkan Una menuju kantor pondok. Semerbak wangi parfum masih lekat di hidung Una. Dari belakang langkah kakak seniornya itu kelihatan anggun. Postur dan besar tubuhnya tempak serasi dan ideal. Tidak terlalu menonjol pada bagian tertentu. Meskipun pakaiannya tidak longgar-longgar banget.
“Hm…, Mbak Adawiyah pasti sudah mens,” simpul Una kagum lalu meneruskan langkah menuju kamarnya.

dua

Lima menit lagi Una akan ketinggalan pelajaran pertama yang dimulai tepat jam setengah satu siang. Begitulah Una, selalu telat. Tidak ngaji, tidak sekolah. Salah lokasi sekolahnya juga yang persis di dekat gerbang yayasan, jauh dari pondok-pondok mana pun. Apalagi pondok Una letaknya mentok di sebelah utara, sedangkan gedung sekolahnya di sebelah barat. Lima ratusan meter jauhnya.
Pondok Una secara struktural memang bernaung di bawah Yayasan Manahijul Muridin, bersama ke-11 pondok lainnya. Hanya saja pondok-pondok itu bersifat otonom dan diasuh oleh kiai dan nyai yang berbeda. Dari ke-12 pondok, 3 pondok menerima santri putera dan puteri, 4 pondok hanya menerima santri putera, dan 5 pondok, termasuk pondok Una, hanya menerima santri puteri.
Selain banyak pondok, di Manahijul Muridin juga terdapat bermacam - macam lembaga pendidikan formal. Dari MI, MTsN, MTs Plus, SMP, MAN, MAPK, SMA, Sekolah I’dad Perguruan Tinggi, sampai Muallimin Muallimat Atas yang 6 tahun itu. Itu masih ditambah dengan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Manahijul Muridin.
“Un, tunggu!”
Una menoleh. Syukurlah ia tak benar-benar sendirian. Ziyan tampak berlari-lari kecil mengejar langkahnya.
“Jam pertama Pak Huda ya?”
“Iya. Tapi, semoga aja kosong,” Una terkikik. “Tumben kamu telat?”
“Mandinya pada lama-lama sih. Apalagi yang lagi pada mens, mana nggak mau ngalah. Jadinya aku juga telat jamaah!”
Una terdiam, tapi kemudian cuma berkomentar, “Oooh.” Pertanda kalau ia sudah jatuh semangat untuk meneruskan obrolan. Gara -gara jawaban Ziyan yang ternyata malah memaksa ingatannya kembali memikirkan menstruasi. Aduh, kenapa buntutnya lari ke situ terus sih! Enggak pagi enggak siang. Una jadi keki.
“Kamu sendiri, kok telat?”
“Bangunnya kesiangan!” jawab Una singkat dan padat.
“Tapi nggak telat jamaah kan?”
Una menggeleng. “Aku shalat dulu, baru mandi.”
Ziyan menyimpan senyum, “Yang bener? Jangan -jangan kamu nggak mandi?” Ia mengamat-amati wajah Una. “Tuh, pipi sama hidung kamu kok berminyak gitu?”
“Ye, sembarangan!” Una mengusap pipi dan hidungnya.
“Atau, nggak sempat pakai bedak ya?”
Una mencibir. “Suka-suka aku. Sudah ah, yuk buruan,” ia mengalihkan perhatian. Membiarkan teman satu pondoknya itu mencari jawabnya sendiri. Ia semakin mempercepat gerak kakinya. Karena tinggal beberapa langkah lagi ia sampai di halaman MTs Plus yang terbuka tanpa gerbang itu.
Dan, rupanya siang itu keberuntungan sedang berpihak ke mereka. Pak Huda izin tidak masuk karena sakit. Meskipun sama saja, karena pengajar Matematika itu menitipkan pekerjaan sekolah dan harus diselesaikan sebelum jam pertama dan kedua habis.
“Eh itu anak Al-Maun lho?”
“Emang iya?”
“Eeh, nggak percaya. Dia kan pernah ngisi latihan qira’ah di pondokku,” jelas Esti bangga.
“Nah, kalau yang ini… Firman?”
“Aku nggak tahu…,” Esti menjawab dengan tangan terus mengurut nama-nama yang tercantum di denah kelas, dari kanan ke kiri. “Hei, bangkuku diduduki sama Firdaus. Namanya cakep lho, secak ep orangnya nggak ya?”
“Itu kan masnya Dwi, ya kan?” Nurul melirik cewek berkacamata minus di belakangnya.
“Nggak-nggak. Nurul bohong!”
“Kalau aku kenalnya sama Dalhar. Dia tetanggaku.”
“Yang mana, yang mana…,” hampir bersamaan teman -teman Una itu maju. “Oh, sebangku sama Dwi. Suit-suit!” teriak mereka bareng-bareng. Membuat pipi cewek yang bernama lengkap Dwi Kurnia Rahmani itu jadi memerah.
Una mengerutkan kening, heran melihat tingkah teman -temannya. Belum sempat ia menyalin soal Matematika yang ditulis di papan, mereka
langsung berhamburan ke depan kelas. Tepatnya ke sebelah kiri meja guru. Secara bersamaan, malah sampai berebutan, mereka meneliti secarik karton yang terpasang di dinding.
“Ada apaan sih? Bukannya mengerjakan soal, malah ribut -ribut gitu!” ia mencolek lengan Mahsa.

“Kok colak-colek. Sudah nggak marah lagi nih, soal usia sembilan tahun?” ledek Mahsa sambil berkutat dengan buku tulisnya.
Una mencibir.
“Kamu sih telat datangnya. Nggak tahu ada kabar bagus di kelas kita.”
“Kabar apa?” Una tambah penasaran.
“Kita sekarang nggak janda lagi. Yah, meski bukan sama -sama dari MTs Plus, anak-anak Sekolah I’dad Perguruan Tinggi kan keren juga buat dikecengin.”
“Mereka mau sekolah bareng kita?”
“Ya nggaklah. Mereka sekolahnya tetep pagi, hanya saja se karang meminjam kelas kita ini. Gedung sekolah mereka kan lagi dibangun. Nah, kalau kamu tertarik untuk cari pasangan, silakan lihat di denah kelas di depan itu. Kamu bisa tahu siapa-siapa saja yang duduk di bangku-bangku kita kalau pagi. Termasuk cowok yang memakai bangku yang kamu duduki sekarang.”
Una manggut-manggut. Setelah sekian lama ia cuma dengar kabar soal surat-suratan di laci meja dari anak MTsN, sekarang MTs Plus kebagian kesempatan juga. Meski dengan anak I’dad putera yang masuk pagi. Maklum, murid MTs Plus kan cewek semua. Berbeda dengan MTsN yang putera-puteri.
“Sana gih, kamu lihat pasangan dudukmu. Siapa tahu jadi kenalan baik, kan bisa mengisi daftar inventarismu yang kosong. Paling tidak, kalau aku cerita Raziv, kamu bisa cerita soal cow ok itu,” Mahsa melancarkan provokasi.
Di banding Una, Mahsa emang jauh lebih gaul. Maksudnya, sering terlibat dalam kepanitiaan gabungan antara MTsN dan MTs Plus. Misalnya saja acara PHBI dan lomba-lomba. Makanya tak heran kalau ia lebih banyak menginventaris nama-nama anak putera daripada Una yang sama sekali tak punya. Salah satu nama yang akhir -akhir ini sering
dicurhatkannya ke Una adalah Raziv. Cowok Madura yang duduk di kelas IIIA MTsN itu kata Mahsa begitu menarik. Entah benar atau tidak, Una belum pernah membuktikannya sendiri.
“Malas ah. Kayak kurang kerjaan aja!”
“Payah kamu!” mulut Mahsa monyong. Tapi, kemudian ia menjentikkan dua jarinya. “Nah, kalau yang ini malas, berarti besok Jumat jadi dong ikut rapat panitia Muwada’ah?”
Una mikir-mikir, “Mm, Muwada’ah? Gimana ya? Malas repotnya.”
“Yah, Una! Bukan repotnya yang harusnya kamu bayangin. Tapi, seru dan kenangan indahnya itu lho…”
“Dari MTs Plus berapa anak sih?”
“Lima belas anak. Gimana? Oke ya?”
Una mengangguk malas-malas.
“Nah, gitu dong. Sudah waktunya kamu tuh mengenal lawan jenismu. Biar referensimu nggak cuma cewek tok. Salah -salah, jadi SSJ.”
“SSJ?”
“Suka Sesama Jenis, hiiii.”
Una melotot. Bersamaan dengan masuknya Bu Inayah, pengajar bahasa Inggris, membawa setumpuk buku tulis di tangan.


tiga

Una meraih lembar presensi yang ada di depannya. Hampir semua undangan yang hadir sudah membubuhkan tanda tangan. Bentuknya macam-macam. Ada yang pakai huruf Arab dan dimulai dari arah kanan. Ada yang mlungker-mlungker standar rambut ikal. Ada yang cuma memindah nama dengan garis di bawahnya. Tapi maaf, semuanya biasa - biasa saja.
“Sini, Un. Aku lihat dulu.”
“Bentar. Aku tanda tangan dulu,” jawabnya sambil mencari -cari nama Launa Zidka di lembar presensi. Ini dia. Urek -urek jebret. Segaris tanda tangan unik sudah digoreskan Una pada kolom di sebelah namanya.
“Jelek banget tanda tanganmu,” Mahsa berkomentar sesaat, kemudian mengamati satu per satu nama yang tertulis di lembar presensi. Una diam saja. Ia sudah kebal dengan komentar -komentar dari Mahsa. “Eh, Raziv juga dateng!”
Una melengos. “Dari awal rapat aku juga sudah tahu! Masak kamu nggak dengar sih logat Madura di ruang sebelah?” ucapnya ngawur.
“Tadi bukan Raziv. Dari suaranya aja aku tahu kalau yang ngomong tadi si Fuad!”
Una sudah mengira, jurus ngawurnya ditanggapi serius sama Mahsa. Pantesan Mahsa belum mau konser suara. Yang ngomong tadi Fuad. Buat Una sih, suara Fuad dan Raziv nggak ada bedanya. Apalagi ngomongnya sama-sama pakai bahasa Indonesia khas Madura. Sedangkan wajahnya? Sampai detik ini aja Una belum pernah kedapetan melihatnya.
Harap maklum. Soalnya ruangan rapat untuk putera dan puteri dipisah. Putera di kelas IIIA, puteri di kelas IIIB. Sementara pintu penghubung dua kelas itu dibiarkan terbuka. Jadi, nggak bisa saling lihat. Hanya mendengar suara tanpa rupa. Kecuali dua orang cowok yang duduk di dekat pintu penghubung. Mereka adalah ketua dan sekretaris panitia putera yang sekaligus bertugas jadi moderator.
“Baik, Teman-Teman. Rapat siang ini kita lanjutkan lagi,” terdengar Fathir, sang ketua panitia mulai memperdengarkan suara. “Tadi kita
sudah coba melakukan voting untuk pengadaan seragam. Tapi, hasilnya sama-sama kuat. Nah, sekarang silakan dari panitia puteri, ada masukan…”
Sepi. Tak ada tanggapan. Mahsa masih asyik dengan lambar prese nsi.
Sementara Una sibuk mengibas-ngibaskan ujung jilbabnya. Gerah.
“Ya, Raziv silakan!”
Tiba-tiba Mahsa mengangkat wajah demi mendengar nama Raziv disebut sang moderator. Una ganti meraih lembar presensi itu, buat kipasan maksudnya.
“Bagaimana kalo voting tadi yang kita pakai. Jadi, kita memberi kebebasan ke siswa-siswi apakah mau bikin seragam atau tidak. Daripada berlama-lama begini…”
“Nggak bisa!” tiba-tiba Mahsa nyelonong tanpa disilakan.
“Sebentar dari puteri. Raziv sudah selesai?” Mungkin yang ditany a mengangguk karena kemudian Fathir melanjutkan, “Silakan, Mahsa!”
Sambil kipas-kipas Una tersenyum. Sudah paham kalau Mahsa yang menjabat koordinator seksi Penerima Tamu itu sebenarnya cuma pingin namanya disebut pas ketika Raziv juga mendengarkan. Dan, U na pun bisa menebak kalau Mahsa pasti akan bilang kalau kita harus kompak. Bikin seragam satu ya bikin semua, nggak bikin ya nggak semua! Malah ia menambahkan kalau nggak bikin seragam itu lebih positif daripada bikin. Pertama, untuk menghemat biaya yang bisa dipakai buat bayar ujian. Kedua, seragam sekolah tidak lebih jelek untuk dipakai di malam perpisahan.
“Tapi kan masalahnya tidak mudah untuk membulatkan pilihan, apakah bikin seragam atau tidak!” yang di sebelah tak mau kalah.
“Sebentar, Raziv!”
“Ya kita lakukan voting lagi. Siapa tahu ada yang berubah pikiran!” Mahsa ngotot.
“Kayaknya baru kali ini deh ada voting diulang!” “Nggak juga tuh! Kemaren…”

“Sudah-sudah, Mahsa dan Raziv. Jangan debat kusir gitu dong. Ini rapat kita bersama, bukan cuma kalian b erdua!”
“Huuu,” suara koor anak-anak pun menggema.
“Baiklah. Kita dapat dua usulan, dari Raziv dan Mahsa. Nah, silakan teman-teman memilih usul siapa yang akan dipakai. Cukup di kertas, terus kita bacakan hasilnya bersama-sama. Kalau kemudian usulan Mahsa yang menang, kita akan voting lagi. Tapi dengan catatan, kalau hasilnya sama seperti voting yang pertama, secara otomatis usulan Raziv yang kita pakai. Bagaimana?”
Rapat sudah selesai tiga menit yang lalu. Hasilnya kelas III tahun ini tidak jadi bikin seragam perpisahan berupa stelan kebaya untuk puteri dan sarung ples baju koko untuk putera. Mengurangi jumlah iuran
150.000 dari total 400.000. Jadi, tinggal 250.000 yang harus dibayarkan oleh siswa-siswi kelas III. Baik MTsN maupun MTs Plus.
“Pulang yuk, Sa!” Una segera berdiri, melihat seisi ruangan yang sudah mulai kosong. Beberapa panitia inti puteri sudah bergabung dengan panitia inti putera di ruang kepanitiaan. Sementara yang lain, langsung bubar kembali ke pondok masing-masing.
“Ayo, Sa!” Una jadi nggak sabar. Melihat Mahsa yang asyik menulis sesuatu di lembaran agendanya. Abis itu, sret! Ia menyobek lembaran itu.
“Sebentar, aku ke jeding dulu ya. Kebelet nih!”
Tanpa menunggu anggukan Una yang tak habis mengerti, Mahsa
langsung ngacir keluar kelas. Nggak ada angin nggak ada hujan tiba -tiba kok kebelet. Padahal setahu Una untuk ke jeding harus melewati ruang kepanitiaan yang pastinya lagi penuh anak -anak putera. Hm, pasti ada udang di balik kebelet neh!
Sorry, lihat presensi nggak?”
Una menengok ke arah pintu. Sesosok anak putera tak dikenal sudah berdiri dengan canggung. Rambutnya hanya 2 senti, agak gundul. Tak berpeci, tapi alamak… pakai sarung dan kemeja. Rapat kayak gini, apa nggak salah kostum tuh?
“Hallooo, lihat presensi nggak?”
“Em…eh,” Una memutar kepalanya, “itu, di sana.”
“Makasih,” ia melangkah masuk, tapi berhenti di depan Una. “Kok sendirian? Nunggu teman ya?”
“Iya. Teman yang kebelet…,” Una tersenyum.
Ia juga tersenyum. Nggak manis sih, tapi lumayan untuk senyuman cowok ABG pertama yang ditujukan ke Una. Jarang -jarang lho. Paling cuma senyuman Kang Ari yang bertugas ngangkutin sampah di pondok. Atau Kang Madi yang menjaga toko kebutuhan santri di dekat ndalem. Itu kalau di pondok. Kalau di sekolah jelas nggak mungkin. Selain karena jadwalnya berbeda, pagi untuk putera dan siang untuk puteri, juga karena sekolah Una yang baru tiga tahun berdiri itu hanya menerima anak didik cewek.
“Eh, kamu anak MTs Plus ya? Kok nggak pernah lihat?”
Una mengangguk, “Iya. Soalnya aku nggak pernah konser ke MTsN sih!”
Ia tertawa. “Berarti sekelas sama Mahsa dong?”
Sudah bisa ditebak. Kalau sama Mahsa, siapa pun pasti kenal. “Kami satu bangku,” Una bersuara seperti anak SD yang lagi deklamasi. Lumayan bisa nebeng tenar.
“Oh, satu bangku. Terus…”
#Alhamdulillah wa syukrulillah…# Suara Opick terdengar dari dalam saku kemejanya.
Sorry ya…,” ralatnya seraya mengeluarkan Nokia 6600 -nya. Setelah melihat nama pada layar dan menekan tombol hijau ia menyapa, “Badha apa sih, Kak? Nja’ tadha’ pa-apa. Engko’ ghi rapat setiah. Tape la mareh
Una melongo. Mendengar cas cis cus bahasa asing keluar dari mulut cowok di depannya itu. Seperti yang juga dipakai oleh teman -teman tetangga kamarnya, Pena 3, yang mayoritas dari Madura. Seketika itu juga pikirannya langsung nyambung ke Raziv. Apa cowok ini yang bernama Raziv? Tapi, masak sih Mahsa yang nyeleb gitu naksir sama cowok sejenis ini?
Kalau ditimbang dari segi fisik, Mahsa dapet point 90, cowok itu
paling-paling cuma 40. Kalau kepintaran, Mahsa juga punya point tinggi. Ia kan bintangnya kelas III MTs Plus. Jadi, kenapa harus menjatuhkan pilihan ke dia?
Una semakin lekat memandang sosok di depannya yang sesekali berhaha-hihi dengan lawan bicaranya yang entah ada di mana. Wajahnya biasa saja. Standar tidak jelek maksudnya. Kulitnya putih nggak, hitam juga nggak. Sawo matanglah kira-kira. Hidungnya tidak pesek, tidak juga mancung. Matanya agak cenderung ke sipit. Badannya kelihatan lebih
mendekati kerempeng dengan posturnya yang lumayan tinggi. Em…168 sentilah. Giginya…
“Tadi itu kakakku. Biasa, suka ngontrol dan nanya macam -macam soal kegiatanku,” jelasnya sambil tersenyum.
“Oh, kakak,” Una balas tersenyum, campur heran. Kenal juga nggak, kok sudah curhat-curhatan gini.
“Oh ya, tadi sampai mana?”
“Sampai mana apanya?” kadang Una emang agak lambat pergerakannya.
“Oh eh, Ya udah, aku duluan ya,” ucap cowok itu dengan ekspresi kikuk. Ia lalu segera membalikkan punggung dan siap melangkah keluar.
“Eh, kamu… Katanya cari presensi?”
“Oh iya. Jadi kelupaan!” ia balik lagi dan mendekati lembar presensi yang tergeletak di atas meja di ujung paling timur. Kemudian, melintasi bangku yang diduduki Una hendak keluar. Ada semerbak wangi … mampir ke hidung Una. Wangi apa ya? Una mikir -mikir.
“Eh, tunggu!”
“Iya, ada apa, em… Namamu siapa?”
“Launa. Panggil aja Una…”
“Iya, Una. Ada lagi yang terlupa?”
“Boleh tanya sesuatu…?” Una menggantungkan kalimatnya. Malu - malu gitu. Cowok itu mengangguk.
“Kamu Raziv ya?”
Cowok bersarung itu lagi-lagi tersenyum, dengan senyuman yang jauh lebih lumayan dari sebelumnya.


empat


“Ya ampun! Raziv malah ke kelas, nemuin kamu!?” Mahsa berteriak histeris ketika Una berkisah tentang pertemuannya dengan Raziv sore itu.
Buru-buru Una meralat, “Bukan nemui aku, tapi ambil presensi.”
Mahsa cemberut. Seperti ada yang lain dari sorot matanya. Entah apa itu, Una nggak ngerti. Lagi-lagi perasaan Una lambat memberikan respon. “Kok cemberut gitu sih. Marah ya? Emang aku sudah ngapain sama Raziv? Aku juga nggak kenapa-napa kok. Sorry kalau aku baru nyeritain pertemuan itu sekarang. Kemaren kita pulangnya kan sudah petang.
Hampir maghrib malah,” Una agak ketakutan.
Usai ngobrol sama Raziv di kelas Jumat itu, hampir satu jam Una menunggu Mahsa balik dari jeding . Kalau bukan karena Mahsa mungkin Una sudah pulang duluan ke pondok. Soalnya pukul setengah enam semua santri Sang Pecinta harus sudah masuk kombongan, kalau nggak mau kena takzir. Walhasil, begitu Mahsa muncul, Una langsung menarik lengannya ngajak jalan cepat-cepat. Jangankan cerita soal Raziv, tanya - tanya jadi pipis atau ketiduran di jeding aja Una nggak sempat.
“Sa, kok diem aja sih!” Una jadi bingung. Masalahnya kok jadi rumit gini.
Una dan Mahsa sudah berteman sejak mereka sama -sama jadi santri anyar. Kenalannya pas P6, yaitu acara Perkenalan Pertama Pada Pondok Pesantren Puteri. Apalagi mereka sama -sama sekolah di MTs Plus, jadinya tambah akrab aja.
Hanya saja, seakrab-akrabnya mereka, namanya berteman sekali waktu pasti ada saat-saat mereka bersitegang. Misalnya, pernah suatu ketika Una ngotot menolak ajakan Mahsa untuk ikut masuk tim bola voli. Masalahnya karena Una memang benar-benar nggak ada bakat ke olahraga itu. Berbeda dengan Mahsa, yang penting ikut dulu, bakat itu pada akhirnya akan tumbuh dengan sendirinya. Gara-gara perbedaan ini
mereka puasa ngobrol sampai hampir satu minggu. Dan, ketika tim bola voli itu ternyata nggak jadi dibentuk, barulah mereka akur lagi.
Masih banyak kasus lain yang sudah bikin mereka renggang. Dari yang kecil-kecil, kayak berangkat sekolah yang nggak bareng, ditinggal pulang duluan, ada PR nggak diingatin, sampai pada masalah yang prinsip kayak pas milih kitab untuk ngaji weton, pilihan kegiatan ekstra di pondok dan sekolah, termasuk soal jatuh cinta dan perasaa.
Syukurnya, ketegangan-ketegangan itu berhasil mereka luluhkan. Biasanya kalau Mahsa yang tegang, Unalah yang memulai perdamaian. Begitupun sebaliknya. Sampai kemudian mereka memutuskan prinsip bersama: Be your self. Una ya Una. Mahsa ya Mahsa. Ditambah lagi mereka sepakat dengan empat pondasi persahabatan:
1.  Memahami dan menghargai pilihan sahabat sekalipun berbeda.
2.   Selalu berbaik sangka.
3.    Gampang diajak bicara.
4.    Kalau mentok, balik lagi ke nomor satu.
Ternyata dengan kesepakatan itu, tanpa terasa hampir tiga tahun berteman mereka kian lengket aja. Meskipun karakter, pilihan sikap, dan kecenderungan, apalagi status mereka berbeda. Una santri biasa yang biasa-biasa saja. Sedangkan Mahsa puteri kiai yang berpotensi jadi luar biasa.
Akan tetapi malam ini, tiba-tiba mendung itu kembali menghampiri Una dan Mahsa. Pas kegiatan takraruddurus, di emperan mushala bagian barat. Dari pukul sembilan sampai sepuluh malam seluruh santri PPP Sang Pecinta emang harus mengikuti kegiatan belajar bersama sesuai sek olah dan kelas masing-masing, di tempat-tempat yang telah ditentukan pengurus bagian Takrar.
“Ngomong dong, Sa. Aku nggak ngapa-ngapain kok sama Raziv. Aku juga nggak naksir sama dia. Apalagi sampai melambung gitu. Suer!”
“Ihiks..ihiks..ihiks,” Mahsa teris ak.
Una tambah bingung. Untung posisi duduknya menyendiri bareng Mahsa di ujung emperan yang membentuk lorong, bersebelahan dengan dinding ndalem. Jadinya sepi, jauh dari anak -anak MTs Plus yang lain.
Digoyang-goyangkannya bahu Mahsa pelan. “Aduh, kok mala h nangis sih. Aduh, gimana nih. Aku harus ngapain dong biar kamu nggak nangis kayak gini…”
“Hiks, aku nangis bukannya kesal sama kamu kok. Hiks…” “Terus kenapa dong…”
“Nggak tahu, aku kesal sama siapa. Hiks. Yang jelas aku kesal, Raziv kok nggak tahu sih kalau aku sore itu pingin banget ketemu. Pingiiin banget, sampai aku bela-belain nyusul dia ke ruang kepanitiaan, aku tungguin lama…”
Mata Una jadi ikutan berkaca-kaca. Melihat Mahsa yang beringasan itu tiba-tiba menangis. Una jadi trenyuh. Ia memang belum pernah tahu seperti apa gelisahnya punya rasa kangen. Atau bagaimana sakitnya cemburu. Tapi, ia bisa memahami rasa kesal Mahsa. Susah -susah menyelinap ke ruang kepanitiaan, menunggu lagi. Eh, yang dicari malah nggak nongol-nongol. Sedang Una, bagai pucuk dicinta ulam tiba, malah ketemu Raziv, sempat ngobrol lagi. Begini -kah uniknya perasaan perempuan dewasa? Tiba-tiba Una kembali merasa kecil dan begitu kecil di hadapan Mahsa.
“Maafin aku ya, Sa,” ucap Una pelan. “Aku juga nggak tahu kalau kamu sebenarnya nggak ke jeding tapi mau nemui Raziv. Coba kalau kamu terus terang. Ah, tapi sudahlah. Panitia Muwada’ah kan masih akan rapat lagi. Iya kan?” Una berusaha menghibur sam bil mengusap-usap pundak Mahsa.
Mahsa tak berkomentar. Tapi cukup membuat Una bisa bernapas lega karena Mahsa tak jadi meneruskan rasa kesalnya. Benar -benar pengalaman pertama sepanjang perjalanan persahabatan mereka.
Tapi, tiba-tiba kresek…kresek…kresek. Terdengar bunyi berisik dari salon pengeras suara tepat di atas Una.
Ad-da’watul a’iliyyah liukhtina Launa Zidka min Boyolali narju khudhuraha ilal baitil gharbi liqabulil hatif.
Una melongo, antara senang dan khawatir. Senang karena biasanya itu telpon dari rumah. Tapi, khawatir karena biasanya ada kabar yang tidak mengenakan.
“Telpon tuh!” Mahsa menyenggol lengan Una.
Ia pun mengangguk. Tanpa menunggu instruksi selanjutnya, buru - buru ia melangkah ke ndalem, lewat pintu sebelah timur. Jadinya harus muter. Beberapa pasang mata yang dilewati menatapnya dengan pandangan penuh teka-teki.
Ndalem Mbah Nyai malam itu dalam keadaan sepi. Una langsung saja menuju ke tempat telpon yang tengah terbuka.
“Halo…,”
Tuuut.
Mungkin si penelponnya menutup telpon dulu untuk kemudian menelpon lagi. Ia pun menaruh kembali gagang telpon ke tempatnya, lalu duduk bersimpuh di lantai ubin coklat yang kasar.
Tiga menit berlalu. Una menunggu dengan gelisah. Ditemani lukisan foto Mbah Yai dan Mbah Nyai waktu masih muda. Mbah Yai sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Sekarang yang mengasuh pondok adalah Mbah Nyai dibantu oleh dua putera dan satu puterinya, juga para menantu. Mereka sudah tinggal di rumah masing -masing yang posisinya mengelilingi bangunan pesantren.
Lima menit berlalu. Una semakin gelisah. Jangan -jangan cuma ngerjain, pikirnya. Bisa saja ada teman cowok yang usil nelpon dan ngaku - ngaku sebagai saudara. Tapi, Una punya teman cowok siapa? Una senyum-senyum sendiri. Ye, kegeeran! Jadi malu.
Tlulit tlulit. Tlulit tlulit.
Una melompat kaget, dan langsung meraih gagang telpon.
“Halo…”
“Halo juga, Una. Ini Ibu. Apa kabar?”
“Oh, Ibu. Una baik-baik. Ayah Ibu sama adik-adik gimana?”
“Iya. Semua baik…”
Una sumringah. Jawaban itu seperti kado manis di hari ultahnya. Sekarang ia tak perlu lagi merasa khawatir sesuatu telah terjadi pada keluarganya. “Una seneng banget kalau semua baik -baik. Jadinya Una nggak sedih lagi!’
“Memangnya Una lagi sedih?”
“Iya,” Una merajuk. Dan, seperti tak mau kehilangan momen, ia
langsung bercerita tentang keanehan Mahsa yang bisa bertangis -tangis gara-gara Raziv.
Ibu tertawa renyah. “Una kalau kangen Ayah -Ibu juga suka nangis kan? Jadi sama saja, rasanya ya seperti itu.”
“Memang sama antara kangen orang tua dengan kangen cowok?”
“Ya samalah. Kamu tuh aneh-aneh aja.”
“Tapi, Una kan jadi penasaran!”
“Besok-besok juga akan merasakan kok. Sudah. Nggak usah terlalu serius mikirin itu. Ntar yang penting -penting malah dilupain!”
“Iya-iya. Una ngerti kok. Oh ya, ada angin apa Ibu telpon Una? Cuma kangen aja kan?”
Ibu tak segera menjawab, terdengar suara desahan dari seberang.
“Ada apa sih, Bu? Kok malah diam?” Una kembali merasa khawatir.
“Ayah sama Ibu mau minta maaf ya, Un. Soalnya kiriman bulan ini agak telat barang dua mingguan. Itu pun belum termasuk biaya untuk ujian dan perpisahan.”
Una tersenyum kecut, meski kemudian menjawab, “Una nggak papa. Tapi kenapa sampai telat dua minggu gitu, Bu?”
“Kemaren uangnya dipakai buat biaya ayah opname di rumah sakit. Jempolnya robek terkena paku. Padahal kamu tahu kan, Ayah kena diabetes?”
“Opname?” Una hampir-hampir berteriak. “Gimana sih, Bu. Kok baru bilang sekarang!” suara Una terdengar seperti mau nangis.
“Maunya Ayah memang begitu. Lagian sekarang juga sudah balik ke rumah kok. Sudah sehat walafiat. Ayah malah titip pesan buat Una supaya rajin belajar dan banyak bersabar.”
“Iya, Bu,” jawabnya sambil berkali -kali mengangguk, meski tahu di sana Ibu nggak akan melihat anggukannya itu.
“Sudah dulu ya, Un. Jaga diri baik-baik. Sayang Una…,” Ibu mengakhiri pembicaraan.
“Sayang Ibu juga Ayah,” Una menjawab dengan parau. Dan, klik. Ia menutup gagang telpon ndalem dengan kepala seakan berputar -putar. Pusing.
lima

Pukul 01.00 dini hari, mata Una masih ketap -ketip susah diajak terlelap. Padahal Mahsa yang tergeletak di sampingnya sudah merem dengan mulut agak terbuka. Untung sedang tidak ada cicak yang buang kotoran, bisa jadi toilet gratis kan?
Una perlahan berpindah posisi, dari terlentang menjadi miring ke kanan, berhadapan dengan Mahsa. Sudah hampir satu bulan ini teman satu bangkunya itu ikut gabung tidur di dalam mushala. Dan, selama beberapa malam itu pula ia selalu mendongeng sebelum bobok untuk Una. Apalagi kalau bukan dongeng tentang Raziv. Tapi, anehnya dongeng-dongeng itu bukannya bikin ngantuk, malah bikin susah untuk tidur. Seperti malam ini, meskipun dongeng Mahsa sudah berhenti tiga puluh menit yang lalu dan si pendongengnya juga sudah tewas dalam buaian mimpi, Una tetap saja terjaga.
Pusing terus-terusan berbaring, Una akhirnya duduk bersandarkan dinding mushala. Suasana begitu sepi ngelangut. Sejauh mata memandang tampak para santri dari berbagai kompleks berbaring rapi seperti barisan ikan asin di bawah terik matahari. Posisi mereka beradu kaki atau kepala. Mereka kebanyakan berasal dari kompleks yang dekat dengan mushala. Kecuali Mahsa yang kompleksnya memang agak jauh beberapa meter.
“Hm, sepertinya yang punya banyak masalah itu cuma aku,” Una mendesah seolah ingin menghembuskan semua beban hatinya. Beban yang secara bersamaan juga memenuhi pikirannya. Sejak Mahsa rajin berbagi soal Raziv, sejak banyak orang menyindir -nyindir soal kedewasaannya, dan sejak Ibu menelpon tiga malam yang lalu.
“Kiriman bulan ini agak telat,” suara Ibu yang terdengar lewat telpon kembali mengiang di telinga Una. “Itu pun belum termasuk biaya untuk ujian dan perpisahan.”
Perlahan ia menoleh ke arah Mahsa, “Seandainya aku tercipta seperti
Mahsa yang kaya, cantik, pinter, terkenal, puteri kiai, dan sudah puber.
Hm, mungkin aku tak akan sepusing ini ya?”
Una menerawang. Meski ia tak ingin mempunyai sifat -sifat seperti Mahsa. Sombong atau pelit karena kelebihan itu sih enggak. Tapi, temannya itu sering meledek dan lebih suka mendahulukan mood-nya daripada memahami orang lain.
“Kamu pernah tertarik sama cowok nggak sih, Un?” tanya Mahsa sengit tiga malam yang lalu. Gara-gara Una memprotes dongengnya soal Raziv. Habis Mahsa seperti tak bisa memahami kalau temannya sedang bersedih dengan kabar buruk yang disampaikan Ibu lewat telpon. Bukannya menghibur, Mahsa malah bertanya -tanya soal sosok Raziv dalam pandangan Una. Nyebelin banget kan?
“Kok kayaknya kamu nggak bisa berempati gitu sama yang lagi digeber cinta! Atau, jangan-jangan kamu masih anak-anak ya?” lanjut Mahsa dengan nada mengejek.
“Enak aja!”
“Bisa jadi kan?” Mahsa memasang wajah serius. “Coba aja kita cocokkan beberapa perubahan yang terjadi pada masa puber dengan kondisi kamu yang sekarang.”
“Cocokkan aja!” Una cuek tapi sebal. Betapa ia merasa kalau Mahsa kadang suka kelewatan nggarapi kepolosannya. Meskipun ia sebenarnya sudah lima belas tahun.
“Yang pokok-pokok aja ya,” Mahsa sudah siap dengan catatan di bukunya. Kebetulan esok siangnya pelajaran Pak Baidhowi. “Pertama , perubahan fisik. Apakah payudaramu sudah tumbuh, bentuk tubuh mulai berlekuk sekitar pinggang dan pinggul, kulit berminyak dan mudah berjerawat, lebih banyak berkeringat dan mengeluarkan bau badan?”
Una cuma mengangkat bahu. Acuh tak acuh. Sementara Mahs a memutar-mutar tubuh Una, seolah-olah mencari jawaban atas beberapa perubahan itu. Ia lalu geleng-geleng kepala.
“Kedua, perubahan pada fungsi organ reproduksi. Apakah kamu sudah mulai haid setiap bulannya, indung telur membesar, dan dari vagina mulai keluar cairan putih bening agak kental?” kali ini mata Mahsa berputar-putar. Ia sudah tahu jawabnya.
Una manyun. Sebenarnya waktu itu ia mau bilang kalau Ziyan pernah menemukan kilang minyak di wajahnya. Atau, sekali waktu pas kecapekan ia mendapati sesuatu yang lain di CD-nya. Hai, bukankah ini dua perubahan? Tapi, ia enggan untuk cerita-cerita. “Terusin aja terus. Paling-paling hasil akhirnya kamu akan menyimpulkan kalau aku masih anak - anak!” cewek yang baru kenal sama kaos dalam itu meleletkan lidahnya sewot.
“Nah, yang ketiga perubahan emosi atau psikologis,” Mahsa terus aja nyerocos. “Apa kamu jadi lebih perasa dan sensitif, ingin lebih diperhatikan, mulai lebih banyak memperhatikan penampilan diri, timbul perhatian pada lawan jenis?”
“Wah kayaknya belum semua tuh!” Ana yang kebetulan tidur di dekat-dekat Una dan Mahsa ikutan nimbrung.
Wajah Una menyemburat malu. Mahsa benar -benar keterlaluan. “Plis dong, Sa!” teriaknya marah.
“Uuuhh,” tangan Mahsa terangkat ke atas. Sepertinya ia terjaga. “Heh, Un. Nyapo, gak iso turu tah?” agak serak-serak ia menegur Una. “Jam berapa sih?”
Una menoleh, “Jam setengah dua. Aku cuma pusing tidur aja kok.”
“Oaahhh, ya udah,” Mahsa menarik kembali selimutnya yang melorot ke kaki, miring ke kanan, lalu diam tak bersuara.
“Hm, enak banget bisa tidur,” Una membatin. Mungkin karena Mahsa tak punya masalah. Padahal kan, katanya kalau orang yang lagi naksir itu bawaannya suka susah tidur. Tapi, Mahsa yang lagi naksir Raziv itu kok malah lelap-lelap aja. Atau jangan-jangan sebenarnya Una yang lagi jatuh cinta. Aduh!
Tiba-tiba Una teringat seyum manis yang maksa dari Raziv sore itu. Pelan-pelan ia meraba dadanya. Diam mendengarkan. Tak ada yang berubah. Berdetak biasa seperti sebelum ia terbayang senyum itu. Berarti memang tak ada yang membuatnya tertarik seperti yang sudah dialami Mahsa.
“Mungkin bukan Raziv. Tapi siapa ya? Ia menggeleng. “Kenapa aku belum juga merasakan apa-apa?” Una mengeluh pelan. “Mungkin inilah sebab kenapa aku belum juga berjerawat, seperti Mahsa atau Mbak Upik yang katanya sudah tunangan itu,” Una coba menyimpulkan sendiri.
 “Jerawatan aja belum pernah apalagi haid!” ucapan Mahsa ketika ngaji klasikal tiba-tiba terngiang di telinga Una. Pelan tapi dalam.
Una membenamkan wajahnya ke dalam dua lututnya yang di tekuk. “Kenapa aku belum juga mens ya?” ia bertanya -tanya lagi. “Sebenarnya yang mana dulu sih, tertarik sama cowok, jerawatan, atau menstruasi?”
Makin lama Una bukannya menemukan titik terang, atau paling tidak jadi ngantuk terus bisa tidur, malah kepalanya kian terasa penuh saja. Ia mencoba untuk berbaring dengan posisi terlentang. Baru tiga menit, tengkuknya terasa pegal. Ganti posisi miring ke kiri, ia ingat kalau sunahnya kan miring ke kanan. Ganti posisi miring ke kanan menghadap Mahsa, tiba-tiba saja kuping kanannya terasa sakit. Terakhir Una tengkurapdengan wajah menghadap bantal.
Una mulai berdoa, membaca surat Muawidzatain dan al -Ikhlash. Mengosongkan pikiran dari persoalan jerawat dan kawan -kawan. Perlahan ia pun terlelap. Tapi, dalam pikirannya yang lain secara bergantian muncul ingatannya tentang tagihan hutang Mahsa, tagihan pembayaran kos, dan tanggungan-tanggungan kelas akhir. Sementara nun jauh di sana Ayah tengah terbaring tidur dengan jempol kaki yang mulai melepuh.

hembusan jerawat
wush…wush…wush

satu

“Aduh!” Una mengaduh tertahan di depan cermin kamarnya yang selebar daun pintu. Ia terlalu keras menekan pipinya dengan ujung jari. Lama-lama ia penasaran juga dengan benda asing yang sepagian tadi menempel di pipi kanannya. Entah sejak kapan, Una sendiri tidak menyadarinya. Maklum, ia tak terbiasa berurusan dengan program rawat - merawat wajah. Tapi, tahu-tahu ketika ia mengusap wajah sewaktu wudhu untuk shalat subuh, ada yang nyeri dan gatal kayak mau tumbuh bisul di pipinya.
“Un, nggak ngaji?”
“Em, eh, enggak.” Una pura-pura menyisir rambut poninya, dengan tangan mengucek-ucek mata. Menyelamatkan bintik merah di pipinya. Pagi itu kamar Una lagi sepi, ditinggalkan semua penghuni dengan aktivitas masing-masing. Kalau nggak ngaji ya ke kamar mandi.
“Kamu ngaji Qur’an di ndalem apa ngaji Bulughul Maram?” Aniq menegaskan. Ia baru datang dari kamar mandi.
“Ngaji Bulugh. Pak Isom nggak rawuh kan?”
“Kalau nggak rawuh, terus yang pada jongkok di depan kantor itu lagi ngaji apa?”
“Wealah. Katanya nggak rawuh, gimana sih!”
Secepat kilat Una meraih kerudung segitiganya dan segera melesat dengan mendekap kitab Bulughul Maram di dadanya yang rata. Untung untuk sampai di depan kantor nggak perlu pakai sandal. Cukup numpang lewat di depan mushala, kompleks Huruf, dan lima kotakan batu-bata yang sengaja dipakai sebagai jembatan kaki.
“Sampai halaman berapa, Tik?”
“Nggak tahu, aku sudah dua hari ini nggak ngaji. Ntar aku nambal ajalah ke Uswah,” Atik malah menutup kitabnya malas.
Wah, Una pun cuma tengak-tengok sambil membuka-buka kitab di pangkuannya. Mana duduknya di belakang sendiri, jadi tidak jelas menangkap suara bacaan Pak Isom. Walhasil, ia lalu megikuti langkah Atik menutup kitabnya.
“Balik ke kamar aja yuk!”
“Malu ah, belum waktunya lagi,” Atik menolak sambil mengamati wajah Una lekat-lekat. “Eh, pipimu kok merah gitu?”
Ups! Una lupa dengan tragedi di pipinya. “Tau nih. Digigit nyamuk kali. Habis tidur kok tiba-tiba gatal.”
“Tapi kayaknya enggak deh. Kayak jerawat gitu!”
Aduh, Atik kok jadi peneliti mendadak gini sih. Una blingsatan. Mau bersembunyi ke mana, ia bingung.
“Una, bisa minta tolong sebentar,” kepala Alina melongok dari pintu kamar pengurus yang sedikit dibuka. Tepat di samping Una. “Kamu nggak ngaji kan?”
Una menghela napas lega. “Enggak. Ada apa ya, Mbak?”
Alina tak menjawab, tapi berisyarat supaya Una masuk ke kamar. Una ngikut aja. Demi menyelamatkan warna merah pipinya.
Una celingukan di depan toko BB. Dari wajahnya tergambar jelas kalau ia sedang was-was dan khawatir. Siapa tahu tanpa sepengetahuannya ada salah satu dari teman-teman kamar, apalagi Mahsa, sedang mengintainya sore itu. Akhirnya setelah dirasa aman, apalagi kebanyakan anak MTs lagi pulang ke pondok untuk shalat atau jajan bakso di warung, ia melangkah mendekati emperan toko yang menjual berbagai macam sabun, kosmetik, dan cologne itu.
Lima hari yang lalu, ketika paginya ia mendapat kiriman uang lewat jasa titipan MABUR, sebenarnya ia sudah belanja sabun mandi, sabun cuci, shampo, odol, dan sikat gigi di toko BB bareng Mahsa. Tapi, karena ada kebutuhan yang datang tiba-tiba dan sedang ia sembunyikan, ia pun memutuskan untuk ke toko itu lagi seorang diri. “Kamu pulang sendiri ya, Sa. Aku mau shalat di sekolahan. Kakiku l agi capek,” izinnya ke Mahsa pas jam istirahat. Untungnya Mahsa nggak curiga.
“Cari apa, Mbak?”
Una tersenyum, tapi tak menjawab apa -apa. Ia malah melihat-lihat deretan botol dan kemasan yang dipajang di etalase. Kanapa jadi banyak begitu? Pikirnya bingung. Padahal biasanya kalau ia ke toko BB untuk membeli sabun atau shampo, deretan berbagai merek botol dan kemasan itu seperti tidak tampak di matanya. Jadi, ia tak pernah bingung. Bukan kenapa-napa, soalnya ia nggak pernah peduli dengan produk -produk itu. Pakai bedak aja nggak pernah, apalagi pakai pembersih atau pemutih wajah.
“Bisa saya bantu, Mbak? Cari apa ya?” si penjual kembali bertanya.
Una cengar-cengir. Bingung mau nunjuk yang mana. Ternyata nggak cuma Biore seperti yang biasa dipakai Mahsa, tapi ada juga Ponds, Sari Ayu, Mustika Ratu, Lifebuoy, Sulfur…
“Em…, kalau untuk ngilangin ini bagusnya pakai yang mana, Mbak ya?” Una bertanya malu-malu, sambil menunjuk pipinya.
Mbak itu tersenyum. Entah mengejek atau maklum melihat Una yang begitu lugu. “Oh, jerawat ya?”
Una mengangguk canggung. Agak sangsi apakah di pipinya itu benar jerawat atau bukan. Tapi, kalau mbaknya aja bisa menyimpulkan ini jerawat, berarti memang benar kalau yang menjangkiti pipinya adalah jerawat. Una bertambah pede campur seneng. Mendapat pengesahan dari mbaknya kalau yang ada di pipinya itu adalah jerawat.
What, jerawat? Una jerawatan? Yang benar? Ketiban dari mana? Kok bisa? Jangan-jangan cuma digigit nyamuk seperti yang ia bilang ke Atik, atau bekas goresan kawat yang beberapa minggu lalu pernah membikin perih pipinya? Idih, masak sih?
Semula Una juga nggak yakin kalau bintik merah di pipinya itu jerawat. Tadinya ia tak begitu ambil pusing ada yang gatal dan agak nyentil di pipinya yang sebelah kanan. Tapi, lama -lama bukannya hilang malah semakin merekah dan nongol. Apalagi ketika diam -diam ia menyamakan barang aneh di pipinya itu dengan bintang -bintang yang juga menghiasi pipi Nafisah, teman sekamarnya yang duduk di kelas VI Muallimat. Una kian yakin kalau yang muncul di pipinya itu bukan bisul, apalagi tumor, melainkan jerawat.
Terus terang ia girang bukan main. Rasanya ia ingin sekali berteriak - teriak, “Hore, aku jerawatan!” Atau, bikin tulisan yang ditempelin di pipinya, “Ini jerawat lho!” Sehingga semua teman -temannya tahu kalau
satu perubahan sudah terjadi pada dirinya. Kalau ia sudah nggak pantas lagi dibilang anak-anak. Kalau ia sekarang sudah bisa dilevelkan dengan ketiga teman seusianya di kamar, Umi, Ana, dan Ilmi, meski ia belum mens seperti mereka.
Maunya sih begitu. Tapi, berhubung Una nggak pede dan malu kalau digojlokin macam-macam, apalagi sampai dikira terjangkit jerawat cinta, akhirnya ia memu-tuskan untuk menyembunyikan makhluk barunya itu.
Caranya, ia potong ujung plester untuk ditutupkan ke daerah yang ia maksud, terus kalau ditanya bilang aja kena kuku pas wudhu. Dan, ternyata tekniknya itu berhasil untuk mengelabuhi teman -temannya, termasuk Mahsa.
“Mau yang mahal atau yang biasa-biasa aja? Produknya juga banyak, dari sabun pembersih wajah sampai obat jerawatnya sendiri.”
Waduh, Una tambah bingung. Tiba-tiba ia merasa menyesal nggak ngajak Mahsa. Atau paling tidak memperhatikan produk -produk yang biasa dipakai Mahsa.
“Yang biasa-biasa aja, Mbak,” akhirnya Mahsa menjawab dengan tegas. Bagaimana-pun ia harus mendahulukan tunggakan bayaran kos. Karena itu adalah kebutuhan primer. Sementara membeli pembersih wajah bagi Una sifatnya sekunder saja. Jadi, harganya jangan sampai melebihi jatah untuk bayar kos.
“Baru sekali jerawatan kan?”
“Iya.”
“Pakai sabun pembersih wajah aja. Jerawat kan gampang muncul kalau wajahnya kotor,” jelas Mbak itu kayak sales.
“Ya udah. Kayak punya Mahsa aja.”
“Mereknya…?”


dua

Kalau biasanya Una bisa berduet atau bertrio mandi bareng teman - temannya, sekarang ia memilih waktu-waktu yang sepi untuk mandi. Apa pasal? Ia kan punya aktivitas baru, yaitu memakai sabun muka sebelum berwudhu dan menutupi jerawatnya dengan plaster. Atau kalau pas mandi nggak memungkinkan pakai sabun muka, ia baru akan melepas plester jerawatnya dan membersihkan mukanya di jeding tempat wudhu. Itu pun dengan melihat-lihat jangan sampai ada salah satu dari teman kamarnya atau Mahsa yang memergokinya.
Tapi, apesnya karena ia begitu bersabar menunggu waktu yang pas untuk merawat mukanya, beberapa kali ia terpaksa harus ketinggalan jamaah. Jamaah subuh 2 kali, jamaah zuhur 3 kali. Ini artinya ia harus menjalani takziran jamaah Selasa pagi sebelum kegiatan Wajib Baca Kitab. Ia bersama teman-temannya yang senasib diarak dari depan kantor pondok sampai kamar mandi, kemudian mencuci 1 potong pakaian yang tercecer di tempat jemuran.
“Kena takzir nih ye!”
Una menoleh, Mahsa sudah berdiri sambil senyum -senyum di samping kran tempat nyuci.
“Ngomong-ngomong kenapa ciiih kok sampai telat jamaah? Tumben banget gitu loh!”
Una mendelik, “Cerewet. Sudah sana pergi!” Ia mengibas -ngibaskan cucian basah di tangannya.
“Ih-ih, basah tau!” Mahsa coba menghindar, tapi Una tak juga
menghentikan aksinya. “Sudah, Un. Sudah. Eh, ngomong -ngomong kamu jadi ngum-pulin foto untuk album alumni nggak?”
Una mengangkat bahu.
“Lho, bukannya kamu yang diminta sama Mbak Alina untuk mengumpulkan foto teman-teman MTs Plus?”
 “Iya sih. Tapi, kalau ternyata aku jadi nerusin sekolah di sini berarti aku bukan anak kelas akhir yang mau boyong kan? Terus, ngapain aku ngumpulin foto untuk album alumni?”
“Kamu sendiri pastinya gimana? Katanya seminggu lagi harus sudah terkumpul?”
Una lagi-lagi mengangkat bahu. Problem klasik anak kelas akhir adalah mikirin mau nerusin ke mana. Begitu kata Upik, waktu Una minta saran bagaimana kalau ia meneruskan sekolah di sini, atau sebaliknya. Waktu itu sih Upik cuma kasih masukan kelebihan dan kekurangan dua pilihan itu. Sementara keputusan mau milih yang mana, cuma Una sendiri yang tahu.
Terus terang kalau disuruh memilih, Una akan memilih boyong dengan pertimbangan tiga tahun mondok sudahlah cukup untuk dirinya. Apalagi kalau ingat kondisi Ayah yang semakin memprihatinkan. Dari mana ia akan dapatkan biaya untuk nerusin mondok sambil sekolah?
Tapi, kalau ingat tanggungan biaya anak kelas akhir, ia jadi pusing juga. Sudah harus bayar uang ujian, masih ada iuran Muwada’ah dari sekolah, kamar, kompleks, sampai pondok. Ceritanya kan buat konsumsi dan perlengkapan acara perpisahan sama beli kenang -kenangan. Pusingnya lagi, sampai detik ini Una belum sempat membicarakan masalah boyong atau tidaknya ke Ayah Ibu.
“Heh, Un. Gimana?”
Una menggeleng. “Nggak taulah. Masih bingung.”
Mahsa senyum-senyum sambil menatapnya penuh arti. “Ya sudah. Bingung-bingung aja terus, sampai…,”
“Ngapa sih!” Una heran.
“Nggak jadi ah! Yuk, aku duluan,” Mahsa membalikkan punggung dan menjauh. Tapi ia menoleh lagi sambil tersenyum, “Un, kayaknya plester di pipimu kok jadi lebih panjang ya…”
Ups! Una spontan meraba pipinya begitu Mahsa sudah menghilang kembali ke kamarnya. Memang plester di pipinya lebih panjang karena subuh tadi jerawat di pipinya sudah beranak dua.
 ada titipan nih dari Mahsa,” suara Up ik menyambut Una di depan kamar. Di tangannya terselip sebuah amplop yang dibiarkan terbuka. “Baru saja ia ke sini ngasihkan ini.”
“Apaan, Mbak?”
“Baca aja ndiri. La taftah wala taqra’ illa bilhaqq. Gitu katanya.”
Una tertawa. “Kok kayak surat dari cowok aja. Biar nggak disensor Keamanan.”
Una jadi heran. Tumben Mahsa pakai surat -suratan. Padahal setiap waktu ia kan bisa ngomong langsung. Tadi saja barusan ketemu pas Una beli plester di warung Kang Madi. Ada rahasia apa sih sampai harus pakai tulisan segala. Soal Raziv lagikah? Ada apa dengan Raziv?Apa Senin pas rapat seksi Penerima Tamu ia berhasil ketemu Raziv?
Sambil mojok bersandarkan tumpukan bantal, Una membuka amplop di tangannya.
gara-gara plester melekat
jerawat hebat tumbuh di jidat
pantanganku makan coklat
tapi dasar aku nekat
coklat kumakan cepat-cepat
hingga aku jadi kualat
jerawat di jidat pindah ke pantat
jerawat di pantat kutusuk kawat
hingga aku jadi sekarat
tamat
“Hahaha,” Una tergelak-gelak, sampai Upik dan teman-temannya yang kebetulan melihatnya mendelik keheranan.
“Hahaha, puisi Mahsa lucu!”
“Puisi apa?”
“Puisi…,” Una melihat lagi kertas di tangannya. Tadinya ia mau bilang puisi jerawat. Tapi, untung ia teringat kalau kalimat itu pasti akan membuat mereka jadi penasaran. Parahnya lagi kalau mereka juga berhasil menghubungkan kalimat itu dengan plester yang selama ini menempel di pipinya. Waduh! Apa Mahsa juga sudah tahu ya dengan jerawat di pipiku. Una membatin.
“Puisi apa, Un?”
“Oh eh, puisi lucu tapi nggak ada judulnya.”
“Kok bisa.”
“Ya bisa aja.”
“Coba sih aku lihat. Jadi penasaran,” Ilmi mendekati posisi duduk Una. Waduh, Una jadi bingung.
“Eit eh, nggak boleh. Ini puisi tak berjudul, jadi tidak untuk ditunjukkan ke khalayak umum. Oke! Da…!”
Dan, buru-buru Una beranjak dari tongkrongannya, meninggalkan Ilmi yang cemberut tak terima. Una langsung menyasar ke kamar Mahsa. Tapi, sayang sosok buruannya sedang tak ada di kamar. Setelah menimbang - nimbang kemungkinan Mahsa pergi ke mana, target kunjungan Una berikutnya adalah jemuran.
Kali ini filingnya tepat. Temannya itu tampak sedang memeras cuciannya yang masih basah. Setelah dengan susah payah ia menyisir di antara kelebatan-kelebatan jemuran yang tampak penuh itu. Kebayang kan kalau 2000 orang santri mencuci pada waktu yang sama, satu orang lima stel ples daleman-dalemannya?
“Itu bukan puisiku, tapi bikinan Mbak Saodah teman kamarku,” Mahsa spontan protes begitu Una minta konfirmasi soal apakah puisi jerawat itu buatan Mahsa atau bukan. “Ngomong -ngomong kamu jadi tersentuh nggak baca puisi itu?” tangannya masih asyik menjejer pakaian di rentangan kawat.
“Tersentuh apaan. Ketawa sih iya.”
Mahsa langsung ngakak. “Itu persis dengan keadaan kamu sekarang. Lucu dan bikin ketawa.”
Una mikir-mikir. “Maksud kamu?”
“Udah ngaku aja. Yang kamu tutupi pakai plester itu jerawat kan?”
“Eh, embarangan…”
“Hayo ngaku, apa perlu aku lepasin tuh plesternya.”

“Bener, aku…”
“Iya, kamu bohong kan? Lagian kenapa sih pakai diumpetin segala.
Kenapa nggak tusuk aja sekalian pakai kawat, biar pindah ke pantat.
Kualat baru tau rasa kamu!” Mahsa menahan senyum.
Kali ini Una terdiam sambil malu-malu. Berdalih dengan apa pun kayaknya Mahsa nggak mungkin bisa dikelabuhi.
 “Dulu, pas lulus SD aku juga pernah kok kayak kamu gini. Abis, malu punya jerawat, masih kecil lagi. Apalagi teman -temanku bilang kalau jerawat itu pertanda kita sudah berahi sama cowok. Padahal kan masalahnya nggak sesempit itu,” jelas Mahsa sembari menjemur pakaiannya yang terakhir. “Sini coba kulihat. Kayak apa sih jeraw at kamu itu. Jangan-jangan bukan jerawat, tapi bisul!”
“Ini benar-benar jerawat tulen,” Una protes sambil berusaha melepas plester di pipinya.
“Sebentar, sini aku bantu,” Mahsa segera menarik tangan Una menuju pojokan arena show pakaian basah itu. Tempat yang aman dari mata-mata dan sinar matahari.
Una dan Mahsa mengambil posisi duduk berhadapan. Perlahan tangan Mahsa bergerak, meraih ujung plester dengan kuku jari telunjuk dan jempol.
“Aduh, pelan dong, Sa. Sakit tau!”
“Ini juga udah pelan. Lagian kamu tuh kurang kerjaan banget sih. Jerawat yang seharusnya diberi ruang bernapas, malah ditutupi kayak gini!”
“Sudah ah, jangan cerewet!” Una mulai sebal disalah -salahin melulu.
“Biar cerewet, yang penting kan tahu soal jerawat,” Mahsa tak mau kalah. Dan, kret! Dengan sekali tarikan halus, plester itu berhasil diangkat. “Ya ampun, Un. Jerawatmu kok gitu banget!”
“Gitu gimana?” Una tampak khawatir.
“Ya lembab dan basah gitu.”
“Jorok ya?”
“Nggak jorok lagi, tapi goblok! Kenapa sih kamu pakai diem -dieman gini dari aku. Coba kalau kamu bilang terus terang. Aku ini kan temanmu. Aku kan bisa njelasin macem-macem ke kamu soal jerawat. Kalau nggak dari aku, emang kamu mau lari ke mana? Ke Ibu kamu di Boyolali sana?” Mahsa mencak-mencak.
Sepurane, Sa. Bukannya aku nggak lagi menghargai kamu. Tapi kan kamu sukanya meledek gitu. Jadinya aku sudah males duluan,” Una membela diri.
Mahsa bersungut-sungut. Tapi, tak lama kemudian perhatiannya sudah tersedot untuk memperhatikan jerawat Una yang ternyata
jumlahnya tidak sesedikit yang ia kira. Parahnya lagi nggak cuma di pipi kanan, di pipi kiri Una juga tampaknya sudah ada tanda -tanda pertumbuhan jerawat baru.
“Jumat depan ke salon aja yuk.”
“Salon?” Una mendelik. Menggambarkan serangkaian proses yang belum pernah ia bayangkan.
“Ya. Biar jerawatmu gak sejorok itu. Jadi kasihan aku melihatnya.” Una mikir-mikir. “Takut ah. Aku nggak berani.”
“Kan sama aku. Lagian besok Jumat Ayah mau ke sini. Jadi, bisa sekalian minta dipamitkan ke Mbah Nyai.”
“ Tapi, Jumat aku ada Posyandu. Terus si angnya ada tugas konsumsi menemui Mbak Tami.”
“Mbak Tami yang juru masak itu ya?” Una mengangguk. “Sama siapa?”
“Aku berempat sama Yeni, Ainna, dan Labiq.”
Spontan Mahsa tersenyum-senyum, “Ehem, sama Labiq ya? Bisa uji coba jerawat dong!”
“Apaan sih. Awas ya kamu!” Una malu -malu. Refleks tangannya bergerak memburu pipi Mahsa yang ternyata juga jerawatan.


tiga

Hari Jumat, pukul delapan pagi Una sudah siap -siap di depan kantor, menunggu teman-temannya yang mau berkegiatan Posyandu. Wajahnya yang meski agak kemerah-merahan, terlihat sumringah dan cerah.
Cerminan dari hati Una yang lagi berbunga-bunga. Entah kenapa hari itu jadi terasa lain dari biasanya. Jadi penuh warna dan berbintang -bintang. Malam, kali.
Harap maklum. Una sudah pede tampil di depan umum dengan komunitas jerawat di kedua pipinya. Nggak terlalu padat sih, tapi cukup menarik untuk dilihat. Apalagi dasar kulit Una yang putih bersih. Merah sedikit aja jadi kelihatan membara. Semua itu berkat gempuran advis dari Mahsa yang maraton dua hari dua malam.
“Kalau kamu plesteri terus justru nggak baik buat kulit kamu. Orang jerawat itu kan buah dari penyumbatan pori-pori kulit oleh produksi minyak yang berlebihan sehingga ia muncul ke permukaan. Apalagi kalau kamu tutup-tutupi gitu,” layaknya ahli kecantikan Mahsa memberikan penjelasan ke Una.
Nggak usah heran dengan keahlian Mahsa yang satu ini. Sejak kelas I MTs ia sudah berlangganan ke klinik skin care gitu, untuk konsultasi jerawat. Apalagi ia memang ada jatah untuk itu dari Ayahnya tiap kali sambang ke pondok. Biasanya Ayahnya akan meminta izin ke Mbah Nyai untuk sekadar jalan-jalan ke kota Mojokerto. Tapi, intinya ya pergi ke klinik, kalau pas jerawat Mahsa sedang kambuh.
“Kalau kamu rajin cuci muka dengan sabun anti acne, itu sudah benar. Tapi, kadang cocok-cocokkan juga. Ada juga yang justru bertambah parah dengan memakai produk tertentu.”
“Trus, gimana dong?” Una bingung.
“Sudah, pakai aja sabun yang sudah kamu beli itu. Cocok nggak
cocoknya belakangan aja. Yang penting sekarang kamu harus pede gitu lho dengan pendatang seksi di pipimu itu.”
 “Seksi? Apanya yang seksi. Ada juga nyebelin.”
Mahsa mencibir, “Tuh, baru kerasa kan gimana kalau punya jerawat.
Emang nyebelinnya kayak gimannna?” ledek Mahsa.
Una manyun, merasa dibalas dengan komentarnya yang dulu tentang jerawat Mahsa. Nyebelin gimana ya? Emang susah juga sih buat dijelasin. Yah, mungkin jadi kelihatan aneh aja. Ada bintik-bintik merah di pipi. Nggak mulus. Nggak cantik.
“Kalau kamu tetap njelek-njelekkin diri gara-gara jerawat, yang terasa ya nyebelin gitu. Coba kalau kamu mikirnya jerawat itu suatu tanda kalau kamu tuh bukan anak kecil lagi. Kamu sudah jadi perempuan dewasa.
Ceile. Tuh kan jadi seksi kan?”
Seksi? Bener nih jadi seksi…
“Duh yang sudah siap mau Posyandu. Ke mana aja nih, kok nggak pernah ikutan!”
Una menoleh sambil tersipu malu, “Diimbu dulu, Mbak. Biar ranum.”
“Wah, ternyata emang bener-bener sudah ranum,” balas Zila sambil senyam-senyum, melirik pipi Una.
Cewek yang perasaannya lagi melambung itu cuma mesam -mesem. Dua hari ini ia sudah terbiasa dengan lirikan -lirikan semacam itu. Jangankan lirikan, ledekan atau komentar usil tentang perubahan di pipinya itu sudah sering ia dapatkan dari teman -teman sekamarnya.
“Waduh, dapet ciuman dari cowok mana neh, kok bisa jerawatan gitu?”

“Hayo, Una. Sudah mulai kenal cowok ya. Tuh ada bintang - bintangnya…”
“Aduh mau dong dikasih atu. Biar pipiku jadi humaira’ gitu…”
“Hoi, santri putih kita sudah kejatuhan merah -merah di pipinya. Syukuran-syukuran…”
Wah, pokoknya macem-macem deh komentar mereka. Dari adik kelas sampai para kakak kelas. Tapi, yang jelas semuanya selangkah lebih dewasa dari Una. Kan sudah pada haid alias menstruasi.
“Ayo kita berangkat,” tiba-tiba Adawi sudah nongol bersama tiga anak buahnya yang lain. Iswati, Hana, dan Ipung.
Una dan Zila segera beranjak, setelah sebelumnya saling bersalaman satu sama lain. Tradisinya emang kayak gitu. Karena seperti disebutkan dalam hadits jika dua orang muslim bertemu lalu bersalaman, Allah akan mengampuni dosa keduanya sebelum kedua tangan mereka lepas. Una sih asyik-asyik aja. Cuma salaman, nggak ada susahnya. Berpahala lagi. Apalagi telapak tangan teman-teman Una itu lembut dan halus. Hm, pakai lotion apa ya? Una membatin.
Usai mengisi buku Keamanan tentang tujuan keluar, jam berangkat, dan rencana kembali, Adawi menggiring anak buahnya menuju lokasi kegiatan dengan berjalan kaki. Seumur Una tinggal di pondok, baru kali ini ia melewati gang-gang di perkampungan Kalirandu. Sebuah pemandangan yang berbeda dari jalan yayasan yang setiap hari ia lewati. Bersama dengan santri-santri dewasa lagi!
Huh, rasanya Una semakin pede dengan label jerawat di pipinya. Langkahnya terlihat begitu mantap dengan sikap tegak. Sekarang ia tak perlu lagi merasa jadi yang paling kecil. “Kita sudah selevel, Mbak,” batin Una bangga sambil melirik Adawi yang berjalan di sampingnya. Ternyata ada baiknya juga Una ikut Posyandu. Selain jadi tahu lingkungan sekitar, nggak ngumpet terus-terusan di dalam pondok. Una juga bisa uji coba wajah seksi barunya ke khalayak umum. Asal nggak ke anak balitanya aja.
Sendirian Una menyusuri koridor MTsN yang tampak sepi dan lengang. Seandainya boleh memilih, siang-siang begini sebenarnya ia lebih seneng istirahat, tidur-tiduran di kamar. Apalagi abis dari Posyandu yang ternyata cukup melelahkan. Tapi, berhubung kebagian jatah menemui juru masak acara Muwada’ah sekolahnya, mau tidak mau U na harus merelakan waktu istirahatnya siang itu.
Meskipun demikian, jujur dari relung hatinya yang paling dalam, Una sangat bersyukur bisa terekrut dalam kepanitiaan Muwada’ah di tahun kelulusannya. Paling tidak ia bisa ngumpul bareng anak -anak MTsN dari pondok lain. Di antaranya Ima Maryono, Nur Hasanah, Giana, Hidayatus Sholihah, dan Inung yang juga jadi seksi konsumsi. Ditambah Fanani, Rahid, Labiq, Luqman, dan Syauqi. Kelima nama yang terakhir ini lumayan juga untuk mengisi katalog nama-nama cowok kenalan Una, selain Raziv.
Dan, siang ini ia akan bertemu dengan Labiq. Cowok paling manis di antara cowok-cowok yang jadi panitia konsumsi. Memang manis, setidaknya menurut penilaian Una yang membandingkannya dengan Raziv. Tinggi, berisi kayak bandeng, kuning bersih, mancung, mata tajam, rambut ikal…
“Hallo, cari siapa?”
Una njegrak. Jerawat di pipinya berasap. Langkah jomblonya terhenti seketika.
“Hehehe, kaget ya?”
Una tertegun menatap cowok bersarung di hadapannya. Yang dibayangkannya Labiq, tapi kenapa yang muncul lagi-lagi makhluk aneh ini?
“Hai, hallo. Ada yang menarik?” ia merentangkan sarungnya kayak puteri kerajaan merentangkan gaunnya kemudian merunduk tanda menghormat.
“Kok kamu? Teman-teman konsumsi pada ke mana?” Una mulai bersuara. Agak enak didengar daripada suara hatinya: Kok pakai sarung lagi? Celana panjangmu ke mana?
Raziv angkat bahu, “Aku juga baru datang. Kata Labiq ada rencana menemui juru masak gitu.”
“Ada hubungan apa kamu sama Labiq?”
“Kami? Em… hubungan atas bawah,” Raziv berisyarat den gan dua telapak tangan yang diposisikan tumpang tindih dengan punggung telapak menghadap ke atas.
“Ha!”
“Kenapa?”
“Kok atas bawah gitu?” respon Una kali ini entah jalan ke mana.
Raziv tertawa renyah, “Ya karena seksi konsumsi ada di bawah tanggung jawab ketua III, jadi ketika anak buah nggak bisa maka aku yang menggantikan,” dilanjutkan dengan pamer senyum. “Kamu sendirian?”
“Enggak. Sama kamu gitu kok!” Una mulai enjoy dengan yang horor - horor. Eh, humor-humor!
Raziv tersenyum, dengan mata mengamati wajah Una. “Masuk yuk, daripada menunggu teman-teman di luar.”
Una celingukan lagi. Berduaan dengan Raziv di ruang kepanitiaan merupakan satu kesempatan yang bisa menjadi sebuah kesalahan fatal. Kesempatan karena Una belum pernah sendirian berhadapan dengan cowok pasca kedewasaannya. (Baca: pasca- Una jerawatan). Sekalian uji coba kemasan baru. Dan, jadi kesalahan fatal kalau Mahsa melihat atau ada mata-mata yang melapor.
“Sudah, ayo masuk,” Raziv melangkah duluan, membuka pintu ruang kepanitiaan lebar-lebar, dan duduk bersila di lantai yang berkarpet hijau.
Una masih ragu karena tarik-menarik dua sisi hatinya itu. Satu detik, dua detik, tiga detik, hore! Una bertepuk -tepuk senang. Ternyata lomba tarik-menarik itu dimenangkan oleh sisi hatinya yang ingin beruji coba.
Dan, bayangan wajah Mahsa yang penuh amarah berubah jadi boneka mini mouse yang kepalanya tertutupi helm anggar.
“Em eh, kalau nggak salah, kamu Una kan? Temannya Mahsa yang aku pernah ketemu di ruang kelas sendirian?” tanya Raziv tiba -tiba, begitu Una masuk dan mengambil duduk di dekat pintu.
Una menegang, “Bukan. Mungkin kita agak mirip aja,” jawab Una asal. Jadi, sedari tadi ia cuma STSK. Sok tahu sok kenal. Katanya cerdas, tapi kok ke-dhabit-annya mengkhawatirkan gitu. Perlu banyak pertemuan untuk bisa masuk memorinya.
“Oh, sepurane. Jangan salah kira gitu. Aku cuma pingin menegaskan saja. Soalnya, …em,” Raziv mikir-mikir sambil mengamati wajah Una. “Oh iya, aku tahu! Pantesan jadi kelihatan lain.”
Tadinya Una belum on. Lama-lama ia pun jadi tersipu malu, nggak jadi marah. Apalagi ketika Raziv jelas-jelas menanyakan, “Jerawat baru ya?” Huh… rasanya Una rela banget untuk tidak marah lagi selamanya.
“Kalau di tempatku, di Madura sana, jerawat itu ada macam -macam lho…”
Una mengangkat wajah. Ada bunga-bunga di setiap jerawatnya. “Sama, di tempatku juga. Ada komedo, jerawat biasa, dan jerawat batu. Setiap jenis itu ada cara pencegahan dan penyembuhannya sendiri - sendiri,” Una mengulang keterangan Mahsa beberapa malam yang l alu.
“Oh ya, kalau tempatku nggak cuma tiga macam, tapi sepuluh…” “Hu, banyak baaanget!”
Raziv tersenyum sambil meregangkan jari-jarinya siap menghitung, “Jadi, di tempatku ada sepuluh macam jerawat, yaitu jerawat satu, jerawat dua, jerawat tiga, jerawat empat, jerawat lima…”
Una tertawa, “Sialan!”
“Eh, kamu tahu nggak bahasa Arabnya pipi penuh jerawat?”
Una mengerutkan kening. Tiba-tiba ia jadi menyesal kenapa suka malas menghafalkan mufradat tiap pelajaran Muthala’ah. Ia menggeleng bloon.
“Kok susah amat. Khumairo’ dong!” Raziv tertawa senang. “Nah, kalau jerawat yang suka mondar-mandir di rumah sakit?”
Una geleng-geleng lagi.
“Masak nggak tahu. Kan perawat,” Raziv mengerling lucu, membuat Una tersenyum tersimpul-simpul. “Nih ada lagi, kalau bahasa jepang nya mau jerawatan?”
Masih dengan senyumnya, Una menggeleng nyerah.
“Yu gata-gata di pipi he!”
Kali ini Una tak sanggup menahan tawanya melihat ekspresi wajah Raziv yang dibikin kayak Ajinomoto, atau nama Jepang lainnyalah, yang mendelik kayak melihat kuda pipis.
“Kayaknya kamu juga perlu tahu bahasa Mandarinnya jerawat besar deh!” Raziv masih terus meneror Una dengan tebakannya.
“Emang apaan?” ucap Una di sela-sela tawanya. Matanya tampak berkaca-kaca.
“Bi Sul Lan, aduh Nona. Haiya!”
Lagi-lagi Una tertawa, sampai ia harus berkali-kali mengusap matanya yang berair. Sudah lama ia tak menangis lucu seperti sore ini. Kini, ia tahu satu alasan tambahan kenapa Mahsa begitu tergila -gila sama Raziv.
Meskipun ia belum mendengar sendiri dari Mahsa. Yah, cowok bersarun g itu doyan humor.
“Sebenarnya masih banyak lelucon soal jerawat. Tapi melihat kamu yang tertangis-tangis gitu, aku jadi nggak enak nih. Eh, ngomong - ngomong teman-teman kok belum ada yang nongol ya?”
#Bila yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu… #
Tanpa menunggu jawaban Una, Raziv buru -buru meraih sesuatu dari dalam saku bajunya. Selesai menekan tombol terima ia menyapa suara di seberang dengan salam.
“Iya, ada apa, Biq?” Raziv meneruskan kalimatnya sambil menatap Una yang juga menatapnya. Ehm, saat-saat yang ternyata sanggup membuat hati Una berdebar-debar. Beginikah rasanya beradu pandang?
“Oh, begitu ya. Jadi, nggak Jumat ini?” Raziv diam sebentar. “Oh gitu, oke-oke. Ya. Ya udah. Bye.”

empat

Pertemuan tak sengaja dengan Raziv sore itu ternyata menjadi satu memori indah yang tak terlupakan bagi Una. Dalam setiap kesempatan, misalnya, ketika membasuh muka, memakai sabun pembersih wajah, berkaca, memakai bedak (oh Una sudah kenal dengan bedak ya) atau mendengar kata yang berakhiran wat, seperti lewat, gawat, kawat, cawat, ups! Pokoknya yang ada hubungannya sama watnya jerawat, banyolan Raziv sore itu secara otomatis akan terputar lagi dalam ingatannya. Lengkap dengan suasana hatinya yang penuh bunga.
Tapi, Una sendiri tak habis mengerti dengan apa yang tengah dirasakannya. Yang jelas, sejak Jumat sore itu, ia jadi suka berdebar - debar tiap kali Mahsa menyebut-nyebut nama Raziv. Kalau biasanya ia cuma diam mendengarkan, akhir-akhir ini ia bisa berkomentar ini dan itu. Tentu saja dengan mengembangkan hasil pengamatannya terhadap cowok itu. Bahkan, tak jarang komentarnya malah lebih sesuai dengan yang diinginkan Mahsa tentang sosok Raziv. Hei, AADU ya? Alias, ada apa dengan Una?
pada mata, tatapan
senyuman, ucapan
hati
senja, jingga
bulan, bintang …
ada cinta
“Hayoo! Nulis apaan tuh!”
Buru-buru Una menghentikan goretan penanya dan menutup halaman buku tulis di hadapannya. “Gak sopan Mbak Upik ini. Bikin kaget orang!”
Upik yang datang dengan segunung jemuran kering di tangan tampak tersenyum menggoda. “Aku tahu kok kamu nulis apa,” ucapnya sambil meletakkan bawaannya di dekat Una. “Surat kan?”
“Enggak aja…”
 “Kalau gitu… berarti puisi. Sebab hanya dua jenis itu yang ditulis seseorang dengan menerawang ditambah melamun,” Upik ngakak. “Yang ini bener kan? Meskipun teoriku agak ngawur?”
Una mencibir.
“Hayo, puisi apa? Nggak biasanya kamu nulis puisi. Biasanya kan nambal kitab atau ngerjakan PR?” Upik bertanya -tanya sambil melipati satu per satu pakaiannya. Anak kelas akhir MAN ini emang lumayan akrab sama Una. “Atau… em lagi terjangkit cinta ya?” Upik berdehem.
Una lagi-lagi mencibir. “Emangnya kalau nulis puisi itu harus jatuh cinta?”
“Katanya sih, cinta itu bisa bikin orang berpuisi. Bisa bikin yang biasa - biasa jadi luar biasa. Bisa bikin…”
“Berdebar-debar dan sumringah juga?”
Upik menghentikan gerak tangannya. “Jadi benar ya?” tanyanya penuh selidik. “Siapa? Gus dari mana? Hehehe…”
“Hus Mbak Upik ini. Kok sampai nyebut-nyebut gus segala. Aku ini bukan Mahsa yang levelnya emang sama gawagis. Bakatku cuma sama cowok sederhana yang ndeso tapi humoris. Gak keren tapi pinter.
Kerempeng tapi bisa bikin hatiku dag dig dug. Mm…”
“Ck ck ck, pertumbuhanmu cepet banget, Un. Baru saja jerawatan, sudah langsung tertarik sama cowok. Pinter berdiksi lagi!”
Una tersipu-sipu. Rasanya seneng banget dipuji habis-habisan sama Upik.
“Eh, siapa nama cowok beruntung itu?”
Una tengak-tengok sebentar, melihat sutuasi dan kondisi. Soalnya meskipun sudah pukul 11.00 saatnya tidur siang, masih banyak anak kamarnya yang sibuk mondar-mandir. Setelah dirasa aman, Una bergumam pelan, “Raziv.” Saking pelannya ia cuma menggerakkan dua bibirnya. Tanpa suara.
“Raziv?” Upik mengulangi jawaban Una. Cewek mungil di depannya itu mengangguk. “Bukannya dia cowok yang ditaksir sama Mahsa?”
Una mengangguk. “Tapi, Mbak Upik jangan bilang -bilang ya. Aku nggak ada maksud untuk merebut Raziv kok. Aku cuma kebetulan aja merasakan sesuatu sama dia. Yaqin bilqaf, Mbak. Aku cuma merasakan
saja, nggak ada niatan yang macam -macam,” Una berwajah seperti baru saja menumpahkan susu dari cangkirnya.
Upik tertawa lagi, “Duh Una, kok jadi merasa bersalah gitu s ih. Biasa aja lagi. Aku juga nggak ada tuh suuzhan apa gitu sama kamu. Aku ngerti kok kalau semua itu terjadi dengan tiba -tiba.”
“Padahal pas pertama ketemu aku malah sempat heran dengan penampilannya yang jauh beda gitu sama Mahsa. Aku juga heran kenapa pilihan Mahsa jatuhnya ke Raziv.”
“Ternyata…”
“Yah, ada sesuatu yang lebih dari sekadar tampilan yang bisa membuat aku tertarik. Mungkin Mahsa juga seperti itu. Meskipun ia seorang ning yang levelnya sama gus.”
“Begitulah cinta. Dinalar-nalar juga susah, karena persoalannya ada dalam rasa.”
“Emang ini cinta?”
“Yah, sebut aja bibit-bibit cinta. Apakah ia akan tumbuh menjadi cinta atau tidak, tergantung gimana kitanya. Mau merawat atau tidak.”
“Tapi kalau bibit ini aku rawat, terus aku jadi beneran cinta sama Raziv…”
“Kenapa enggak, kalau memang muaranya akan ke situ.”
“Tapi aku merasa bersalah sama Mahsa, Mbak. Sudah menyimpan rasa sama cowok yang ditaksirnya.”
Upik tersenyum, “Sudah. Kamu gak perlu merasa bersalah gitu atau bahkan berusaha melawan atau membunuh rasa itu. Biarkan saja mengalir. Ikuti alur perjalanan rasa di hatimu,” Upik berlagak kayak psikiater. Ya, psikiater yang juga berprofesi sebagai binatu. “Eh, ngomong-ngomong, dia gus bukan?”
“Ih Mbak Upik, dari tadi kok gus-gusan gitu sih! Kalau dilihat dari tampangnya sih kayaknya bukan.”
“Seandainya benar dia seorang gus?” tanya Upik menggoda.
“Em…gimana ya?”
Upik tersenyum-senyum, “Kamu kok serius gitu sih. Naksir cowok aja kok repot. Pakai nggak boleh sama gus segala. Naksir ya naksir. Cinta ya cinta. Soal gus atau bukan itu kan cuma tampilan. Tul nggak?” Upik menyentil jerawat Una pelan, lalu beranjak sambil menggotong tumpukan rapi pakaiannya masuk ke kamar. Meninggalkan Una yang terdiam dengan kening mengkeret. Cuma tampilan?
Mahsa yang baru datang dari ruang guru tampak tertawa senang. “Jumat besok, panitia Penerima Tamu ada koordinasi internal di MTsN lho!”
“Oh ya,” balas Una malas-malasan sambil menekuni buku tulis di hadapannya. Ia sudah bisa menebak kalau selanjutnya pasti Mahsa akan ngomong soal Raziv.
“Kamu tahu nggak? Koordinasinya sama Raziv. Ketua III kan membawahi seksi Penerima Tamu.”
Una pura-pura tersenyum. Tuh kan bener kan. Tiada hari tanpa menyebut nama Raziv. Itulah Mahsa. Saking seringnya beberapa kali Una dibuat hampir kelepasan omong soal pertemuannya sore itu dengan Raziv. Siapa sih yang gak terpancing ingin bercerita tentang debar -debar di hatinya?
“Nulis apaan sih?” Mahsa duduk di sebelah Una.
Una cuma mengangkat bahu malas. Semalas pikirannya beranjak dari memikirkan aliran baru yang tengah menjalari perasaannya.
“Hm, aku tahu. Pasti lagi nulis jawaban surat di kolong meja kan?”
Una menggeleng, “Jadi suratan aja belum kok!“
“Lho kamu belum jadi nerusin usulku yang dulu?”
“Belum,” jawabnya malas, lalu kembali meneruskan coretannya.
Mahsa tak berkomentar lagi. Ia lebih mendekat ke samping Una. “Kamu belakangan ini kok bete gitu sih. Ada masalah ya?”
Una menggeleng malas, “Emboh. Rasanya gak ada masalah, tapi kok susah!”
“Hm, pantesan,” Mahsa mengamat-amati wajah Una, “jerawatmu bukannya berkurang, malah semakin padat saja!”
Una mengangkat kepalanya yang semula tergeletak malas di meja, “Iya. Tambah banyak ya?”
“Bertambah banyak sih enggak. Tapi semakin merekah dan besar - besar. Kalau kamu stres terus-terusan, dijamin akan semakin membuka kemungkinan jerawatmu berkembang liar.”
Una termangu diam. Membenarkan ucapan Mahsa barusan, seperti pernah juga diucapkan oleh Upik. Tapi, gimana nggak stres kalau ia harus memendam dalam-dalam pengalaman pertamanya dikenal, ndaeng dan bisa guyon sama cowok? Apalagi sampai ada yang mendayu -dayu di hatinya. Padahal biasanya, papasan sama anak pondok putera aja ia sudah heboh bercerita. Ke siapa lagi kalau bukan ke Mahsa. Atau diajak ngobrol sama Pak Mustafid, si duku di MTs Plus yang ngaja r Khot Imla’. Tahu duku kan? Duda Kurus.
Masalahnya sekarang kalau ia mau berbagi perasaan ke Mahsa, besar kemungkinan temannya itu akan cemburu berat. Apalagi kalau Mahsa mendengar bagaimana serunya Raziv mbanyol soal jerawat. Itu sama saja dengan mengatakan kalau jerawat Una lumayan menarik di mata Raziv. Sementara Mahsa yang selama ini berjerawat belum pernah mendapat perlakuan sedemikian rupa dari cowok Madura itu. Hm, Una bisa membayangkan bagaimana gambaran murka Mahsa karena sudah kalah satu langkah dalam hal jerawat dari dirinya.
Walhasil karena pertimbangan itu Una paling -paling cuma cerita kalau rencana menemui Mbak Tami Jumat sore itu belum jadi. Soalnya kebetulan Yeni dan Labiq yang bertindak sebagai koordinator konsumsi puteri dan putera dipanggil orang tua masing-masing. Dan untungnya, Mahsa langsung paham dan tidak menginterogasinya dengan banyak pertanyaan.
“Un, aku ada ide bagus nih soal perkembangbiakan jerawat di pipimu itu,” Mahsa tiba-tiba memecah kesunyian. Siang itu suasana di kelas mereka memang sudah mulai sepi. Pelajaran terakhir sebelum istirahat kosong. Jadinya anak-anak langsung bisa ngabur, dengan maksud dan rencana masing-masing.
“Ide apaan?” Una kembali mengangkat kepala dengan gaya antusias.
“Ke salon aja yuk?”
“Mbersihin jerawat seperti saranmu yang dulu?”
“Ya iyalah. Biar enak dilihat gitu.”
“Mm, tapi gimana ya? Sayang…”
“Kok sayang?”
“Ini kan jerawat pertamaku…”
“Terus mau kamu museumkan gitu??”
 “Ya enggak gitu sih. Tapi…,” Una buru-buru menahan mulutnya untuk tidak mengatakan kalau jerawat di pipinya itu ternyata sudah berjasa membuat dirinya kenal dan bisa ngbrol akrab dengan Raziv.. Jadi, rasanya sayang gitu kalau harus dibumi -hanguskan. Seandainya bisa diambil satu untuk diawetkan…
“Tapi apa?” Mahsa menyelidik.
“Kan mahal kalau ke salon,” Una berhasil mendapatkan alasan yang lain.
“Mahalnya nggak seberapa kok. Daripada wajahmu jadi penuh gitu,” Mahsa meyakinkan. “Sudah, nanti separonya aku yang bayarin. Bagaimana?”

lima

Beginilah enaknya berteman sama Mahsa. Gampangan dan care sama teman. Apalagi dasarnya Mahsa memang berfasilitas lengkap. Sampai - sampai Una jadi merasa banyak berhutang budi sama temannya itu.
Pukul 07.00 Ayah Mahsa sudah siap menunggu di ndalem. Kebetulan semalam ia ada ceramah di Jombang, jadi bisa memenuhi permintaan anaknya untuk mampir ke pondok. Untuk memintakan izin ke kota sama Mbah Nyai. Tapi, berhubung hari itu hari Selasa, bukan hari libur kegiatan, proses izinnya ternyata cukup alot. Kalau Mahsa dan Una pergi ke kota berarti mereka mbolos ngaji dan kegiatan Wajib Baca Kitab.
Kate ngopo nang Mojokerto, mejeng tah?” Mbah Nyai sempat berseloroh sebelum Ayah Mahsa menjelaskan panjang lebar alasan kepergian mereka pagi itu. Di antaranya untuk memeriksakan kondisi wajah Una yang kelihatan padat itu.
“Iya-iya. Sebenarnya Mbah tidak bermaksud untuk melarang kalian pergi ke sini dan ke situ kecuali ditemani wali. Mbah cuma ingin membiasakan kalian untuk hidup sederhana, terbiasa memilah -milah mana yang penting dan tidak untuk hidup kalian. Soalnya kalau tidak ada rem yang berupa peraturan, mesti koen-koen setiap hari gaweane nang Mojokerto. Onok wae alesane. Iyo ta igak?”
Mahsa dan Una tersenyum sambil menunduk. Pikiran mereka campur aduk, antara mengiyakan, tersindir, dan gak sabar ingin cepat sampai ke kota. Untunglah Mbah Nyai segera mengulurkan tangan, usai Ayah Mahsa sekalian mohon pamit. Mereka jadi juga ke salon, meskipun dengan batasan waktu sebelum zuhur harus sudah sampai pondok.
Jarak pondok dengan kota kalau ditempuh dengan becak ada sekitar tiga puluh menit. Berarti kalau pakai mobil Ayah Mahsa, bisa lebih cepat dari itu. Mobil Honda Jazz warna merah menyala yang AC -nya bikin Una enggan untuk keluar. Kalau dihitung -hitung ini untuk ketiga kalinya Una nebeng mobil berplat L itu ke Mojokerto, barengan Mahsa dan ayahnya.
“Ayah nggak bisa nungguin kalian sampai selesai ya. Nanti kalian pulang naik becak aja. Tapi ingat, jangan melebihi batas waktu. Kalian harus sekolah,” pesan Ayah Mahsa begitu mereka berhenti di depan Nastiti Beauty and Skin Care.
Mahsa dan Una mengangguk sumringah, dan segera melenggang ke bagian resepsionis untuk mendaftar. Syukurlah pasien pagi itu tidak terlalu banyak, jadi tidak perlu antri. Dalam setiap gerak -gerik, Una selalu memosisikan di belakang Mahsa. Ia tak berkata apa -apa. Sesekali ia hanya mengangguk ketika mbaknya yang cantik itu menjelaskan maksud Mahsa dan meminta tanggapannya.
Sekarang Una dan Mahsa sudah dibawa ke tempat perawatan, berupa ruang-ruang bersekat yang terbuka menghadap taman yang sejuk dan hijau. Suara air terdengar menggemericik mengalir di kanal -kanal kecil. Airnya yang bening membuat transparan warna ikan -ikan hias yang berenang ke sana ke mari. Di setiap sudut, pandangan Mahsa dan Una dimanjakan oleh berwarna-warni bunga mawar dan anggrek.
Beberapa menit berikutnya, dengan posisi duduk bersandar dan kepala diposisikan pada tempatnya, Una sudah diservis layaknya motor oleh mekanik Nastiti yang lembut dan ramah. Sementara Mahsa duduk di sebelah Una sambil melihat-lihat majalah yang isinya cuma perempuan-perempuan cantik.
Rasa-rasanya baru sekali ini Una diperlakukan kayak puteri keraton. Mengikuti serangkaiam perawatan wajah untuk membersihkan jerawat yang dulu hanya bisa ia bayangkan dari sedikit cerita Mahsa. Dari sekadar wajahnya dibersihkan dengan sabun tolak jerawat lalu dibilas dengan air hangat, sampai wajahnya diuapi dengan Rempah Uap yang katanya mengandung daun sirih dan berkhasiat untuk mencegah peradangan serta memudahkan pengeluaran lemak-lemak dan jerawat yang sudah matang.
Namanya juga diuapi, rasanya memang gerah. Tapi, setelah penguapan itu dan usai wajah Una dibersihkan, tahap berikutnya adalah pemakaian masker jerawat yang rasanya adem ples ayem. Pas proses ini Una hampir-hampir tertidur pulas kalau saja Mahsa tidak berteriak -teriak keras membangunkannya.
“Ngantuk ya, Mbak,” mbak mekanik salon yang bernama Lina itu sudah kembali dengan senyumnya yang ramah. “Santai aja, kita sudah hampir selesai kok. Tinggal membersihkan sisa masker dan jerawat.”
“Dipencet ya, Mbak?”
 “Enggak. Cuma dibersihin sama dikasih lotion antijerawat aja kok.”
Una bernapas lega, apalagi ketika Lina sudah selesai dengan pekerjaannya dan meminta Una untuk menunggu kering sebentar. Setelah itu barulah ia dan Mahsa boleh pulang.
“Di sini nyaman banget ya, Sa. Rasa-rasanya semua jerawat di pipiku hilang seketika,” Una tersenyum sambil menengok ke kanan dan ke kiri dengan takjub.
Mahsa mencibir lucu, “Maunya sih, punya tempat tinggal kayak gini. Apalagi punya perawat yang bisa menyervis jerawat kita…”
“Hihihi…,” tiba-tiba Una tertawa geli. “Berarti tebakan Raziv kurang lengkap ya. Harusnya kan jerawat apa yang suka mondar -mandir di rumah sakit dan di klinik Beauty and Skin Care?”
Mahsa tercekat, senyumnya mengkeret. “Tebakan Raziv? Tebakan yang mana?!”
“Oh eh,” Una spontan cengar-cengir, “teb…tebakan tentang jerawat,” jawab Una dengan suara seperti santri puteri yang kepergok meng-ghashab sandal Bu Nyai. Dalam hati ia meruntuk habis -habisan lidahnya yang kelepasan. Benar-benar gawat.
“Kapan kamu tebak-tebakan sama Raziv?” Mahsa mulai menginterogasi.
“Em, pas Jum’at itu…” “Jumat kapan? Pas kita rapat iuran itu?” sekarang kening Mahsa yang mengkeret. “Kamu kan belum jerawatan?”
“Bukan. Tapi Jumat pas …”
Mau tidak mau Una pun membeberkan detil pertemuan dan pembicaraannya sore itu dengan Raziv. Kenangan yang lucu dan menyenangkan bagi Una, tapi cerita yang sakit dan memekakkan bagi telinga Mahsa. Meskipun usai cerita Mahsa masih bersikap biasa, Una bisa menangkap sesuatu yang lain dari sorot matanya. Dingin dan beku.
“Yuk pulang, sudah jam sebelas,” ajak Mahsa singkat. Tanpa menunggu Una beranjak, ia melangkah duluan keluar ruangan. Rasa nyaman yang baru saja dirasakan Una tiba -tiba menguap seketika. Apalagi ketika Lina menawarkan Jamu Jerawat yang mengandung temulawak, sambiloto, dan pegagan yang berfungsi untuk mencegah timbulnya jerawat, dan Mahsa menjawab ketus, “Gak perlu!” Duh, rasa -
rasanya pandangan Una mendadak kabur, sampai -sampai Nastiti Beauty and Skin Care yang nyaman itu di matanya jadi penuh oleh jerawat.
Sambil tengkurap Una menelungkupkan wajahnya ke bantal, tak kuasa menanggung beban penyesalannya yang berjubelan menyesaki perasaannya. Pertama, ia menyesal sudah pergi ke salon karena ternyata, justru dari tempat itulah persahabatannya dengan Mahsa kemudian terancam bubar.
Kedua, ia menyesal tidak mengindahkan pesan Mbah Nyai untuk belajar hidup sederhana dan mendahulukan mana yang lebih penting daripada yang lain. Karena ternyata, gara-gara ke salon ia harus kasbon ke Mahsa 150.000. Padahal ia masih belum tahu akan dapat kiriman berapa bulan ini.
Ketiga, ia menyesal kenapa tidak cerita terus terang ke Mahsa soal pertemuannya dengan Raziv. Karena apa pun reaksi Mahsa saat ia cerita mungkin tidak akan separah reaksi Mahsa sekarang. Bisa -bisa saat ini Mahsa semakin yakin kalau Una ada perasaan sama Raziv. Sampai harus rahasia-rahasiaan segala.
Una menitikkan air mata tapi tanpa suara. Mengingat mushala yang menjadi ruang tidurnya masih terang dan ramai oleh celoteh para santri yang belum juga beranjak ke alam mimpi. Rasanya ia menjadi satu-satunya manusia yang penuh duka nestapa, tanpa seorang pun yang mau peduli. Malam ini adalah malam kedua ia pisah ranjang sama Mahsa, buntut dari ketegangan di salon Nastiti. Sepertinya Mahsa belum bisa memaafkan ketertutupannya soal pertemuannya dengan Raziv waktu itu. Sedemikian berdosakah diri Una?
“Hiks…hiks…hiks…,” kali ini Una sudah terisak -isak mengadu pada bantalnya yang berbaju biru tua. Rekaman dialognya sama Mahsa ketika takrar kembali berputar dalam ingatannya.
“Aku benar-benar minta maaf, Sa. Aku nggak ada maksud untuk menjadi tanaman makan pagar apalagi pengkhianat…”
“Pagar makan tanaman maksudmu?”
Una mikir-mikir, “Iya. Maksudku itu. Aku cuma mau menjaga perasaanmu! Daripada kamu jadi sakit hati dan sedih gara -gara ceritaku mending aku simpan aja, dan aku anggap tak pernah terjadi.”
 “Tapi kan kita sudah bikin kesepakatan kalau di antara kita nggak ada yang perlu dirahasiakan. Kamu ingat nggak sih!” Mahsa memekik. “Kalau ternyata kamu justru merahasiakan, bukannya ini malah memancing kecurigaanku?”
“Ya ampun, Sa! Kamu curiga apalagi sama aku?”
“Pertemuan itu pasti spesial banget kan buat kamu. Kamu ada rasa kan sama Raziv?”
Una mendelik. Ternyata kekhawatirannya terbukti.
“Benar kan?”
“Ya ampun, Sa!”
“Kalau gak ada apa-apa, enggak mungkin sebentar aja kamu bisa akrab gitu sama dia. Pakai guyonan soal jerawat lagi!” Mahsa terbakar api cemburu.
“Itu nggak aku sengaja! Kamu ngerti dikit dong!”
“Ya kamu itu yang harusnya ngertiin perasaanku! Harusnya kamu menghindar atau gimana kek biar tidak ada guyonan yang memancing kayak gitu. Malah sebenarnya kalau mau, kamu kan bisa ngobrol sama Raziv tentang aku!”
Una melongo. Heran campur bingung. “Kamu kok aneh gitu sih!”
Mahsa tersenyum sinis, “Ya kayak gini ini kalo ngomong sa ma orang yang belum pernah merasakan cinta!”
Desk! Serasa ada yang menghantam ulu hati Una. Dan, baru kali itu Mahsa melakukannya. Una menunduk.
“Kamu harusnya tahu kalau Raziv itu seibarat kitab sudah aku kasih stempel Belong to Mahsa! Atau: Al-mustahiqqah hadzal amrad al-haqirah al-faqirah ila rahmati rabbiha Mahsa .”
Una membisu. Hanya menatap Mahsa yang sejak kepulangan dari salon itu tak pernah sekali pun mau menyapa atau mengajaknya bicara.
“Ziv Nasim itu lora, gus. Makanya dipanggil Raziv. Jadi, pant aslah kalau aku mbela-mbelain Raziv untuk tidak kamu dekati. Harusnya kamu tahu sendiri kan kenapa?”
Una tetap membisu. Tapi, ia perlahan menunduk. Berusaha menyembunyikan perubahan rona pada mukanya. Ucapan Mahsa kali ini terasa lebih kuat menghantam ulu hatinya. Hingga tanpa terasa matanya mulai berkaca-kaca.


enam

“Dorrr!”
Sebuah tepukan keras membuat Una spontan tersentak. Jantungnya terasa mau copot saking kagetnya. Dadanya saja sampai berdebar -debar hebat.
“Hehehe. Kaget ya…”
Una diam saja. Tak peduli. Menoleh ke sumber suara pun tidak. Pertama, karena masih berusaha meredakan rasa kagetnya. Kedua, karena komentar Umi yang terdengar begitu tidak bermutu di telinganya justru menyulut rasa marahnya. Ketiga, karena rasa jengkel da n marah yang tiba-tiba memuncak dalam benaknya. Benar-benar marah. Hrrrgh! Rasanya Una ingin sekali membalasnya dengan teriakan yang lebih keras. Lebih memekakkan. Biar teman satu kamarnya itu njumbul, bahkan pingsan sekalian saking kagetnya.
“Duh, marah ya?”
“Hegh,” Una menarik napas panas. Dan, cres! Ia menoleh ke arah Umi dengan tatapan setajam taring harimau yang lagi marah. “Nyebelin banget, tahu nggak sih!”
Umi cengar-cengir. Oo, maksud hati ingin bercanda, ternyata Una -nya lagi off. Sebagai langkah alternatif buru-buru ia berkata, “Sepurane ya, Un.”
“Lihat-lihat dong kalau mau guyonan. Untung aku nggak punya penyakit jantung,” Una bersungut -sungut.
“Sekali lagi maaf. Aku sebenarnya cuma mau nyampein pesan dari Mbak Adawi. Katanya kamu sudah ditunggu tuh di depan kantor. Posyandu.”
Una tak berkomentar. Tapi, posisi bibir atasnya masih njungkir. Setelah menutup buku tulisnya dan menumpuknya bersama buku - bukunya yang lain di atas dampar, ia melenggang begitu saja meninggalkan Umi yang tampak heran dan bingung. “Una apa bukan ya? Kok jadi harimau gitu?” gumamnya pelan.
Untungnya Una tak menoleh ke belakang lagi. Soalnya kalau menoleh, urusannya akan jadi lebih panjang dan bisa -bisa malah akan menambah daftar masalah yang sekarang ini tengah membebani pikirannya.
Yah, Una lagi bete. Jadi, jangan heran kalau ia gampang ghadhab hanya karena kesenggol ujung rambutnya. Ia jadi serius dan sering banyak diam. Nggak pernah ngomong, kecuali yang penting -penting saja. Nggak pernah tersenyum kecuali kalau pas gosok gigi. Nggak pernah berlama-lama di kamar kecuali ada rapat atau lagi piket kebersihan. Pokoknya Una benar-benar sudah menjadi gunung berapi yang sudah berasap dan sewaktu-waktu bakal meletus.
“Lho kok belum dandan, Un? Mau ikut Posyandu nggak?”
Una menggeleng sambil terduduk lesu di teras kantor.
“Lagi nggak enak bodi ya?”
Una mengangguk. “Absen lagi nggak papa kan, Mbak?”
“Ya, nggak papa. Daripada kenapa-napa. Ya udah ya, aku duluan.”
Adawi tersenyum sebelum kemudian memimpin anak buahnya keluar dari pintu gerbang. Una masih duduk terpaku di depan kantor. Mengamati lalu lalang para santri dengan gerak langkah aktivitas masing - masing. Jumat pagi kayak gini biasanya mereka lebih banyak disibukkan dengan kegiatan ekstra. Entah kursus atau rapat di sekolahan.
Selain Posyandu, sebenarnya pagi itu Una ada agenda untuk menemui Mbak Tami bareng tiga teman tim konsumsinya. Menggantikan Jumat lalu yang belum jadi. Tapi, lagi-lagi mood-nya sudah turun. Ia sudah enggan dengan tugas-tugas itu, dengan hal-hal yang buntutnya malah akan membuat dirinya sakit hati seperti sekarang ini. Padahal siapa tahu nanti ia bakal berjumpa lagi dengan Raziv, dan cerita indah jerawat itu akan terulang. Ah, kapan ya bisa ketemu Raziv lagi? Una bergumam dalam hati.
Beberapa malam terakhir ia memang semakin susah tidur. Mikirin kemarahan Mahsa, iya. Mikirin keuangannya yang mepet, iya. Mana enggak bisa pinjam sama Mahsa lagi. Dan, yang terakhir rasa kangennya sama Raziv. Akhirnya ia bisa merasakan kangen itu meski waktunya sedang tidap tepat…
“Katanya sih Una lagi males…”
Mendengar namanya disebut, Una spontan memutar kepalanya menuju ke asal suara. Hegh! Ia tercekat seperti pencuri melihat polisi. Kalau saja bisa, ia mau buru-buru menghindar. Tapi terlambat.
“Nah, itu Una!” Farah berseru sambil menghambur ke tempat Una. “Ini Un, Mahsa nanya, kenapa kamu nggak jadi ikut nemui Mbak Tami. Tapi bener nih, kamu nggak mau berangkat?”
Una cuma menggeleng dingin. Sementara Mahsa pura -pura tak melihatnya. Cuek dan beku.
“Ada pesan-pesan apa gitu…”
Lagi-lagi Una cuma menggeleng malas. Sama seperti Mahsa yang saat itu tengah berdiri di belakang Farah, pandangannya juga mengarah ke mana-mana. Ke dinding kantor, langit-langit teras, papan mading, bentangan koran yang terpampang, bahkan ke genteng kompleks Tinta yang berlantai dua itu.
Farah yang memang tidak tahu apa-apa malah meneruskan, “Kebetulan Mahsa juga ada rapat internal Penerima Tamu. Jadi, kita bisa berangkat barengan.”
Una cuma mengangguk, lalu buru-buru berdiri, “Ya udah. Aku ke perpus dulu ya.”
Dan, klebat. Una segera berlalu dari hadapan Farah dan Mahsa dengan gundukan rasa berat dan jengah.
Aksi saling diam antara Mahsa dan Una memang terus berlanjut. Sejak pertengkaran hebat itu, Una tak pernah lagi berhubungan dengan Mahsa. Apalagi Mahsa memang sengaja diam dan tak ambil peduli. Kalau di sekolah, Mahsa lebih suka bergabung bareng teman -teman bangku sebelah, dan baru kembali ke dekat Una ketika pelajaran akan dimulai. Itu pun pura-pura sibuk dengan bacaan atau coretan, tak memberi kesempatan buat Una untuk sekadar ngobrol.
Kalau biasanya setiap ngaji klasikal mereka duduk berdampingan, sekarang Mahsa sengaja mengambil duduk dekat -dekat dengan teman satu klasikalnya yang lain. Begitu pun ketika takror, mereka tak pernah berdekatan lagi. Jangankan asyik ngobrol seperti yang biasa mereka lakukan menjelang tidur, papasan di jalan aja tak pernah saling menyapa.
Merasa dicuekin Mahsa, Una pun tak mau kalah. Kalau sebelumnya ia sempat berusaha mendekati dan meminta maaf sama Mahsa. Sekarang, no way. “Kalau dia bisa kayak gitu, aku juga bisa. Aku akan tunjukkan kalau tanpa dia pun aku tetap hidup,” tekad Una sengit. Benar -benar sengit.
Tapi, buntutnya kemudian Una malah jadi sering kemrungsung. Jadi uring-uringan. Jadi tidak tenang dan panas. Tentu saja kondisi ini sangat tidak baik untuk kesehatan jerawatnya. What? Ternyata perawatan salon yang beberapa jam itu tidak benar-benar ampuh untuk mengusir jerawat di pipinya. Bintik-bintik merah itu tetap saja bercokol dengan leluasa.
“Mungkin karena perawatannya tidak total. Cuma setengah-setengah,” Una coba menyimpulkan sendiri. Tapi, kalau harus ke salon lagi, sepertinya juga tidak mungkin. Hubungannya dengan Mahsa tidak sebaik dulu lagi. Padahal ia punya andil besar mempromotori keberangkatan Una ke salon. Akhirnya, Una pun harus menghalau jauh-jauh kemungkinannya untuk balik ke salon. Ia lebih memilih untuk tetap membersihkan wajahnya dengan sabun anti acne, meskipun dari hari ke hari tak juga ada perubahan.
“Un, sini! Lihat ini!”
Una yang semula berniat langsung balik ke kamar usai ngaji Bulughul Maram pagi itu, berbelok langkah mendekati Ana yang berdiri menghadap koran dinding. Selain anak satu kamarnya itu, ada beberapa santri lain yang tampak asyik mengerubungi media cetak itu.
“Nih, ada artikel buah-buahan pengusir jerawat,” lanjut anak kelas III MTsN itu antusias. “Kamu semalam nanyain kan?”
“Mana-mana,” jawab Una tak kalah antusias. Saat itu, untuk pertama kalinya ia bisa tersenyum lagi. Setelah beberapa hari ia sempat terlupa bagaimana caranya untuk tersenyum. Ternyata untuk mendapatkan ramuan tolak jerawat, sebenarnya ia tak perlu seharian suntuk berkutat di perpustakaan seperti yang dilakukannya kemarin Jumat. Menyisir satu per satu bacaan yang ada kaitannya dengan perawatan wajah.
Oho, melegakan sekali. Karena tulisan itu sudah terpampang di hadapannya. Ternyata nggak serumit yang ia bayangkan. Cuma dibersihkan, terus digosok pelan-pelan dengan berbagai buah yang ditawarkan. Ada mentimun, blimbing wuluh, tomat, juga jeruk nipis.
“Rasanya perih lho, Un.”
“Kamu pernah nyoba?”
Ana mengangguk, “Pakai jeruk nipis. Tapi, manjur juga kok. Beberapa hari berikutnya jerawatku sembuh. Yang pasti sih, kamu jangan suka mencetin sembarangan. Soalnya bisa infeksi.”
“Oh ya,” Una semakin tertarik. Dalam benakny a ia membayangkan bagaimana Mahsa akan jadi terheran -heran melihat pipinya yang kembali mulus tanpa jerawat. Tanpa harus ke salon, tanpa harus ada campur tangan dirinya. Cukup dengan jeruk nipis. “Kamu beli jeruk nipisnya di mana?”
“Di Wak Jamu. Tapi, kamu pesen dulu. Baru besok sorenya bisa kamu ambil.”
Una mengangguk-angguk dan semakin lebar memamerkan senyum.






tujuh

Suara anak-anak kamar Pena 4 yang akan berangkat sekolah siang itu terdengar gaduh dan riuh di telinga Una. Dari sekadar suara -suara senandung lagu yang nggak jelas judulnya, sampai suara teriakan - teriakan sewot gara-gara sudah ditinggal duluan sama temannya. Apalagi posisi kamar Una memang menghadap jalan setapak yang biasa dilewati anak-anak kompleks Kalimat. Jadi, semakin lengkaplah suasana sibuk siang itu oleh suara gemeruduk langkah kaki yang terburu -buru.
“Nggak sekolah, Un?”
Una meringis, “Tahu nih. Perutku rasanya melilit-lilit.”
“Telat makan ya,” Upik yang baru mau mandi ikutan nimbrung. Ia terlihat santai dibanding anak kamar Pena 4 yang lain. Biasa, anak kelas akhir suka begitu.
“Enggak kok. Ini sudah dari semalam.”
“Sudah minum obat?”
Una menggeleng. “Ntar juga baikan sendiri.”
“Terus, gimana? Kamu sekolah nggak?” Umi menegaskan lagi. “Kalau enggak, ntar aku beliian surat izin sekalian ke kantor, biar dibawa sama teman kelasmu.”
Una bingung. Sekolah nggak ya. Kalau nggak sekolah ia kan bisa istirahat, sambil meredakan rasa melilit di perutnya. Sekalian meneruskan pemakaian jeruk nipis di wajahnya yang sudah ia mulai dari semalam. Tapi, hari ini jadwalnya Nahwu yang katanya mau ulangan. Untuk menambah nilai harian. Kalau izin sakit, berarti ia nggak bisa ikut ulangan. Terus bagaimana nasib nilai hariannya besok?
“Gimana, Un?” Umi sudah siap dengan seragam sekolahnya. Bahkan, tinggal pakai sepatu lalu berangkat.
“Aku berangkat sekolah ajalah. Lagian cuma melilit!” jawabnya sambil beranjak mendekati almarinya yang ada di deretan bawah. Di kamar Una ada tiga almari besar yang masing -masing menghadap ke barat, utara, dan timur. Setiap almari terdiri atas sepuluh kotak yang berpintu. Lima di deretan atas, dan lima di deretan bawah.
“Cepetan ya, Un!”
“Cepetan?” Una urung membuka pintu almarinya. Ucapan Umi barusan terdengar seperti memerintah, dan ini membuat hatinya terusik. “Ya sudah, sana duluan. Lagian siapa yang minta ditunggui!” lanjutnya sewot.
Umi tercekat. Oo, salah ucap lagi dia. Meski suer, ia tak bermaksud apa-apa dengan ucapannya barusan. “Iya-iya, aku duluan. Biasah wae to, ra usah nganggo nesu,” balas cah Jogja itu kalem, kemudian tanpa peduli pada reaksi Una, ia buru-buru memakai sepatunya dan berlalu.
Una diam cemberut. Beberapa pasang mata yang masih sibuk berdandan di kamar pura-pura tak melihatnya. Awas, lagi panas. Begitu pikir mereka. Lagian sudah nggak ada waktu lagi untuk ngurusi yang panas-panas. Bisa-bisa ketinggalan yang panas-panas. Eh, jam pertama maksudnya.
Untungnya Una juga sudah mandi sebelum jamaah zuhur tadi. Jadi, biar tidak terlambat, ia tinggal cepat-cepat memakai seragam putih-putihnya, kemudian segera berangkat dengan beberapa buku catatan dan buku mata pelajaran hari itu yang didekap di dadanya. Untuk ke sekolah, ia memang tidak pernah membawa tas, seperti juga kebanyakan temannya yang lain.
Tapi, secepat-cepatnya langkah Una dengan span panjang yang sempit, ternyata ia harus terlambat juga. Meskipun ia tidak sendirian. Siang itu, ada lima orang temannya dari Pondok Muna yang masuk kelas setelah lima menit Bu Lilik memulai pelajaran. Katanya sih ketika ditanya oleh ustadzah Nahwu itu, diesel pondok mereka sedang rusak. Jadi, mandinya harus ngungsi ke ndalem dan harus antri lebih panjang dari biasanya. Entah benar entah tidak, yang penting Una jadi banyak teman yang sama-sama telat.
“Seperti sudah saya beritahukan minggu yang lalu, hari ini kita ulangan…”
“Huuu,” serempak anak-anak kelas III MTs Plus itu ambil suara. Kecuali Una. Bukannya mempersiapkan kertas kosong untuk menulis jawaban Nahwu yang sebentar lagi akan didiktekan Bu Lilik, ia malah sibuk mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Kepalanya tolah-toleh, menelisik baris demi baris deretan tempat duduk yang memenuhi kelasnya. Mencari-cari ke mana pindahnya sosok yang biasanya duduk di sebelahnya. Where are you, Mahsa?
“Nih ada undangan. Ceking akhir panitia Muwada’ah hari Jumat.”
Sebuah suara dingin memaksa Una untuk mendongakkan kepalanya.
Cres! Ada yang berdesir ketika matanya beradu pandang dengan tatapa n
Mahsa. Bu Lilik baru keluar dari ruang kelasnya beberapa detik yang lalu.
“Makasih,” jawabnya pelan. Rasa melilit di perutnya tiba -tiba kembali datang.
Mahsa yang sudah berpindah duduk ke barisan nomor tiga bersama Fila itu cuma melengos. Ia bersiap -siap untuk kembali ke bangkunya ketika tiba-tiba Una berkata lagi, “Oh ya, ini aku mau mengembalikan uangmu yang aku pinjam. Tapi, sisanya bulan depan,” Una menunduk malu.
Mahsa cuma diam, menatap selembaran uang ratusan ribu yang disodorkan Una ke hadapannya. Seandainya tidak sedang berseteru, tadinya Una berniat akan mengembalikan uang itu bulan depan. Karena dari kiriman Ayah sehari yang lalu, ia hanya punya uang sisa 150.000 setelah yang 650.000 ia pakai untuk melunasi biaya ujian, iuran Muwada’ah, dan bayar kos. Walhasil sekarang ia cuma mengantongi 50.000. Cukup nggak ya buat sebulan?
“Ambil aja buat kamu. Aku sudah lupa dengan hutang salon itu kok!”
Una melengos, hatinya kembali terusik. “Ya gak bisa gitu. Kalau kamu gak mau nerima uang ini, sama saja kamu ngenyek aku!”
Ngenyek gimana…”
“Miskin-miskin gini aku bisa kok bayar hutangku!”
Mahsa menarik napas jengah. “Sudah sih, Un. Ambil aja kenapa? Aku ikhlas kok. Beres kan.”
“Kamu sengaja ya bikin aku merasa rendah?” Una tiba-tiba merasa pusing. Tapi, syukurlah ia masih ingat kalau bertengkar di dalam kelas saat itu sangat tidak baik untuk kesehatan citranya di mata teman -teman kelas. Maka, secepat kilat ia pun menyeret paksa lengan Mahsa, membuka telapak tangannya untuk menerima uang kertas ratusan itu, kemudian membawanya menuju toilet MTs Plus.
“Kamu apa-apaan sih…”
“Kamu yang apa-apaan! Marah seenaknya sendiri, pakai acara pindah tempat duduk lagi!”
“Ya, suka-suka aku dong. Pindah duduk aja kok repot. Lagian di sebelah Fila kan dari dulu emang kosong!”
“Tapi, kan…!!” Una mengangkat tangannya kesal. “Sampai kapan kita akan diem-dieman kayak gini? Nggak dewasa banget, tahu nggak sih!”
“Siapa yang nggak dewasa. Ya kamu itu yang nggak dewasa…” “Bukan aku atau kamu, tapi kita…”
“Kita? Nggak salah nih? Bukannya yang baru jerawatan dan coba -coba naksir cowok itu kamu? Bukannya yang belum mens itu juga kamu?” Mahsa cekikikan mengejek.
“Herrrgh!” Una meradang. “Kamu tuh berhati batu ya, Sa! Kenapa sih kamu begitu menganggap aku sebagai musuh, sampai -sampai kamu menutup semua pintu maaf dan kesempatan buat aku. Hanya karena aku ditegur dan diajak guyon sama Raziv, Padahal aku tidak ngapa -ngapa. Naksir sedikit pun juga enggak!” sampai di sini Una berhenti. M aksudnya untuk memberikan tekanan pada kalimatnya yang terakhir itu. Meski, jauh di lubuk hatinya tiba-tiba ada suara-suara yang berani meledeknya: Yang bener?
Tapi, Una tak peduli. Ia masih melanjutkan racauannya, “Harusnya kamu bisa memahami itu. Harusnya kamu tidak melimpahkan semua kebetulan itu sebagai kesalahanku, sampai kamu menghukum aku sedemikian rupa!” Una menekan perutnya kuat -kuat. Kepalanya semakin terasa berat. Ia benar-benar pusing dan stres menghadapi masalah yang mbulet dan semakin nggak kelihatan ujung habisnya ini.
Untuk beberapa saat mereka terdiam. Semilir aroma pesing sebenarnya sudah mereka cium sejak mula menginjakkan kaki di kawasan pembuangan itu. Tapi, berhubung syaraf otak mereka tengah disibukkan untuk menjaga penampilan marah mereka, yang harusnya mengirim sinyal ke tangan untuk menutup hidung jadi tidak berfungsi. Lagian, jadi lucu kan kalau marah-marah sambil menutup hidung?
“Sa! Tolong dong, gimana ini?” Maksud Una adalah masalah mbulet di antara mereka, bukan bau pesing kamar mandi yang kian menyengat itu.
“Sudah ah. Aku males ngomonginnya. Yang jelas, kita break dulu aja. Tidak usah bareng-bareng lagi. Kamu urus aja urusanmu sendiri, nggak usah bawa-bawa namaku, apalagi Raziv. Kamu mau dekat -dekat atau jadian sama Raziv juga terserah. Aku gak mau tahu.”
“Kok gitu…!”
“Ya gitu. Sudah ah! Aku mau balik lagi ke kelas. Kita sudah terlambat masuk jam ketiga,” lanjut Mahsa sewot. Tanpa menoleh ke belakang lagi, ia langsung berkelebat menjauh dari hadapan Una.
“Mahsa!” pekik Una masih nggak terima. Tapi percuma, tak ada respon dari orang yang namanya ia teriakan itu.
Mau tak mau, akhirnya Una pun dengan terpaksa mengikuti langkah Mahsa kembali ke kelas. Pelajaran jam ketiga sudah dimulai sepuluh menit yang lalu. Setelah menjawab, “Maaf, Pak. Dari belakang,” Una menempati bangkunya yang ada di deretan paling depan itu tanpa semangat. Apalagi ia harus sendirian, tak ada Mahsa di dekatnya.







delapan

Hari sekolah yang melelahkan buat Una. Menjawab soal Nahwu yang diujikan Bu Lilik aja sudah lelah, apalagi dengan tumpukan pikiran dan rasa marah yang tak jelas ujung pangkalnya. Pergantian jam pelajaran yang biasanya ia rasakan secepat jet, hari itu seperti gelindingan roda dokar di jalanan menanjak. Sangat lambat. Apalagi ban dokarnya pas bocor, kedua-duanya lagi. Tapi, ngomong-ngomong, dokar sudah kembang-kempis gitu kok masih dipakai buat narik ya?
“Nggak pulang, Un?”
“Em eh. Bapak,” Una kaget campur malu-malu disapa oleh Pak Mustafid yang sudah berdiri di hadapannya.
“Kamu sakit ya? Wajahmu kok pucat.”
“Enggak kok, Pak!” Una jadi salah tingkah. “Cuma agak pusing, sama sakit perut.”
Pak Mustafid langsung senyum-senyum, “Oh, lagi dapet ya?”
“Dapet? Dapet apaan?” tanya Una heran. Tapi, kemudian ia mendelik begitu paham apa yang dimaksud guru pengajar jam terakhir itu. Ia balas senyum-senyum sambil buru-buru mengemasi buku-bukunya, dan beranjak hendak menyusul teman-teman kelasnya yang sudah keluar duluan. “Permisi, ya Pak. Saya pulang dulu.”
Dan, wush! Setelah dua meter Una melangkah, barulah ia bisa bernapas lega. Terus terang ia merasa risih kalau ada yang nyinggung - nyinggung soal ‘dapet’ alias menstruasi, bapak -bapak lagi. Berkumis lagi. Ayahnya aja belum pernah tanya-tanya soal ke’dapet’an Una. Kalau Ibunya pernah, bahkan sering. Tepatnya, setiap kali Una berulang tahun tanggal 24 Januari.
“Una udah dapet belum?”
“Belum.”
“Yang warnanya putih bening?”
“Aduh, Una maunya kan yang merah!”
 “Oh, berarti tidak sekarang. Soalnya kemarin di supermarket Ibu cari - cari yang warnanya merah nggak ada…”
Aduh, itu sih nanyain kiriman kartu ulang tahun. Sudah sampai belum. Ibu memang tak pernah lupa mengirimi Una kado ultah berupa kartu. Dan, meski Una sudah berkali-kali minta yang merah, selalu saja dapetnya warna putih. Sehingga kalau mau diteruskan maknanya, bisa jadi itulah kenapa kemudian Una belum juga dapet menstruasi. Dari tahun ke tahun ia masih sebatas dapet keputihan, dan rasanya sangat tidak nyaman, apalagi pas jam-jam pulang sekolah seperti sore ini.
“Mbak Una kenapa, jalannya kok melambat gitu?” tanya Uswah yang berhasil menyusuli langkahnya dari belakang. Di sampingnya, Atik yang juga kelas I MTsN, melempar senyum ke arah Una.
“Duh, rasanya pegel-pegel. Ternyata sekolah kita lumayan juga ya jauhnya.”
“Berarti lumayan juga dong pahala untuk langkah -langkah kaki kita yang pegal-pegal ini,” timpal Atik. “Yuk, Mbak. Ta’disiki yo. Kita belum asaran soalnya!”
Una cuma mengangguk. Gerak dua kakinya memang semakin melambat. Sebenarnya seratus persen bukan karena pegal -pegalnya. Melainkan, kenapa sore itu ia merasa kalau kulitnya jauh labih lembab dan lengket dari biasanya ya?
Dok dok dok!
“Di dalam Mbak Upik ya?”
“Bukan. Aku Shinfa, kamar Pena 1.”
Una bergeser ke jeding sebelahnya. Wajahnya yang kata Pak Mustafid memang sudah pucat, semakin terlihat pias saja.
“Mbak Upik ya?”
“Iya. Aku sudah selesai. Tinggal pakai baju,” jawab yang di dalam. Singkat tapi cukup bisa membuat wajah Una teraliri darah lagi . Apalagi ketika pintu jeding nomor 2 itu terbuka, dan muncullah sosok Upik dengan wajah fresh-nya. “Ada apa, Un?”
Jawaban Una bukan kata-kata, apalagi deklamasi, melainkan gerakan tangannya yang buru-buru menarik pergelangan Upik untuk mengikutinya.
“Ada apa sih, Un. Pelan dong. Aku belum cuci kaki nih!”
“Udah, nggak perlu cuci kaki. Mbak Upik lagi nggak shalat kan?” bantah Una tak peduli. Ia tetap menarik pergelangan tangan Upik cepat - cepat. Melewati lalu lalang para santri yang kebanyakan mau ke jeding, untuk mandi atau berwudhu. Mau tak mau kalau ingin selamat, Upik harus diam menurut. Mengikuti seretan tangan Una yang entah hendak berakhir di mana.
Tepat di belakang kompleks Kalimat langkah Una terhenti. Sebuah halaman yang membentuk lorong sempit karena berhim-pitan dengan pagar bumi pesantren. Penuh jemuran pakaian yang menggantung dan remang-remang karena tak ada penerangan sama sekali.

“Ada apa sih?” Upik menatap Una dengan sorot mata bingung.
Perlahan Una melepaskan pegangan tangannya. Ia mengambil sesuatu dari saku meksi putih seragam sekolahnya. Selembar kain yang dilipat-lipat atau lebih tepatnya digulung-gulung, sampai hampir menyerupai kue dadar gulung. Perlahan ia buka gulungan di telapak tangannya itu. Hei, ternyata bukan selembar kain. Melainkan sebentuk segitiga yang berkaret pada satu sisinya. Bahannya dari katun yang baik untuk menyerap keringat…
Hus! Ngapain kamu keluarkan celana dalam itu?” Upik semakin bingung.
Gerakan tangan Una terhenti. “Mbak Upik jangan jijik ya…,” wajahnya penuh kekhawatiran. Untung Upik segera mengangguk, sehingga Una tak perlu merasa takut-takut untuk menunjukkan adegan selanjutnya. “Mbak, ini itu ya…”
Upik tercekat, matanya mendelik begitu Una membuka bagian dalam under wear yang semula tergulung-gulung itu. Meskipun kondisi belakang kompleks Kalimat itu agak gelap, dari jarak beberapa senti ia bisa melihat sebentuk noda berwarna coklat tua tampak memenuhi satu sisi kain katun berbentuk segitiga itu.
“Ya ampun, Un. Cepet ucapkan alhamdulillahi ‘ala kulli halin, wa astaghfirullaha ‘ala kulli dzambin ,” perintah Upik cepat.
Dengan terbata-bata Una pun melafalkan kalimat yang baru saja didiktekan Upik. Tanpa ia tahu apa hubungan lafal itu dengan noda coklat tua yang baru saja ditunjukkannya ke Upik.
 “Pantesan seharian tadi kamu bilang perutmu melilit,” Upik berkaca - kaca. “Kamu benar-benar sudah baligh sekarang. Sudah menstruasi. Mulai sekarang amal baik burukmu sudah sah untuk dicatat dan dimintai pertanggungjawabannya!” lanjutnya bangga. “Kamu paham kan apa yang aku maksud?”
Una diam. Mendengar ucapan Upik yang spontan itu dadanya berdebar hebat. Tangannya gemetar. Seluruh permukaan kulitnya berkeringat. Dalam buncahan rasa yang memenuhi dadanya di ambang malam itu, ia tak tahu apa yang harus diucapkan untuk menjawab pertanyaan Upik. Matanya berkaca-kaca.
“Una…
Bahu Una berguncang. Sesaat kemudian terdengar suara hiks…hiks…hiks. Bukan suara cegukan apalagi bersin. Melainkan Una mulai terisak.
“Kamu nggak papa kan?” Upik kembali bingung.
“Mbak… Hiks…hiks…hiks. Jadi, jadi… Una bener-bener haid?”
Upik tersenyum, “Iya sayang. Itu darah haid. Selamat ya…”
Burrr! Rasanya seperti hujan yang tiba-tiba turun setelah tujuh tahun Una kepanasan oleh kemarau yang panjang. Saking terharunya ia tak bisa berkata lagi. Isakannya semakin menjadi. Ia pun langsung menghambur ke pelukan Upik, meskipun tangannya masih erat menggenggam CD warna pink-nya yang kini sudah berubah warna menjadi coklat tua.
Seandainya tidak ada Upik, mungkin Una sudah pingsan sendirian mendapati sebentuk noda coklat tua itu pada CD-nya. Takut, bingung, dan malu bercampur dalam benaknya. Apalagi di tengah hiruk pikuk suasana menjelang maghrib seperti itu, teman -temannya lebih banyak disibukkan dengan urusan masing-masing. Dari ambil jatah makan sore, mengangkat jemuran, antri mandi, sampai berburu waktu untuk jamaah maghrib biar tidak ketinggalan. Upik is my Srikandi, begitu pikir Una.
Karena, ternyata Upik tidak cuma berjasa menenangkan sindrom menstruasinya (baca: grogi melihat darah haid pertama), tapi juga menemaninya ke jeding dan mengajari bagaimana cara yang baik dan benar untuk memakai pembalut yang berperekat itu. Ketika pertama kali Una mencobanya, ia sempat merasa lucu dan wagu. Habis, kayak naik kuda lumping sih!
Selesai memakai pembalut pemberian Upik, Una masih harus melatih cara jalannya biar terlihat luwes dan enjoy dengan kuda lumping itu. Mula-mula canggung dan tidak nyaman, tapi lama -lama bisa dipaksakan untuk biasa. Dan, sebagai uji coba, Upik mengajak Una berjalan ke kantin untuk beli kunir asem. Katanya, minum jamu itu bagus buat Una yang lagi mens.
“Makasih, ya Mbak. Mau nolongin Una,” ucap Una penuh haru. Kehadiran Upik sungguh bisa menggantikan posisi Ibunya yang jauh di Boyolali sana. Upik cuma tersenyum. “Tapi, Mbak Upik jangan bilang - bilang ya…”
“Bilang-bilang gimana?”
“Ya, bilang ke teman-teman kamar kalau aku sudah mens.”
“Kamu tuh aneh. Berita gembira kok ditutup -tutupi. Kayak artis aja sih!”
“Kan malu, Mbak. Digojlokin macem-macem. Kemarin aja semua ikut andil nggarapi jerawatku!” Una man yun.
“Digojloki itu biasa, Un. Malah bagus untuk pertumbuhan mental kamu.”
“Pokoknya Mbak Upik nggak boleh bilang -bilang. Titik!”
Upik akhirnya tertawa, “Iya deh, iya. Tapi kalau mereka tahu dengan sendirinya, nggak papa kan?”
Una mengangguk malu-malu sambil mengumbar senyum. Senyum yang dibuat lain dari biasanya. Senyum perempuan dewasa coy!
sembilan

Menjelang subuh hari pertama haid, Una sudah beredar di kamar mandi. Ia yang biasanya suka mepet azan kalau bangun, pagi itu jam 04.00 sudah melipat selimut dan membereskan tikar juga bantalnya untuk dibawa ke kamar. Mula-mula ia meraba tikar itu, kemudian pantatnya, sekadar memastikan kalau situasi dan kondisinya sudah aman untuk ia bangkit meninggalkan mushala. Hehehe, takut bocor sih. Jadinya kan rahasia mensnya terbongkar.
Tidak seperti Mike dan Ana yang masih asyik terlelap di emperan
kompleks karena sedang mens, Una justru bersibuk-sibuk bareng teman-temannya yang bersiap-siap mau ke jeding. Tak lupa ia membawa dua stel pakaian kotornya yang mau dicuci, dan selembar pembalut yang ia sembunyikan di dalam gulungan sarungnya. Pembalut yang dibelikan Upik di warung Kang Madi. Soalnya kalau Una yang beli, bisa -bisa salah merek lagi.
“Tumben, Un. Sudah nyuci?” pertanyaan pertama meluncur dari bibir Nafisah.
“Mumpung lagi pingin nyuci. Soalnya kalau besok -besok susah bagi waktunya.”
“Susah bagi waktu? Maksudmu karena sudah dekat dengan ujian gitu?”
Una mengangguk sambil membawa pergi embernya dari hadapan
Nafisah. Ia berpindah lokasi ke samping kran tempat mencuci di emperan jeding. Kalau tidak pindah, bisa-bisa pertanyaannya akan melebar. Misalnya saja ia akan bertanya, kamu nggak shalat ya. Wah, berbahaya kan?
Meskipun harus kucing-kucingan dengan teman-teman kamarnya, pagi itu Una berhasil juga menjaga rahasianya. Juga, pada pagi -pagi berikutnya. Tidak mudah memang. Terutama kalau jamaah isya, selain jeding, Una kadang harus bersembunyi di jemuran. Padahal gelap, cuma ada lampu beberapa watt. Kalaupun ada santri, paling cuma satu dua yang kebetulan lagi menjemur atau belajar karena sedang tidak shalat.
 “Una capek, Mbak,” suatu malam Una menumpahkan perasaannya ke Upik.
“Setiap pilihan tentu ada risikonya,” jawab Upik cuek. “Gimana, masih betah dengan kucing-kucinganmu?”
Una diam saja. Jelas ia capek. Tidak kucing -kucingan pun sebenarnya ia sudah kepayahan dengan mens pertamanya itu. Bayangkan, ia tak pernah bisa duduk dengan nyaman. Posisi duduknya selalu nanggung. Maksudnya, tidak benar-benar menempel pada lantai karena takut nembus. Hi, kok bisa. Atau, tiap kali berjalan, langkah kakinya sangat pelan, hampir-hampir kayak pengantin yang kesempitan kain batik. Belum lagi, rasa mules yang kadang-kadang memaksanya untuk jongkok kalau pas lagi antri mandi di jeding.
“Hm, dulu nanya-nanya kapan mens, giliran sudah dapet kok malah susah gini ya,” Una bergumam sedih.
“Sudah. Terus terang aja napa? Kamu tuh harus belaj ar bersikap dewasa,Un. Jujur dengan kondisi kamu yang sebenarnya. Itu artinya kamu punya diri dan tanggung jawab…”
Sebenarnya Upik masih akan membombardir Una dengan petuah dan nasihatnya, tapi ada suara lain yang jauh lebih keras dari suaranya, bahkan membahana sampai mushala: Adda’watul muhimmah liukhtina Retno Suffa’iyah min Dumai, uktina Asma Lutfi min Makasar, ukhtina Yuyun min Purwokerto, ukhtina Ana Maimun min Lowanu Yogyakarta, ukhtina Naning Zuliarti min Jakarta, ukhtina Launa Zidka min Boyolali…
“Tuh, kamu dapet wesel apa surat itu,” Upik menepuk bahu Una yang tampak bengong.
“Tumben namaku masuk golongan mereka. Surat apa wesel ya?” “Sudah sana!”
Una segera beranjak menuju kantor. Siapa tahu ada yang penting - penting dan erat kaitannya sama kesehatan kantongnya. Apalagi kalau bukan weselan uang. Tapi, bukannya Ayah selalu mengirim uang lewat jasa titipan MABUR?
“Launa Zidka ya?”
Una mengangguk sambil duduk manis di hadapan Rohmah, seksi Penerangan pondok.
“Ini ada surat kilat khusus, dari…,” ia di am sejenak sambil membalik amplop di tangannya, “dari Pak Purwanto. Ini ayah kamu ya?”
“Iya Mbak. Tumben banget Ayah kirim surat. Kilat khusus lagi.”
“Tapi, maaf ya. Nyampai ke kamu jadi telat dua hari. Ada sensoran dulu. Demi menjaga efek-efek yang tidak baik buat konsentrasi belajar dan mondok kamu,” Rohmah tersenyum sambil menyodorkan amplop putih yang tampak sudah sobek sisi kanannya.
Una cuma mengangguk, meski dalam hati sempat berharap semoga tak ada kabar mendesak dari Ayah yang seharusnya ia ketahui sejak dua hari yang lalu. Soal sensor-menyensor sih emang peraturannya sudah begitu. Dan, karena Una bersedia mondok di Sang Pecinta mau nggak mau ia harus ikuti aturan yang sudah berlaku. Apalagi dasarnya Una emang cuma surat-suratannya sama keluarga.
Ayah jarang menulis surat untuk Una, bahkan tak pernah. Biasanya kalau tidak Mas Isytifa’ ya Ibu. Mana pakai kilat khusus lagi. Itulah sebabnya begitu bacaan Una sudah sampai di penghujung, ia tak kuasa membendung linangan air matanya. Ayah baik banget. Bisa memahami persoalan apa yang sekarang ini tengah digalaukan puterinya. Tidak cuma itu, Ayah juga berusaha meyakinkan Una kalau Ayah baik -baik saja. Tak ada yang perlu dirisaukan. Ah, Ayah. Air mata Una kian deras mengalir, tak peduli ia tengah duduk di teras kantor yang kebetulan lagi sepi.
“Aduh yang lagi mengharu-biru…”
Una buru-buru menyeka air matanya dengan tangan sambil tersenyum malu.
“Hihi, jadi malu nih, ketahuan nangis,” Mbak Alina duduk di samping Una. “Aku kalau baca surat dari rumah juga masih suka nangis.”
“Padahal sudah hampir boyong kan, Mbak?” balas Una heran.
Santri asal Riau itu mengangguk, “Habisnya kalau baca surat bawaannya jadi pingin pulang. Tapi, kalau suratnya sudah disimpan terus sibuk lagi dengan kegiatan pondok, jadi lupa deh,” jawab Alina riang. “Oh ya, gimana dengan data album anak -anak MTs Plus?”
“Waduh, Mbak Alina kok masih ingat ya? Aku aja hampir lupa dengan tugasnya itu,” batin Una kacau. Perlahan ia melipat surat Ayah dan memasukkannya ke dalam amplop. “Mm, sebelumnya maaf ya, Mbak.
Saya jadi nggak enak nih. Soalnya, terus terang saya belum mendata nama teman-teman yang mau boyong. Habis, kayaknya rata -rata masih pada bingung, belum pada ambil keputusan.”
“Gitu ya,” Alina terdiam sebentar. “Mm, kalau Dik Una sendiri gimana? Boyong atau meneruskan di pondok?”
Una mikir-mikir, “Mm, insya Allah saya meneruskan di pondok, Mbak.
Ini barusan Ayah memberikan dukungan dan doa restu,” jawabnya pede.
“Syukurlah. Kalau begitu biar nanti saya c ari anak MTs Plus lain yang berencana mau boyong untuk ngurusi data album alumni.”
Una bernapas lega. Seperti baru saja terlepas dari himpitan bra yang kekecilan. Eh, bukan. Una kan belum kenal bra. Melainkan kaos dalam yang kekecilan.
“Kalau Mahsa, dia boyong nggak ya?”
Hegh! Una tercekat mendengar pertanyaan Alina selanjutnya. Rasa - rasanya ia seperti terhimpit kembali. Bukan bra, melainkan kaos dalam!

sepuluh


“Ayo dong, Un. Syukuran syukuran!” Umi berteriak histeris. Heran juga sama Umi, sudah dua kali kena batunya Una, tetap aja seneng bikin gara-gara. “Pakai krupuk yang dua ratusan juga nggak papa!”
“Syukuran apa, Mi?” tanya Ilmi yang sukanya nongkrong di mushala itu penasaran.
“Una sudah dapet! Sudah berplat merah!”
“Ha, yang bener!” Ilmi membelalakkan mata. “Oooh, pantesan tiga hari kemarin mukanya seperti mau makan orang aja!” lanjutnya sambil mengangguk-angguk.
“Iya, nih Un. Syukurannya mana? Usulan Umi boleh juga kok, mumpung kita lagi makan. Buat nambah gizi,” Malihah, si ketua kamar, mengamini usulan Umi.
“Filosofinya kan biar kamu bisa lebih ringa n menghadapi pengalaman mens untuk pertama kalinya, kayak krupuk,” jelas Aniq yang tahun ini akan lulus Aliyah.
“Ngomong-ngomong, gimana rasanya neh! Takut nggak? Atau jangan - jangan kamu salah pasang pembalut ya… Yang atas kamu tarus di bawah, trus yang bawah kamu taruh di atas…”
Gerrr, seisi kamar Pena 4 yang pagi itu tengah asyik dengan mangkok atau piring plastik masing-masing langsung tertawa kompak mendengar ucapan Umi. Kecuali Upik yang baru saja datang dari mengambil jatah makan. Ia mengedarkan pandangannya heran, “Kok Seru banget. Ada apa nih?” Tapi, begitu ia menemukan sosok Una yang terduduk kaku dengan wajah memelas, ia cuma senyum-senyum.
“Kenapa kamu kemarin nggak belajar dulu sama aku, Un. Kalau salah pakai gitu kan sakit,” Umi semakin berani.
“Eh, tapi kalau salah pakai gitu, emang bisa menyerap, Un?” tanya Aminah pura-pura penasaran.
Una diam saja. Tersenyum pun tidak. Ia sama sekali tak menyadari kalau reaksinya itu justru membuat teman -temannya semakin senang melancarkan serangan
“Iya, Un. Kok diam saja. Bisa nyerap nggak?” timpal Aniq sambil mengulum senyum. “Kalau nggak nyerap kan percuma aja pakai pembalut.”
“Kayaknya enggak bisa nyerap deh. Soalnya, permukaan yang atas sama yang bawah kan emang berbeda.”
“Kamu kayak tukang rancang bangun pembalut aja, Nit.”
“Aku tahunya juga dari Mbak Una. Ya kan, Mbak?” pancing Nita cuek.
Una tetap bergeming. Meskipun dalam hati, ia sebenarnya menggeram marah mendengar komentar-komentar yang sepertinya tak ada usainya itu. Ia sama sekali tak menyangka kalau aroma wangi kabar menstruasinya akan tercium juga oleh teman-temannya di Pena 4. Padahal ia sudah rapat-rapat menutupinya. Bukan juga karena Upik yang tega membocorkan rahasia itu, melainkan secara tak sengaja Umi yang tidurnya bersebelahan sama Una sejak Mahsa marah, mendapati ada yang ganjil pada CD Una. Lagian, Una juga sih tidur nggak pakai celana panjang. Padahal kalau tidur, tingkah polahnya tak ubahnya seperti cacing kepa-nasan, hingga secara tak sadar kadang sudah berpose kayak turis seksi lagi berjemur di pantai. Hiii, serem!
“Trus, Una cerita apalagi, Nit?” Malihah jadi keterusan.
“Katanya, pembalut kebalik itu…”
“Hei, siapa yang pakai pembalut kebalik!” pekik Una tiba -tiba. Ia merasa teman-temannya sudah keterlaluan pagi itu. Ia tak sanggup lagi menahan amarah yang sedari tadi memenuhi dadanya. Ia marah ke semua penghuni kamar, tak terkecuali Upik yang cuma senyum -senyum melihat dirinya digarap habis-habisan. Tiba-tiba selera makannya jadi hilang. Ia segera beranjak membawa piring plastiknya keluar. Dan, tok tok tok. Dengan tiga kali ketukan ia membuang sisa makanannya ke tong sampah.
Sekarang tak ada lagi yang berani berkomentar. Larut dengan makanan masing-masing. Sesekali mereka cuma saling melirik dan terkikik-kikik. Sementara Una buru-buru membereskan perlengkapan ngajinya, dan secepat angin berkelebat keluar kamar.
Tapi, ternyata Una tidak benar-benar menuju ke tempat ngaji. Ia malah bablas ke tempat jemuran. Di lokasi ini ia dijamin aman
mengungsikan dirinya sampai jam pengajian selesai. Kecuali kalau ada seksi Pengajian yang keliling mengontrol, ia bisa dikenai peringatan untuk menyalin catatan materi hari itu sebanyak lima kali. Dengan kondisi hati dan pikiran yang semrawut, ia sama sekali tak gentar dengan takziran itu.
“Hei-hei. Kok nggak ngaji?” sebuah suara memaksa Una mendongakkan wajahnya yang penuh mendung. “Pasti gara -gara gojlokan tadi pagi ya?”
Upik perlahan mendekati Una dengan ember kosong di tangan. Ia memang biasa memanfaatkan jam klasikal pagi untuk menjemur pakaian, kalau sedang tak ada jam ngajar. Klasikalnya sudah lulus tiga tahun yang lalu ketika ia kelas III MTsN. Upik kan sudah hampir enam tahun tinggal di Sang Pecinta.
“Una…”
Una menunduk. Pelan tapi pasti bahunya tampak bergerak -gerak. Bukan sedang dangdutan atau bersenam, karena gerakan itu disusul oleh suara hiks…hiks…hiks yang biasa dikeluarkannya kalau menangis.
“Yah, malah ngisek-isek. Kamu kenapa sih? Nggak biasanya jadi sensitif banget kayak gini. Digojlok gitu aja kok marah. Biasanya kamu juga berpartisipasi gojlok teman-teman yang mens kan?”
Una tetap berhiks-hiks. Tak menanggapi pertanyaan Upik.
“Ya udah deh. Kalau aku malah bikin kamu nangis. Maafin aku ya, sudah ikut menyakiti perasaanmu,” ucap Upik pelan, kemudian beranjak dari jongkoknya dan siap berlalu.
Tapi tiba-tiba, Una menghentikan isakannya. Perlahan ia mengangkat wajahnya yang memerah tomat. Matanya tampak gendut dan sembab. Pada pipi kanannya masih ada sisa air mata yang dibiarkan menggantung siap menetes. “Mbak Upik jangan pergi!” ucapnya memohon.
Merasa dapat kesempatan bagus, Upik buru -buru kembali ke posisi semula sambil mengurai senyum. Biar Una tidak mutung.
“Teman-teman kok kebangeten gitu sih ngerjain aku. Huhuhu huhuhu…” Una sekarang malah berhuhuhu. Isakannya sudah berubah menjadi tangis.
“Sudah-sudah,” Upik meraih kepala Una dalam pelukannya. Kenapa ia melakukannya? Tentu saja karena ia sudah mandi dan pakai deodoran. Jadi, ia pede aja kalau adik kelasnya itu nggak akan menolak apalagi muntah-muntah karena bau badannya. “Kalau memang kebangeten, ya sudah, maafin mereka. Aku juga minta maaf.”
Una menghentikan tangisnya. “Bilang maaf sih gampang, Mbak. Tapi, apa mereka nggak mikir kalau sikap mereka itu sudah bikin aku tersinggung!”
“Eh, kamu nggak boleh kayak gitu. Itu namanya kamu tidak mau belajar untuk jadi dewasa.”
Kali ini Una menarik kepalanya dari bahu Upik. “Apa hubungannya memberi maaf dengan kedewasaan. Sekarang kan aku sudah mens, sudah sama-sama dewasa seperti mereka. Mau dipelajari apanya lagi?” Una ngotot sok ngerti. Soalnya kemarin -kemarin sering banget Mahsa menyinggung soal kedewasaan dan mengatakan kalau dirinya jauh lebih dewasa ketimbang Una. Apa lagi kalau bukan karena Mahsa sudah jerawatan, naksir cowok, dan dapet menstruasi.
“Begini ya, Un. Sebenarnya kedewasaan itu tidak mutlak ditentukan oleh sudah atau belumnya seorang cewek mengalami menstruasi. Karena yang aku maksud di sini adalah dewasa dalam berpikir dan bersikap.”
“Maksud, Mbak…”
“Usia semakin tua itu pasti, tapi soal kedewasaan berpikir belum tentu berbanding lurus dengan usia. Bisa saja usia seseorang sudah 20 tahun, sudah mens, tapi cara berpikirnya kekanak -kanakan. Tapi ada juga yang baru 12 tahun, tapi sudah dewasa cara berpikirnya. Itulah kenapa dewasa itu disebut sebagai pilihan. Karena memang bisa dipilih. Bisa diupayakan dengan ‘mengatur’ diri untuk jadi dewasa.”
“Meskipun belum menstruasi?”
Upik tersenyum. “Kalau sudah mens berarti kedewasaan seseorang semakin komplit. Haid itu kan satu perubahan biologis yang menandakan kalau seorang cewek itu sudah baligh, yang berarti sudah mukallaf, sudah terbebani hukum. Artinya, segala perbuatan yang dilakukannya akan dicatat. Apakah itu perbuatan baik ataupun perbuatan bu ruk.”
“Jadi, sebenarnya meskipun aku belum mens, aku juga bisa jadi dewasa, begitu?” Una terus saja mengulang-ulang point menstruasinya.
Upik mengangguk. “Makanya kalau kamu sekarang sudah mens, tugas kamu tinggal mendewasakan pikiranmu dengan belajar tent ang arti tanggung jawab, biasakan meminta maaf, berkorban, dan menghormati orang lain…”
Una terdiam. Kepalanya tiba-tiba berdenyut. “Kok susah gitu sih, Mbak. Tentang tanggung jawablah, meminta maaf, apalagi berkorban!”
“Ya, itulah tantangan untuk kedewasaanmu. Dijamin kalau kamu terbiasa bertanggung jawab, meminta maaf, apalagi berkorban, hati dan pikiranmu akan jauh lebih longgar. Tidak kemrungsung terus. Panas terus. Sakit hati terus. Stres terus.”
“Itu sih bukan manusia…
“Justru karena kita manusia, harusnya kita bisa mengharmoniskan antara ego, akal, dan budi kita untuk bersikap dewasa kepada diri kita juga orang lain,” bantah Upik cepat. “Lagian, nggak ada ruginya kok berakhlak mulia seperti itu. Ya kan?”
“Ya emang nggak rugi. Tapi, masak cuma aku saja yang harus belajar bersikap dewasa. Mestinya Mahsa juga iya!” Una berkata dengan ketus.
Upik tersenyum. “Oh, sebel soal Mahsa juga? Emangnya Mahsa kenapa?”
Una mencibir, “Kalau Una belum dewasa, sebenarnya Mahsa justru jauh belum dewasa. Aku sudah minta maaf mati-matian, eh malah tak digubris.”
“Soal Raziv itu ya? Emang perasaan kamu sendiri sebenarnya gimana?”
Una menggeleng, “Aku sendiri juga belum yakin apa aku bener seneng sama Raziv apa enggak. Baru dua kali ketemu!” jawab Una gamang. “Kalau menurut Mbak, gimana?”
“Mmm, kalau aku sih terserah Una mau milih yang mana. Pertama, kalau Una mau serius dengan perasaan Una, risikonya jelas Mahsa tak bisa diajak berkompetesi secara sehat. Jadi, pasti akan tetap bermusuhan. Kedua, kalau Una tak mau ambil serius dengan perasaan itu, dan berpikir bahwa naksir cowok itu bukanlah sesuatu yang primer untuk sekarang ini, ya segera tunjukkan itikad Una itu ke Mahsa. Berarti Una harus mengalah untuk meminta maaf dan mendekatinya lagi. Gimana?”
Una diam saja. Keningnya tampak berkerut. Berarti ia sedang berpikir keras untuk menentukan pilihan.




jerawat, no way!

satu

Pagi hari Jumat, Una bangun dengan semangatnya yang baru. Semangat membara untuk belajar menjadi perempuan dewasa. Sebagai bukti kalau ia tak cuma tua usianya dan melar bodinya, tapi juga mantap kepribadiannya.
Una sudah tidak malu-malu lagi dengan menstruasinya. Ia malah sudah enjoy ikut gabung tidur di kamar bareng lima orang temannya yang lagi haid, melanjutkan tidurnya di mushala. Tapi, tidak keterusan sampai matahari terbit lho. Nggak tahu diri dong namanya, dan Una nggak mau seperti itu. Makanya ketika suara wiridan sudah ter-dengar dari mushala, buru-buru ia membuka mata dan segera berlari ke jeding.
Byur…byur…byur. Una mengguyur pelan -pelan tubuhnya dengan air. Tidak seperti biasanya yang asal siram sampai -sampai seperti lagi nguras bak mandi. Ini adalah perubahan sikap Una yang kedua. Ia tak mau israf dalam penggunaan air. Karena masih banyak teman -temannya yang juga perlu pakai air. Usai mandi, ia membungkus rapi pembalut kotornya dengan kertas koran yang sudah tersedia di dinding kamar mandi, kemudian membuangnya ke tong sampah. Tidak cuma itu, ia sekarang tidak lagi suka berlama-lama di dalam kotak berpintu itu. Karena di luar masih ada Uswah, Atik, Mala, Nafisah, dan Iffah yang kebetulan lagi haid, dan diburu waktu untuk kegiatan kuliah subuh di depan mushala. Jadi, irit, cepat, dan bersih!
Sampai di kamar, Una langsung berdandan di depan pintu almarinya. Membersihkan wajahnya dari sisa air dan mengolesinya dengan bedak tipis-tipis. Ia tak lagi memakai pelembab antijerawat yang beberapa minggu lalu pernah dibelinya. Untuk masalah jerawat, ia lebih percaya pada jeruk nipis dan sabun wajah lemon. Karena terbukti pipinya kini berangsur membaik.
“Eh, Un. Duduk sini!” tampak dari halaman mushala Umi melambai - lambai ke arah Una.
Una mengangguk sambil mengedarkan pandangan. Selain Umi, belum banyak santri yang memenuhi tempat luas itu untuk mengikuti kuliah subuh oleh Yai Fayadh. Putera sulung Mbah Nyai yang menikah dengan ning dari Jember.
“Belum rawuh kan?” tanya Una sambil memosisikan duduknya di sebelah Umi.
“Belum. Baru jam setengah enam.”
“Ya udah, aku titip ini ya.”
“Eh, mau ke mana?” tanya Umi seraya menerima buku catatan milik Una.
“Tuh,” Una mengarahkan pandangannya ke sebelah timur halaman mushala yang berubin itu.
“Mahsa?” ucap Umi penuh tanda tanya. “Mau ngapain?”
Una tak menjawab. Ia malah beranjak mendekati sahabat lamanya itu yang tampak asyik ngobrol dengan teman kamarnya. Dada Una tiba -tiba berdebar ketika mata Mahsa menatap ke arahnya. Terusin gak ya. Ah, sudah terlanjur dekat masak mau balik lagi. Ditanggapi atau tidak, itu urusan nanti. Begitu batin Una.
“Hai, Sa. Nanti siang jadi ada rapat ceking akhir kan?”
Mahsa mengangguk cuek. Matanya tiba -tiba berubah jadi dingin. Gigi Una saja sampai bergemelutuk saking dinginnya.
“Emm, kamu dateng nggak?” Una menggigit bibir. Merasa salah ucap. Kenapa nggak langsung ngajak berangkat bareng aja?
“Yah, nggak tahu ya…,” Mahsa tetap cuek.
“Raziv dateng nggak?” Waduh, kok nyinggung -nyinggung Raziv sih. Una benar-benar salah asuhan. Eh, salah ucap!
“Ya nggak tahu! Lagian apa urusannya sama aku!” Mahsa menjawab ketus.
“Maaf, Sa. Mm..maksudku, kamu nggak keberatan kan kalau kita berangkat bareng?”
Mahsa merengut. “Kenapa harus bareng? Berangkat sendiri kan bisa!”
“Plis dong, Sa. Kayak dulu itu lho. Aku janji, nggak akan lagi-lagi ketemu sama Raziv!” Una mengangkat dua jarinya. Bukan jempol sama kelingking, melainkan jari tengah dan telunjuk. “Aku juga janji akan menceritakan apa pun yang bakal terjadi nanti!”
Mahsa tetap merengut.
“Bareng ya, Sa. Plis. Nanti…,” Una urung meneruskan kata -katanya begitu telinganya mendengar suara gemuruh dari arah utara. Apa lagi kalau bukan gemuruh suara santri yang membaca huwalhabib, menyambut kedatangan Yai Fayadh. “Sudah ya, Sa. Sampai ketemu nant i ya.”
Dan, Una segera kembali ke tempat duduknya dengan sikap seolah tak terjadi apa-apa. Santai dan enjoy. Meskipun ia harus menerima kegagalan untuk usaha pertamanya berbaikan dengan Mahsa.
Sampai di ruang rapat puteri, mata Una seketika berlarian mem eriksa lautan jilbab di hadapannya. Siang ini ia terpaksa berangkat sendirian tanpa Mahsa. Kurang baik apa si Una. Sudah ngajak janjian berangkat bareng, menyempatkan datang langsung ke kamar Mahsa, eh ternyata sahabatnya itu sudah berangkat duluan. Kalau dibilang kecewa sih jelas kecewa. Tapi, bukankah kekecewaan itu hanya perasaan orang -orang yang angkuh dan sok berkehendak?
“Itu dia,” gumam Una pelan begitu matanya menemukan sosok yang dicarinya. Duduk bersebelahan dengan Nurul di bangku nomor tiga barisan pertama. “Sudah lama, Rul?” tanya Una pelan. Tanpa menunggu dipersilakan ia menempati bangku kosong di samping Nurul.
“Kita baru aja nyampai kok. Kamu sama siapa? Sendirian ya?”
“Enggak juga sih. Dari pondok aku barengan sama anak Aliyah yang mau ekstra,” jawab Una sambil melirik Mahsa yang tampak acuh tak acuh. Seumur-umur baru kali ini Una menyadari kalau teman dekatnya itu ternyata berhati batu. Tapi, sekeras -kerasnya batu, masak sih nggak bisa berlobang kalau terus-terusan tertetesi air? “Mahsa tadi sama siapa?” Una mulai beraksi.
“Sama temanlah. Emang mau sama siapa!” tidak pagi tidak siang ternyata nada suara Mahsa tetap naik.
Una cuma mengangguk-angguk. Meski hatinya sebenarnya sudah bergemuruh, ia coba menganggap biasa jawaban yang baru saja didengarnya. Atau meminjam istilah Simbahnya yang di kampung: Anggap seperti wedus nggembret! Hahaha. Untung saja Mahsa nggak tahu kalau ucapannya sudah diserupakan dengan gembretan wedus.
“Ehem, tes tes tes. Ya, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Baik teman-teman. Siang ini adalah ceking akhir persiapan Muwada’ah yang pelaksanaannya kurang lebih dua bulan lagi. Ini adalah rapat terakhir, karena dua minggu lagi kita sudah ujian. Jadi, harapan saya atas nama panitia inti setelah rapat hari ini, paling tidak kesiapan untuk acara Muwada’ah kita sudah 89,9 persen. Untuk itu, sebelumnya mari kita membaca surat al-Fatihah bersama-sama,” Fathir terdiam sebentar sambil komat-kamit, “Al-Faatihah!” lanjutnya yang kemudian disusul oleh suara gemuruh bacaan peserta rapat. Pastinya kecuali Una. Ia kan lagi ‘merah’.
Dan, rapat pun dimulai. Tapi, karena agendanya cuma cek sana cek sini, suasana rapat siang itu tak begitu ramai oleh perdebatan. Setiap koordinator cukup melaporkan dan menjawab pertanyaan hadirin seputar kesiapan seksinya. Mahsa yang kebetulan jadi koordinator seksi Penerima Tamu tak ketinggalan memberikan masukan, melengkapi jawaban dari koordinator putera.
Lalu, bagaimana dengan Raziv? Sebagai ketua III, cowok Madura itu tentu bertindak sebagai sang penagih laporan. Ia bertanya-tanya soal kesiapan seksi yang ada di bawah tanggung jawabnya. Termasuk seksi yang dikoordinatori Mahsa.
“Untuk seragam Penerima Tamu puteri, bagaimana? Kemarin katanya tidak jadi sewa kebaya dan arik?” tanya Raziv dari ruang seb elah.
“Ya, silakan Mahsa,” Fathir, sang moderator memberi Mahsa kesempatan untuk bicara.
“Huh,” Mahsa membuka jawabannya dengan dengusan kesal. “Kan sudah saya jelaskan di depan. Kalau untuk seragam Penerima Tamu, baik putera maupun puteri, kami sepakat memakai seragam sekolah seperti juga teman-teman kelas III yang lain,” jawab Mahsa tegas. Eit, bukan tegas, melainkan ketus. Ini menurut pendengaran Una yang sedari tadi memperhatikan Mahsa dan sudah paham dengan karakter suara sahabatnya itu. Diam-diam ia bertanya-tanya dalam hati. Limadza tsumma limadza?
Pukul 16.00 rapat resmi ditutup. Lebih cepat satu jam dari waktu yang diperkirakan sama panitia. Seperti biasa, para panitia inti berkumpul dulu
di ruang kepanitiaan. Sementara panitia figuran, alias noninti, enggan kalau harus berlama-lama di ruang rapat tanpa ada kerjaan yang jelas. Soalnya salah-salah malah dituduh curi-curi kesempatan untuk ngecengin anak putera. Itulah kenapa mereka lebih suka memilih untuk segera meninggalkan ruangan, pulang kembali ke pondok masing-masing.
“Mahsa, tunggu dong,” Una buru-buru meraih tangan Mahsa yang sudah berdiri hendak pergi. Ruang rapat tampak sudah sepi. Tinggal Una, Mahsa, dan Nurul. “Aku ada kejutan buat kamu.”
“Apa-apaan sih,” Mahsa mengibas-ngibaskan tangannya.
“Biar kamu tahu kalau sebenarnya aku nggak ada niat macam -macam sama Raziv, dan kamu mau berbaikan lagi sama aku.”
Mahsa tak menjawab, malah menatap Una dengan gusar. “Lepasin tanganku,” ucapnya kemudian. “Aku bilang, lepasin!” ia ngotot menarik - narik tangannya dari genggaman Una.
“Plis, Sa. Kasih aku kesempatan. Ini demi persahabatan kita!” Una memelas.
“Turutin aja kenapa sih, Sa? Itung -itung menghargai teman, lebih bagus lagi bisa memperbaiki hubungan kalian,” Nurul coba menengahi.
“Diam kamu. Ikut-ikutan aja,” Mahsa malah membentak. “Una!” Serrr! Ada yang berdesir di hati Una mendengar namanya diucapkan oleh Mahsa setelah beberapa minggu tak pernah dilakukan oleh temannya itu. “Kamu mau lepasin atau tidak!”
Secara perlahan genggaman tangan Una pun mengendur. Sepertinya percuma mengajak Mahsa untuk melihat pembuktiannya kalau ia tak ada apa-apa sama Raziv. Eh, tapi yang bener, masak tidak ada apa -apa?
Sebenarnya sih ada, bibit-bibit yang menunggu untuk disemai. Tapi, semalam Una sudah memutuskan kalau ada baiknya ia mengalah untuk Mahsa. Toh ia belum begitu merasa perlu berurusan dengan cinta - mencintai. Apalagi sampai mengorbankan pertemanan yang sudah berjalan baik selama tiga tahun.
Mahsa melengos begitu tangannya bisa lepas. Ia buru -buru meraih tangan Nurul dan menariknya hendak keluar melewati pintu. Tapi, baru tiga langkah,
“Hai, em… lihat presensi nggak?” seorang cowok dengan pakaian khasnya nyelonong masuk ke dalam.
Una melongo, Nurul tercekat, sementara Mahsa tak sanggup meneruskan langkah. Bukan karena kaget apalagi takut dengan makhluk yang tiba-tiba sudah berdiri memamerkan senyum biasanya itu. Melainkan karena mereka sama sekali tak menduga kalau sosok yang tengah mereka bicarakan sore itu ternyata sudah bertengger di batang hidung mereka.
“Hai, Sa. Em, eh. Apa kabar?” sapanya kikuk. Jauh berbeda dengan ketika ia pertama kali bertegur sapa sama Una. “Emm, habis rapat ya?” Tuh kan, nggak mutu banget sih pertanyaannya.
Mahsa cuma menunduk diam. Cukup lama, sampai setiap yang punya perasaan di ruangan itu jadi sama -sama kikuk.
“Kamu juga habis rapat kan?” Una akhirnya bersuara dengan balik bertanya pada Raziv. “Kalau iya, harusnya kamu dengar suara Mahsa tadi. Dia kan koordinator Penerima Tamu!”
Raziv menggaruk-garuk jidatnya asal. “Em, maaf. Aku sebenarnya cuma ngetes aja kok, yang tadi itu benar Mahsa atau bukan. Soalnya suara bisa jadi dikenal, tapi kalau nggak ngelihat wajahnya kan bisa -bisa salah orang.”
“Huh norak!” Mahsa sudah mulai berkomentar. “Sudah ah, Rul. Yuk kita pulang. Biar ia ngobrol sama Una.”
“Rul-nya yang mana, dan Una-nya yang mana ini,” Raziv menunjukkan ekspresi tidak tahu.
Hah! Una mendelik. “Benar-benar sok seleb banget cowok yang satu ini,” batinnya jengkel. Tapi, diam-diam ia juga merasa bersyukur dengan kondisi Raziv yang ingatannya memang memprihatinkan itu. Berarti ia tek perlu susah-susah membuktikan ke Mahsa kalau pertemuan Jumat sore yang dulu itu memang tak ada istimewanya sama sekali. Buktinya Raziv sudah lupa dengan nama dan wajah Una sekaligus. Kecian deh lu!
Tapi, sayangnya Mahsa sudah tak peduli dengan pembuktian itu. “Ayo, Rul,” ia tetep ngotot menarik tangan Nurul, dan dengan paksa membawanya keluar kelas.
“Sa, tunggu dong!” teriak Una sambil menyusul Mahsa dan Nurul dengan langkah cepat. “Oh ya, kalau cari presensi, tuh ada di atas meja paling ujung,” lanjutnya sambil berlari -lari dengan kepala menengok ke belakang. Setelah itu, ia tak peduli lagi. Tidak juga mau tahu apa cowok itu jadi ambil presensi atau tidak.


dua

“Sa, ngomong dong!” Una menepuk -nepuk pundak Mahsa, karena hanya itu yang bisa dilakukannya setelah hampir lima belas menit sahabatnya itu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kok betah ya?
Usai rapat ceking akhir sore itu, Una memang pulang bareng sama Mahsa dan Nurul. Tapi, sama seperti ketika akan meninggalkan ruang rapat, di sepanjang jalan pun Mahsa tak banyak bicara. Malah wajahnya tampak sangat gelap oleh mendung. Itulah sebabnya begitu sampai di Sang Pecinta, Una tidak langsung balik ke Pena 4. Karena penasaran ia diam-diam mengikuti langkah Mahsa yang ternyata tidak berakhir di kamar. Teman sekelasnya itu malah bablas menaiki tangga yang menuju ke jemuran.
“Sa, kalau kamu masih sakit hati karena aku, untuk yang kesekian kalinya, plis maafin aku. Buang semua dendammu sama aku. Aku benar - benar ingin kita bersahabat seperti dulu lagi!”
Mahsa tetap pada posisi yang sama. Dengan kepala sedikit bergerak - gerak karena isakan. Sore sudah akan beranjak menuju malam. Suara disel masih terdengar nyaring memekakkan telinga. Berbanding dengan suara riuh rendah para santri yang berebut antrian untuk mandi atau mengambil air wudhu.
“Atau, Sa. Kalau kamu membutuhkan teman untuk sekadar berbagi perasaan, aku siap kok untuk mendengarkan. Jelek -jelek gini, aku kan sudah teruji,” Una mempromosikan diri. “Kalau tidak dalam menit ini, aku bersedia kok menunggu sampai menitnya itu tiba,” lanjutnya sambil ikutan duduk di samping Mahsa, bersandarkan pagar dinding jemuran. Ia selonjorkan kakinya yang kini terasa pegal dan kesemutan.
“Hiks…hiks…hiks,” sekarang isakan arek Surabaya itu mulai terdengar jelas. Ia tak lagi menutupkan tangan ke wajahnya. Dan, ini membuat Una tersenyum senang. Usahanya membuahkan hasil.
“Sebenarnya dari dulu aku pingin curhat ke kamu. Tapi, aku selalu nggak bisa. Yang aku bisa cuma jengkel dan marah sama kamu. Maafin aku ya.
Hiks… hiks…hiks,” suara Mahsa terdengar pelan.
 “Sudah. Sekarang ngomong aja. Aku sudah lupa kok dengan yang kemarin-kemarin,” jawab Una bijak.
“Emm,” Mahsa menyeka sisa air mata di pipinya. “Sebenarnya aku sudah menyatakan perasaanku sama Raziv, pas aku ada rapat Penerima Tamu beberapa minggu yang lalu. Tapi…,” Mahsa terdiam. Pada sorot matanya seperti ada keraguan. “Tapi, sore itu juga ia menolak aku…”
Spontan mulut Una ternganga. Mendengar Mahsa berani ngomong seneng sama cowok aja Una sudah kaget, apalagi sampai ditolak -tolak segala. Suer! Kalau saja sebelumnya dikasih tahu, ia pasti akan mencegah Mahsa habis-habisan. Bukan karena keberaniannya yang nekat itu, melainkan seberapa siap sih Mahsa menerima risiko dari keterusterangannya itu. Baik diterima, apalagi kalau ditolak.
“Tuh kan, kamu pasti mau nyalahin aku. Cewek kok berani -beraninya mendahului cowok!” Mahsa cemberut.
Una malah tersenyum, “Kamu tuh jangan suuzhan dulu. Aku justru bangga dengan keberanianmu. Seperti Ibu Khadijah yang melamar Rasulallah Saw. Pasti kamu terinspirasi oleh beliau ya?”
Mahsa malah kaget, “Eh, emang… Oh iya-ya.” Senyumnya malu-malu, dan Una tahu apa maksud di balik itu.
“Jadi, sebenarnya apa yang mendorong kamu ngomong langsung ke Raziv?”
Mahsa menunduk, “Habis aku sakit hati, merasa kalah satu langkah sama kamu. Sekalian aja aku ingin membuktikan kalau aku lebih menarik dan dipilih sama Raziv.. Biar mata kamu terbuka.”
“Duh, Mahsa-Mahsa,” ucap Una sambil geleng-geleng kepala. “Tanpa kamu buka dengan paksa pun, mataku sudah terbuka. Aku memang pertama kali merasakan sesuatu ya sama Raziv. Tapi, aku kan nggak buta. Aku masih punya naluri dan pikiran. Aku juga tahu siapa Raziv, siapa kamu, dan siapa aku.”
“Berarti kamu nyalahin aku ya?”
“Nyalahin sih enggak. Cuma nggak setuju aja. Bukan karena aku nggak mau dikalahkan atau karena kamu cewek. Tapi, karena kamu tidak serius dan belum siap dengan risiko dari pengungkapan itu. Motivasimu aja sudah nggak bener. Pantas kalau kamu jadi stres dan uring -uringan pas ternyata Raziv menolak kamu.”
“Makanya, tadi sore aku rasanya malu banget, campur marah dan kesal!”
“Hahaha, pantesan!” Una tak kuasa menahan tawanya. Sekarang ia tahu jawaban pertanyaan: Limadza tsumma limadza? yang sempat bikin ia mikir-mikir itu.
“Tuh kan ngeledek!”
“Pasti malu banget ya. Pede ngomong duluan, eh ditolak. Ketemuan lagi,” Una meneruskan tawanya. Tapi buru -buru ia meralat, “Sorri, aku guyon. Abis kamu juga sih, sudah berbuat kok nggak mau bertang -gung jawab menerima risikonya. Kata Mbak Upik, kalau kamu tidak berani menanggung rasa malu karena ditolak, apalagi sampai tidak mau berhubungan baik lagi sama cowok itu, mending jangan ngungkapin perasaan. Itu namanya pengecut!”
Mahsa terdiam. Dalam hati ia mulai merasa kalau ada banyak perubahan pada pola pikir temannya itu.
“Sudah. Lupain aja. Lagian kamu gak bakalan ketemu dia setiap hari. Lama-lama kalau dicuekin akan hilang sendiri kok,” Una mulai berbagi pengalaman tentang bagai-mana cara menetralkan perasaan. Membuat Mahsa jadi bengong. “Eh, tahu nggak. Aku malah seneng lho Raziv menolak kamu. Soalnya kalian tuh gak sekufu. Dari dulu sebenarnya aku mau ngomongin ini. Tapi, aku takut kamu marahin aku.”
“Enggak sekufu?”
“Kalian emang sama-sama berdarah kuning. Eh maksudku, keturunan kiai yang biasa ngajar kitab kuning. Tapi, penampilan -mu jauh lebih menarik ketimbang dia. Dan satu lagi, memori Raziv tuh payah banget. Buktinya tadi sore, nama Launa Zidka aja nggak ada diingatnya. Padahal guyonannya sama aku dekat banget lho, sampai bikin temanku cemburu,” Una senyum-senyum.
“Sialan!” Mahsa tersenyum malu-malu lagi.
“Nah, daripada sakit hati mikirin Raziv mending dibuat senyum aja, kan lewat. Kamu harus tunjukkan kalau Raziv yang menolak kamu itu ternyata tidak lebih segalanya dari kamu. Yakin dan percaya deh sama aku, perempuan baik-baik insyaallah akan berjodoh dengan laki-laki yang baik-baik pula,” Una menyampaikan ceramah sorenya. Kelihatan sekali kalau ia jauh lebih berpengalaman dari Mahsa. Teman satu kelasnya itu sampai-sampai tak berkedip melihat ekspresi wajahnya yang berapi -api.
Enggak cuma itu, di remang-remang waktu maghrib, Mahsa masih bisa melihat ada yang hilang dari pipi temannya itu…
“Heh, malah bengong!”
Mahsa spontan mengedipkan mata, “Eh, jerawat kamu sudah bubaran ya?”
“Oh, merhatiin jerawat?” Una menggerak -gerakkan kedua pipinya. “Kamu percaya nggak, aku cuma pakai jeruk nipis sama rajin cuci muka lho…”
Mahsa mendelik, “Masak?”
“Tapi, ati-ati. Jangan gampang stres. Jadi, kalau pun toh sekali waktu jerawat itu muncul, apalagi menjelang haid, ya anggap biasa aja lagi.”
Tiba-tiba Mahsa menepuk jidatnya seperti melupakan sesuatu, kemudian menepuk pundak Una kaget, “Ya ampun, Un! Maghribnya sudah lewat. Kamu ninggalin jamaah! Aduh, sorri Un!” Mahsa membaha - sakan rasa bersalahnya.
“Kamu, shalat enggak?” balas Una santai. Mahsa menggeleng. “Ya, aku juga enggak.”
Mahsa membelalak kaget.
“Iya, aku sekarang sudah mens. Lagian gila apa ngobrol berlama -lama di sini sampai ninggalin jamaah maghrib segala kalau tidak karena sedang libur.”
Mahsa menggeleng-gelengkan kepala tak percaya sambil terus mempertahankan belalakan matanya. “Ya ampun, Un. Masak sih!” ia masih tak percaya. “Aduh, aku benar-benar menyesal sudah melewatkan momen pertumpahan darahmu!”
“Hu, padahal seru lho!” Una tersenyum, kemudian mulailah ia cas cis cus lagi menceritakan pengalamannya itu. Ia juga Mahsa tak lagi peduli jamaah maghrib sudah selesai lima belas menit yang lalu. Pemean yang semula remang-remang, kini sudah penuh dalam keremangannya. Malam itu mereka bersepakat untuk tidak mandi, Cuma ganti pembalut, sebelum kemudian bersama-sama berangkat pengajian.
Usai perdamaian itu, rasa-rasanya Una bisa terbang ke awang -awang. Bebas sebebas-bebasnya dan plong seplong-plongnya. Demikian juga dengan Mahsa. Tak ada lagi sebentuk celurit pada wajahnya tiap kali
papasan sama Una. Mereka sudah bisa duduk berdekatan lagi waktu klasikal, belajar bersama waktu takrar, juga tidur bareng-bareng lagi di mushala.
“Duh, yang jerawatnya sudah kepencet,” celetuk Upik ketika suatu malam mendapati dua sahabat itu lagi asyik memahami lembaran kitab Fathul Qarib. Kebetulan materi ujian pondok esok harinya adalah fikih.
“Jerawat siapa, Mbak?” Mahsa bingung.
“Ya, jerawat kalian. Jerawat yang yang membikin capek pikiran dan mengganggu di antara kalian…”
“Oh, jerawat yang itu,” Mahsa tersenyum. “Semua kan berkat usaha Una yang sudah aqil, baligh, dan mukallaf itu. Ya kan, Un?”
Una mencibir, tak berkomentar apa-apa. Seperti ketika ia mendengar ledekan Mahsa yang lain. Bukan karena ia marah, justru ia senang Mahsa tak sungkan-sungkan lagi meledeknya. Lebih lagi, sekarang ia bisa memahami kalau dengan ledekan itulah Mahsa menunjukkan kedekatan dan perhatiannya.
Sama halnya ketika suatu siang, usai mengerjakan soal -soal Biologi, Una mengajak Mahsa ke toko GOYANG untuk beli bra. Spontan Mahsa berkomentar, “Hai-hai, mau beli bra? Emang sudah pantas gitu?”
“Mahsa!” Una melotot sambil mencubit lengan Mahsa yang sudah tega berceletuk keras-keras. Untung waktu itu tak ada anak putera yang melintas di jalan yayasan.
Mahsa ngakak. “Eh, emang sudah membentuk gitu, dadamu itu?” ia masih melanjutkan ledekannya. “Atau karena yang njaga ujian tadi Pak Mustafid ya?”
“Mahsa, plis deh,” ulang Una untuk kesekian kalinya. “Aku kan nggak tahu ukuran yang pas buat aku tuh berapa…”
“Iya-iya,” jawab Mahsa akhirnya. “Kenapa langsung pakai bra, Un. Enggak miniset aja.”
“Miniset? Apaan itu?”
Mahsa mengeleng-gelengkan kepala. “Kamu tuh emang cuek banget ya sama yang berbau perempuan. Sudah, nanti ngelihat langsung saja. Aku jelasin detil-detil juga nggak bakal paham!”
Sampai di sini Una merasa bersyukur banget sudah baikan sama Mahsa. Ia tak harus kucing-kucingan apalagi malu untuk beli bra atau
miniset. Ketika kaos dalamnya sudah tidak enak lagi untuk dipakai karena bentuk tubuhnya yang mulai berubah setelah menstruasi .
“Makasih ya, Sa. Kamu mau bantuin aku,” ucap Una pelan penuh rasa haru malam harinya. Mahsa yang biasanya suka ceplas -ceplos aja sampai dibikin tersentuh.
“Cuma nemenin, apa susahnya?”
Una cuma mengangguk. Tapi, tiba-tiba matanya berair. Ia menunduk.
“Hai, kok malah nangis?”
Una menyeka tetesan bening di pipinya. “Satu bulan ke depan, kita masih bisa bareng kayak gini nggak ya?” ucapnya parau. “Kamu jadi pindah ke Ciamis kan?”
“Hmm,” Mahsa cuma mendesah. Sebagai ganti dari ucapan iya untuk mengiyakan pertanyaan Una.
“Kenapa nggak nerusin di sini saja, Sa. Kalau niatan kamu mau ke Al - Azhar, kan bisa masuk Muallimat dulu?”
“Hmmm, taulah. Masih bingung mau nerusin di mana,” jawab Mahsa akhirnya. “Kamu sendiri, pasti ke Muallimat ya?”
“Mauku sih seperti itu. Tapi, pada akhirnya Allah juga kan yang menentukan?”
Mahsa mengangguk. Kali ini ia sudah ikut-ikutan berurai air mata. Entah, meski malam Muwada’ah masih beberapa minggu lagi, ia sudah merasakan dekatnya sebuah perpisahan.



tiga

“Untuk Launa Zidka…”
“Mahsa! Balikin surat itu. Aku belum selesai baca!”
Mahsa malah tertawa, kemudian membaca keras -keras surat di tangannya.

Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulillah Ayah, Ibu, Mas Isytifa’ juga Isti dan Thariq dalam keadaan sehat walafiat. Semoga Una di pondok juga sehat dan tak kurang suatu apa.
Bulan ini Ayah-Ibu sengaja melebihkan kiriman karena tentunya Una harus membayar biaya ujian dan perpisahan. Kebetulan bulan ini sawah kita panen, jadi hasilnya bisa Ayah jual buat keperluan Una. Semuanya berjumlah Rp800.000. Tolong dipergunakan sebaik - baiknya ya.
Ayah Ibu dan keluarga di rumah selalu berdoa untuk keberhasilan dan keberkahan studi yang tengah Una jalani. Una tidak perlu banyak membebani pikiran dengan urusan rumah. Apalagi soal biaya. Allah Mahakaya dan Berlimpah. Wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib. Bagi orang yang bertakwa, semua persoalan pasti ada jalan keluar.
Jadi, kalau Una memang ingin terus melanjutkan studi di pondok, mantapkan niat itu dan laksanakanlah. Ayah-Ibu selalu mendukung dan merestui Una.
Wassalamualaikum wr wb.
Salam sayang,

                                                                                                                        Ayah


“Lho, bukannya ini surat yang dulu?” Una mengangguk malas, “Sini, suratnya!”
“Hm, pasti lagi kangen rumah. Kok dibaca lagi?” tebak Mahsa sambil menyerahkan lembaran kertas di tangannya.
 “Tau nih, jadi kangen sama Ayah. Gara -gara semalam mimpi ngelihat Ayah, em…lagi ngapa entah nggak jelas.”
“Tapi, Ayahmu baik-baik aja kan?”
“Pas nelpon kemarin, kata Ibu sih baik -baik aja. Cuma Ayah minta maaf, besok malam pas Muwada’ah nggak bisa datang.”
“Oh, berarti mimpimu itu cuma kembange wong turu. Pertanda kalau kamu tuh sebenarnya merindukan Ayahmu.”
“Pikirku juga begitu,” Una tersenyum tipis. Tangannya asyik melipat kertas surat itu, lalu memasukkannya ke dalam amplop. “Belum pada datang ya?”
Mahsa menggeleng dengan pandangan menyapu ke seluruh halaman sekolah. Tidak sepi sih, ada beberapa anak putera yang sibuk menata panggung dan dekorasi. Tapi, para undangan dan panitia yang berkepentingan mengikuti gladi resik siang itu tampak belum ada yang datang, kecuali Mahsa dan Una.
Sudah tiga hari ini kedua sahabat itu memeras keringat ikut mempersiapkan pelaksanaan malam Muwada’ ah. Mereka ikut bantu-bantu menggoreng atau sekadar iris-mengiris di dapur panitia yang terletak di belakang ndalem Pondok Bhineka. Sebenarnya sih mereka tidak ada pengalaman untuk dua pekerjaan itu. Tapi, karena kerjanya rame-rame ples ditemani beberapa panitia putera, apalagi di hadapan Raziv, dengan cepat mereka pun belajar sekaligus praktik. Jaga gengsi kan? Masak ngiris bawang aja nggak bisa?
Mungkin inilah yang dimaksud Mahsa dengan serunya menjadi panitia Muwada’ah, meski rasa capeknya jangan ditany a. Sehabis ujian bukannya refreshing tamasya ke mana gitu atau istirahat di puncak apa gitu, malah mondar-mandir supersibuk.
“Hai, sudah lama ya?” Raziv tampak sudah berdiri di belakang Mahsa dan Una yang duduk-duduk di emperan kelas. Ia tak sendiri, ada Labiq di sampingnya.
Mahsa mengiyakan. Meski sudah berkali-kali ketemu, terutama sejak repot-repot memasak, tak urung ada juga yang berdegup di dada Mahsa. Eh, dada Una juga iya! Tapi, demi menjaga imej, mereka pasang tampang detektif. Cool gitu loh!
“Iya nih, sampai berlumut. Emang jamnya pakai karet ya, kok bisa molor gini,” Mahsa bersikap santai.
“Biasalah, jam WIB. Waktu Insyaallah Barokah,” Raziv tertawa. “Ngomong-ngomong, selamat ya jadi terbaik nomor lima, dan kamu Una, terbaik nomor sepuluh.”
“Hei, kok tahu sih!” Mahsa protes. Soalnya, urutan nama -nama peraih nilai ujian akhir terbaik lima belas memang tidak dipasang di papan pengumuman. Cuma dituliskan di undangan sesuai dengan nama dan urutan masing-masing.
“Yah, informasi kan bisa dilacak di mana -mana. Apalagi TU MTsN kan guru ngajiku di pondok.”
“Kamu dapet nomor berapa, Ziv?” tanya Una penasaran. Kalau selama ini sudah tersiar kabar tentang kepintaran Raziv, paling tidak nilai ujian akhirnya harus di atas posisi Mahsa. Nomor empat, tiga, atau mala h satu.
“Ah, ntar juga tahu,” Raziv malu-malu.
“Sok banget sih kamu,” celetuk Mahsa.
“Maklum, Raziv kali ini harus menerima kenyataan pahit. Menyesal sudah menolak cewek yang dapat urutan lebih tinggi dari dirinya…”
“Ssst!” isyarat Raziv ini secara otomatis menghentikan nyanyian sang koordinator konsumsi putera itu. “Sorry ya. Terus terang aku akui, kalian hebat! Aku salut!” lanjutnya sambil mengacungkan dua ibu jarinya secara bersamaan. Setelah itu, ia menarik tangan Labiq untuk meneruskan langkah mendekati panggung.
Una dan Mahsa cuma melongo.
Mendapat posisi di urutan kesepuluh bagi Una sudah merupakan anugerah. Karena urutan ini tidak hanya didasarkan pada jumlah nilai akhir MTsN dan MTs Plus saja. Ada lima sekolah lain di luar Manahijul Muridin yang masuk di bawah filial MTsN. Jadi, lumayan ketatlah kompetisinya.
Dari awal ujian, sebenarnya Una tak berharap macam -macam. Cukup bisa lulus dengan nilai tidak jelek -jelek amat. Tapi, ternyata yang terjadi malah lebih indah dari harapannya. Mungkin berkat doa Ayah Ibu di rumah kali ya.
Itulah kenapa ketika namanya disebut setelah Raziv, untuk naik ke panggung, ia tak kuasa menahan rasa harunya. Kalau saja bisa cuek, ingin rasanya ia menangis. Apalagi hampir semua teman -temannya tampak bisa berdiri dengan bangga di tempat yang tinggi itu berdampingan dengan Ayah atau Ibu masing-masing. Sementara Una…
“Maaf. Terlambat,” Upik tersenyum mohon maklum ke semua pasang mata yang melihatnya naik ke atas panggung, kemudian mengambil posisi di sebelah kanan Una.
“Pede banget gitu loh!” Una berbisik.
“Hus sudah. Soal pede atau nggak punya malu itu urusan nanti,” balas Upik cuek. “Yang penting aku sudah melaksanakan amanahmu untuk mewakili Ayah-Ibumu malam ini.”
“Kok telat sih, Mbak?”
“Tadi pas mau berangkat, ada telpon. Jadi, aku harus nunggu dulu. Lagian, aku kira naik panggungnya masih nanti.”
“Telpon? Telpon buat Mbak Upik?”
“Buat kamu.”
Tiba-tiba Una merasa nggak enak. “Dari mana?” “Dari Ibumu.”
“Ibu? Nggak ada apa-apa kan, Mbak?” sekarang nggak cuma perasaan Una aja yang nggak enak, pikirannya juga tak tenang.
“Enggak. Sudah ceritanya nanti aja ya.”
Una mengangguk dengan terpaksa. Apalagi, Pak Gentur yang didaulat menyerahkan hadiah sudah bergerak mendekati peraih the best pertama, kedua, ketiga, hingga sampai ke hadapan Una.
“Selamat ya…”
“Mm…makasih, Pak,” ucap Una kagok. Hampir saja gulungan berbungkus kertas kado yang diserahkan Pak Kepala Sekolah MTsN itu menggelinding. Raziv aja sampai tersenyum -senyum.
“Gulungannya terlalu ringan sih!” celetuk Upik berbisik.
“Iya. Cuma selembar ucapan: selamat mendengarkan sambutan Pak Gentur sambil berdiri,” balas Una ngawur.
Tapi, memang benar. Una dan teman-temannya harus berdiri sepuluh menitan lebih sampai pidato Pak Kepala Sekolah itu selesai. Makanya, begitu sosok kharismatik itu mengucap salam, buru -buru Una mengikuti langkah teman di sebelah kirinya menuruni panggung.
 “Mbak, ada kabar apa?” Una kembali teringat dengan janji Upik begitu kakinya menapak di ruang kelas VIIA, tempat transit semua panitia.
Upik diam sejenak, digenggamnya telapak tangan Una kuat -kuat. “Ibu kamu seneng banget pas aku bilang kalau kamu termasuk lima belas anak yang the best. Trus…em,” Upik terdiam. Ia menarik napas dalam -dalam.
“Trus kenapa, Mbak? Bikin penasaran aja!”
“Hm,” Upik mendesah. Kini matanya tampak berkaca -kaca, seperti memendam beban yang tak sanggup ia ucapkan.
“Mbak! Ada apa sih? Apa…,” Una juga tak sanggup meneruskan kata - katanya. Bayang kekhawatiran akan Ayahnya kembali memenuhi benaknya.
“Tenang Una. Jangan berpikiran yang macam-macam. Sorry kalau aku nangis. Aku Cuma merasa terharu sampai-sampai susah buat ngomonginnya. Aku bangga sama kamu yang begitu tegar meskipun malam bahagiamu ini tak dihadiri Ayah-Ibumu. Apalagi…,” Upik terdiam lagi.
“Apa, Mbak?” Una semakin penasaran.
“Ah sudahlah. Selamat ya atas prestasimu. Yang jelas nggak cuma aku, Ayah-Ibumu juga bangga sama kamu.”
“Masak cuma itu?”
“Oya, aku hampir lupa. Ibu sudah mempersiapkan hadiah buat kamu.”
“Ha! Yang bener! Apa Mbak?”
“Malam ini Lek Zam sedang meluncur ke Mojokerto. Kata Ibumu sih biar dapat izin pulang barang seminggu dari Mbah Nyai, sambil jalan -jalan refreshing. Tau ke Jogja, ke Jakarta, atau ke Bali.”
“Hu, seneng banget. Aku juga mau,” celetuk Mahsa yang barusan datang dari kamar mandi. Wajahnya tampak basah oleh air.
“Gimana, kamu seneng kan?”
Kening Una berkerut, antara percaya dan tidak. Tapi, kemudian ia mengangguk. Senyumnya terukir merekah. Tapi, jujur di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih tak habis mengerti ada apa sebenarnya di balik hadiah Ibu. Apalagi ketika dengan serta merta Upik meraihnya dalam pelukan sambil menangis sesenggukan. Una tiba -tiba benar-benar merasa takut.
“Ada apa sih, Mbak. Kok sesenggukan gitu,” Mahsa juga jadi bingung.
Upik melepaskan pelukannya. Sambil mengusap matanya ia tersenyum. “Suer aku cuma terharu dan kagum sama kamu, Adik kecilku yang sudah dewasa!” ucapnya parau.
“Makasih, Kakak!” balas Mahsa lucu.
“Makasih kembali. Kakak balik dulu ya ke kursi undangan. Sampai jumpa di pondok,” dan klebat! Upik segera berlalu dari hadapan Una dan Mahsa.
Setelah itu, ia tak perlu sungkan apalagi takut untuk meneruskan aliran air di matanya. Ternyata tidak mudah untuk berakting demi memenuhi permintaan Ibu Una, agar buah hatinya itu tetap bis a menikmati malam perpisahan bersama teman-temannya, tanpa harus tahu kalau malam itu ia juga berpisah dengan sang Ayah untuk selama - lamanya.


Selesai

Kosakata


Ad-da’watul a’iliyyah liukhtina Launa Zidka min Boyolali narju khudhuraha ilal baitil gharbi liqabulil hatif: panggilan keluarga untuk saudari Launa Zidka, supaya menerima telpon di Ndalem Barat.
Adda’watul muhimmah: panggilan penting.
Alhamdulillahi ‘ala kulli halin, wa astaghfirullaha ‘ala kulli dzambin: ucapan syukur dan mohon ampunan.
Al-mustahiqqah hadzal amrad al-haqirah al-faqirah ila rahmati rabbiha Mahsa: yang berhak atas pemuda ini adalah Mahsa.
Badha apa sih, Kak? Nja’ tadha’ pa -apa. Engko’ ghi rapat setiah. Tape la mareh: ada apa sih, Kak? Nggak apa-apa. Aku lagi rapat. Tapi sudah selesai sih.
Biasah wae to, ra usah nganggo nesu: biasa aja, gak usah pakai marah.
Dampar: meja pendek untuk menulis.
Dhabith: ingatan tajam.
Emboh, gak ruh: gak tahu.
Farji: kemaluan.
Fashlun ai hadza fashlun, utawi iki iku ono fasal …: pasal menerangkan persoalan haid, nifas, dan istihadhah.
Gawagis: golongan gus.
Gembretan wedus: embikan kambing.
Ghashab: memakai kepunyaan orang lain tanpa izin.
Ghadhab: marah.
Humaira’: kemerah-merahan.
Huwal habib: satu bait dari Burdah.
Israf: berlebihan.
Jeding: kamar mandi.
Kate ngopo: mau apa?
Kleleran: tercecer.
Koen-koen: kalian.
Kos: jatah makan.
Limadza tsumma limadza?: kenapa dan kenapa?
Mejeng tah?: ngeceng ya?
Meksi: span panjang.
Mufradat: daftar kata.
Muthalaah: pelajaran bahasa Arab.
Muwada’ah: perpisahan.
Nambal: menyalin makna kitab.
Ndaeng: ngobrol.
Ngenyek: menghina.
Pemean: jemuran.
Sambang/dipanggil: dijenguk orang tua.
Sekolah I’dad: sekolah persiapan.
Sepurane: maaf.
Weton: pengajian kitab kuning.
Yaqin bilqaf: yaqin, memakai huruf qaf.

31 komentar:

  1. menarik kak kak ceritanya menginspirasi bgt πŸ˜‡πŸ˜‡

    BalasHapus
  2. menarik kak,menginspirasi bgt 😊😊

    BalasHapus
  3. baguss.tulis lagi yg lebih menginspirasi orang .....

    BalasHapus
  4. Bagus, terus berkarya dan lebih menginspirasi orang

    BalasHapus
  5. Teruslah berkarya dengan kemampuan mu

    BalasHapus
  6. Cerpennya keren menginpirasi bgt,saya tunggu karangan selanjutnya,smngat trus ya:)

    BalasHapus
  7. Kerennn nih tulisanya 😊😊

    BalasHapus
  8. Ceritanya bener2 bagus lanjutkan karyamu yg bagus ini.

    BalasHapus
  9. Keren, suka sama ceritanya, rekomended banget buat dibaca.
    Ditunggu karya selanjutnya.

    BalasHapus
  10. Suka deh sama cerpennya, ditunggu cerpen selanjutnya ya syantik 😊

    BalasHapus
  11. Ceritanya bagus bgt,keren,lucu.
    Nyesel deh kalo gk baca.

    Terus berkarya dan semangat
    ditunggu karya2 selanjutnya

    BalasHapus
  12. Ceritanya baguss sekali boss kuhh

    BalasHapus
  13. Jempol tenan critanya lanjutkan syantik ....

    BalasHapus
  14. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  15. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  16. I like critamu, lanjutkan kawan..
    Teruslah berkarya.

    BalasHapus
  17. Ceritanya sangat menarik..ditunggu cerita selanjutnya😊

    BalasHapus
  18. Ceritanya sangat lucu..ditunggu cerita yang lain.

    BalasHapus
  19. Nice😍 I like itπŸ‘πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
  20. MantapπŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
  21. The best ��lanjutkan bakatmu ..tentunya jangan lupa berdo'a ya sebelum memulai apapun ��sukses dan semangat terus ����

    BalasHapus
  22. Kerenn. .Sukses terus πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
  23. semoga sukses untuk kedepannya buat kamu

    BalasHapus
  24. Ceritanya bagus, cukup menginspirasi pembaca.
    Lanjutkan berkarya

    BalasHapus