Sumber Gambar : Internet |
Bel
tanda pengajian klasikal sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Teman-teman
kamar Una juga sudah berhamburan menuju tempat klasikal masing-masing. Tapi,
Una masih sibuk mengaduk-aduk isi almari kotaknya, mencari-cari kitab Fathul Qarib yang akan dikajinya pagi
itu. Benar-benar merepotkan kalau punya kebiasaan lupa apalagi jarang menata
isi almari. Padahal almarinya nggak gede -gede amat. Hanya dua lapis rak. Yang
atas untuk menyimpan buku, yang bawah untuk tempat pakaian.
“Kitabmu,
Un!” sebuah teriakan dari luar meredakan ketegangan Una. Ia segera menutup
pintu almarinya dan berlari menyongsong keluar.
“Fathul Qarib bukan?”
Una
melengos sambil menerima kitabnya yang bersampulkan kertas teh dari tangan
Upik. Tanpa basa-basi ia langsung mengeluarkan jepitnya dari kotak sandal, dan
berlari tergesa -gesa menuju kompleks Abjad. Melewati beberapa kelas pengajian
yang tampak sudah mulai dengan aktivitas baca dan maknani.
“Fashlun ai hadza fashlun, utawi iki iku ono
fasal. Fi bayani ahkamil haidhi ing
ndalem nerangaken hukume haidh wannifasi lan nifas walistihadhati lan
istihadhah,” suara Ning Ummah, pengampu pelajaran fikih di kelas IIIA sayup-sayup menyapa telinga Una.
Una
menunduk, menyembunyikan rasa malunya karena untuk kesekian kali harus menjadi
murid terakhir yang memenuhi teras kompleks Abjad. Untung ia bisa masuk ke
ruang kelas yang terbuka itu dari belakang. Meskipun bisa dilihat dengan jelas
oleh Ning Ummah dari tempat duduknya, ia tak perlu merasa risih sudah menarik
perhatian teman-teman sekelasnya.
“Halaman berapa?”
bisiknya pelan.
“Baru juga dimulai. Masih sama dengan yang
kemarinlah.”
Una
mencibir sambil memosisikan duduk lesehannya lebih mendekat ke samping Mahsa.
“Besok lagi aku nggak mau kamu ajak curhat -curhatan di pemean. Jadi nggak dengar kalau ada bel!”
“Dengar
aja! Buktinya aku nggak tel at. Dasar kamunya yang nggak cekatan, terlalu
banyak dandan,” Mahsa membela diri.
“Eit. Bukannya yang
suka dandan itu kamu?” “Tapi, biar begitu aku kan tepat waktu…” “Sssttt…!”
Secara
bersamaan Una dan Mahsa menoleh ke arah Ida yang kebetulan duduk di depan
mereka.
“Debatnya
nanti aja! Topik ngajinya kita banget nih. Sayang kalau dilewatkan!”
“Apaan sih, Da. Kita banget?” Una bingung. Kelihatan dari ekspresi
matanya yang berkedip-kedip.
Ida membalikkan
punggung, siap-siap mau menjelaskan.
“Nggak usah. Aku sudah paham,” tolak Mahsa yang membuat Una kian
bloon. Mahsa geleng-geleng kepala. “Kamu mau aja dikerjain Ida. Topiknya emang
kita banget. Nih baca, tentang macam darah yang kita produksi…”
“What? Kita memproduksi darah? Darah
merah sama darah putih maksudmu?”
“Una!
Sekarang pelajaran fikih bukan biologi. Lihat dong kitab kamu!”
Una
cengengesan. Maksudnya sih bergurau. Ia tahu kok kalau yang dimaksud Mahsa atau
pembahasan Fathul Qarib pagi itu
adalah soal haid, nifas, dan istihadhah. Tiga macam darah yang diproduksi oleh perempuan. Sudah berkali-kali ia mendengar
keterangan itu. Sebut saja dari kitab Mabadiul
Fiqhiyyah yang ia kaji sampai hatam juz 4 di klasikal tingkat I dan II, kitab Sulam, bukan kitab sulam-menyulam melainkan Sulamu at-Taufiq, sampai
ad-Durusu al-Fiqhiyyah al-Halaqah ar-Rabiah yang ia ikuti pas Ramadhanan di pondok. Tak ada yang
berbeda. Macam darah yang keluar dari farji
perempuan tetap tiga…
“Berapa
ya rata-rata umur kalian?” suara Ning Ummah membuyarkan pikiran Una yang
mengembara dari kitab satu ke kitab yang lain.
“Lima belas tahun, Ning!” serempak teman-teman Una menjawab.
“Nah,
kalau di sini disebutkan bahwa usia datangnya haidh adalah sembilan tahun,
berarti kalian sudah haidh semua kan?”
“Sudaaahhh!” jawaban
kompak kembali terdengar dari kelas IIIA. “Ada yang belum haidh?”
Semua
menggeleng. Ning Ummah tersenyum. Untunglah cucu Mbah Nyai itu tidak meneliti
lebih jeli lagi. Tempat duduknya terlalu jauh untuk bisa melihat dengan jelas
siapa yang tidak menggelengkan kepala. Una menunduk, pura-pura menekuni buku
besar kuning di hadapannya. Meski sudah berkali-kali ia mengaji fikih dan
membahas soal haidh, baru kali ini ia merasa begitu kecil dan paling kecil di
antara teman -teman sebayanya.
“Tapi,
tidak mesti tepat usia sembilan tahun lho. Di sini ada keterangan faaktsar. Jadi, bisa lebih dari sembilan
tahun,” tambah Ning Ummah.
Una masih menunduk,
belum berani mengangkat wajahnya.
“Kamu
dulu dapat haidh umur berapa?” Zahroh menoleh ke arah Mahsa.
“Sepuluh tahun.”
“Kamu, Un?”
Una
pura-pura tersenyum, “Kamu nggak yakin dengan keteranga kitab ini ya? Kok pakai
nanya-nanya lagi?”
Mahsa
cekikikan, tapi ditahan kuat -kuat. “Sudah. Bilang aja kamu belum pernah dapat.”
“Heh?”
Zahroh mendelik, lalu menoleh lagi ke arah Mahsa, “Yang bener?”
“Ya
bener aja. Jerawatan aja belum pernah apalagi haid. Ya kan, Un?” balas Mahsa
tanpa beban.
Una tak
lagi bisa mengeluarkan kata-kata. Ia cuma melirik jengkel ke arah Mahsa, lalu
kembali menekuni kitabnya dengan bibir ditekuk.
Hoho,
Una ngambek nih. Mahsa sih pakai nyinggung -nyinggung soal yang satu itu.
Padahal, entah kenapa setiap kali Una mendengar ledekan jenis itu rasanya agak
gimana gitu. Seperti dianakkecilkan dan dihinakan. Apalagi kalau ada yang
terang-terangan berteriak keheranan di tempat umum, “Kelas III MTs belum haid?”
Duh, rasanya cewek 15 tahun itu
kehilangan muka.
Malu banget. Meskipun ia tahu betul kalau usia datangnya haid tidak bisa
disamaratakan setiap individunya. Malah yang usianya di atas Una tapi belum
haid juga ada kok!
Tiga
bulan yang lalu Una agak legaan karena selain dirinya, Uswah dan Atik, teman sekamarnya
yang kelas I MTsN itu juga belum haid. Tapi, pertengahan bulan ini secara
berurutan Uswah kedapatan haid, seminggu kemudian Atik menyusul. Walhasil, di
antara 30 anak yang menghuni kamar Pena 4, kamar yang Una tinggali sejak
pertama masuk Pondok Pesantren Sang Pecinta Manahijul Muridin Kalirandu
Mojokerto, cuma dirinya saja yang masih berplat putih. Atau kata teman -teman
kamarnya, betul-betul SMP alias “Santri Masih Putih”.
Untunglah
Una tak begitu ambil pusing kalau sekali waktu ada slentingan kayak gitu. Not responding dengan gojlokan
teman-teman kamarnya. Apalagi ia sudah tiga tahun bergaul dengan mereka. Setiap
sesuatu pasti akan ada waktunya, begitu ia berkeyakinan. Meski kadang ia iri
dengan Aida, Anizqi, Lilik, dan Mike yang sudah mens sejak mereka kelas VI MI.
Sekarang keempat teman sekamarnya itu sudah duduk di kelas I Muallimat.
“Halo,
Manis. Abis ngaji kok manyun gitu?” Adawiyah tiba -tiba sudah menjajari langkah
Una. Ia sudah rapi dengan jilbab dan stelan baju panjangnya. Ia adalah anggota
seksi Pengabdian Masyarakat di pondok yang salah satu programnya melibatkan
diri dalam kegiatan Posyandu di desa Kalirandu.
“Mau Posyandu, Mbak?”
“Nggak
dong. Kan baru hari Senin. Aku sekarang mau ke pasar nderekke Mbah Nyai, sekalian beli bahan-bahan untuk bikin bubur
kacang ijo. Biasa, makanan tambahan
buat balita. Eh, jangan lupa, besok Jumat ikutan yandu ya. Zila sama Iswati
sudah aktif lho!”
Una
menggigit bibir. Entah tiba-tiba ia tidak ada mood lagi mendengar istilah Posyandu dari mulut Adawi. Sudah kebawa
suasana sakit hati ya, Non! Padahal tiga bulan yang lalu dengan semangat 45 ia
mendaftar ketika seksi Pengabdian Masyarakat pasang iklan butuh relawan. Pakai
tes-tesan segala lagi. Dan ternyata, meskipun belum lulus MTs, ia lolos
seleksi. Padahal Zila dan Iswati, juga anak -anak Posyandu yang lain, rata-rata
sudah MAN.
“Besok aku absen dulu ya, Mbak. Belum ada
persiapan sih…
“Kamu itu kayak mau
ujian aja. Tugas kita nggak serumit itu kok.
Cuma nyatet-nyatet
gitu!” potong Adawi.
“Em…,”
Una mikir, cari-cari alasan lagi. “Tapi, besok siang aku ada rapat panitia
Muwada’ah di sekolah!”
“Oh, ada
rapat? Ya udah, kalo gitu. Tapi, bulan depan ikut ya?” Adawi menowel pipi murid
kelas III MTs Plus itu gemas.
Una
mengangguk pelan sambil mengelus bekas towelan Adawi di pipinya. Emang pipiku
cabi? Una membatin.
Adawi
segera membalikkan punggung, meninggalkan Una menuju kantor pondok. Semerbak
wangi parfum masih lekat di hidung Una. Dari belakang langkah kakak seniornya
itu kelihatan anggun. Postur dan besar tubuhnya tempak serasi dan ideal. Tidak
terlalu menonjol pada bagian tertentu. Meskipun pakaiannya tidak
longgar-longgar banget.
“Hm…,
Mbak Adawiyah pasti sudah mens,” simpul Una kagum lalu meneruskan langkah
menuju kamarnya.
dua
Lima
menit lagi Una akan ketinggalan pelajaran pertama yang dimulai tepat jam
setengah satu siang. Begitulah Una, selalu telat. Tidak ngaji, tidak sekolah.
Salah lokasi sekolahnya juga yang persis di dekat gerbang yayasan, jauh dari
pondok-pondok mana pun. Apalagi pondok Una letaknya mentok di sebelah utara,
sedangkan gedung sekolahnya di sebelah barat. Lima ratusan meter jauhnya.
Pondok
Una secara struktural memang bernaung di bawah Yayasan Manahijul Muridin,
bersama ke-11 pondok lainnya. Hanya saja pondok-pondok itu bersifat otonom dan
diasuh oleh kiai dan nyai yang berbeda. Dari ke-12 pondok, 3 pondok menerima
santri putera dan puteri, 4 pondok hanya menerima santri putera, dan 5 pondok,
termasuk pondok Una, hanya menerima santri puteri.
Selain
banyak pondok, di Manahijul Muridin juga terdapat bermacam - macam lembaga
pendidikan formal. Dari MI, MTsN, MTs Plus, SMP, MAN, MAPK, SMA, Sekolah I’dad
Perguruan Tinggi, sampai Muallimin Muallimat Atas yang 6 tahun itu. Itu masih
ditambah dengan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Manahijul Muridin.
“Un, tunggu!”
Una
menoleh. Syukurlah ia tak benar-benar sendirian. Ziyan tampak berlari-lari
kecil mengejar langkahnya.
“Jam pertama Pak
Huda ya?”
“Iya. Tapi, semoga
aja kosong,” Una terkikik. “Tumben kamu telat?”
“Mandinya
pada lama-lama sih. Apalagi yang lagi pada mens, mana nggak mau ngalah. Jadinya
aku juga telat jamaah!”
Una
terdiam, tapi kemudian cuma berkomentar, “Oooh.” Pertanda kalau ia sudah jatuh
semangat untuk meneruskan obrolan. Gara -gara jawaban Ziyan yang ternyata malah
memaksa ingatannya kembali memikirkan menstruasi. Aduh, kenapa buntutnya lari
ke situ terus sih! Enggak pagi enggak siang. Una jadi keki.
“Kamu sendiri, kok
telat?”
“Bangunnya
kesiangan!” jawab Una singkat dan padat.
“Tapi nggak telat
jamaah kan?”
Una menggeleng. “Aku
shalat dulu, baru mandi.”
Ziyan
menyimpan senyum, “Yang bener? Jangan -jangan kamu nggak mandi?” Ia
mengamat-amati wajah Una. “Tuh, pipi sama hidung kamu kok berminyak gitu?”
“Ye, sembarangan!”
Una mengusap pipi dan hidungnya.
“Atau, nggak sempat
pakai bedak ya?”
Una
mencibir. “Suka-suka aku. Sudah ah, yuk buruan,” ia mengalihkan perhatian.
Membiarkan teman satu pondoknya itu mencari jawabnya sendiri. Ia semakin
mempercepat gerak kakinya. Karena tinggal beberapa langkah lagi ia sampai di
halaman MTs Plus yang terbuka tanpa gerbang itu.
Dan,
rupanya siang itu keberuntungan sedang berpihak ke mereka. Pak Huda izin tidak
masuk karena sakit. Meskipun sama saja, karena pengajar Matematika itu
menitipkan pekerjaan sekolah dan harus diselesaikan sebelum jam pertama dan kedua
habis.
“Eh itu anak Al-Maun
lho?”
“Emang iya?”
“Eeh,
nggak percaya. Dia kan pernah ngisi latihan qira’ah
di pondokku,” jelas Esti bangga.
“Nah, kalau yang
ini… Firman?”
“Aku
nggak tahu…,” Esti menjawab dengan tangan terus mengurut nama-nama yang tercantum
di denah kelas, dari kanan ke kiri. “Hei, bangkuku diduduki sama Firdaus.
Namanya cakep lho, secak ep orangnya nggak ya?”
“Itu kan
masnya Dwi, ya kan?” Nurul melirik cewek berkacamata minus di belakangnya.
“Nggak-nggak. Nurul
bohong!”
“Kalau aku kenalnya
sama Dalhar. Dia tetanggaku.”
“Yang mana, yang mana…,” hampir bersamaan teman -teman Una itu maju.
“Oh, sebangku sama Dwi. Suit-suit!” teriak mereka bareng-bareng. Membuat pipi
cewek yang bernama lengkap Dwi Kurnia Rahmani itu jadi memerah.
Una
mengerutkan kening, heran melihat tingkah teman -temannya. Belum sempat ia
menyalin soal Matematika yang ditulis di papan, mereka
langsung berhamburan
ke depan kelas. Tepatnya ke sebelah kiri meja guru. Secara bersamaan, malah
sampai berebutan, mereka meneliti secarik karton yang terpasang di dinding.
“Ada
apaan sih? Bukannya mengerjakan soal, malah ribut -ribut gitu!” ia mencolek
lengan Mahsa.
“Kok
colak-colek. Sudah nggak marah lagi nih, soal usia sembilan tahun?” ledek Mahsa
sambil berkutat dengan buku tulisnya.
Una mencibir.
“Kamu
sih telat datangnya. Nggak tahu ada kabar bagus di kelas kita.”
“Kabar apa?” Una tambah
penasaran.
“Kita
sekarang nggak janda lagi. Yah, meski bukan sama -sama dari MTs Plus, anak-anak
Sekolah I’dad Perguruan Tinggi kan keren juga buat dikecengin.”
“Mereka mau sekolah
bareng kita?”
“Ya
nggaklah. Mereka sekolahnya tetep pagi, hanya saja se karang meminjam kelas
kita ini. Gedung sekolah mereka kan lagi dibangun. Nah, kalau kamu tertarik
untuk cari pasangan, silakan lihat di denah kelas di depan itu. Kamu bisa tahu
siapa-siapa saja yang duduk di bangku-bangku kita kalau pagi. Termasuk cowok
yang memakai bangku yang kamu duduki sekarang.”
Una
manggut-manggut. Setelah sekian lama ia cuma dengar kabar soal surat-suratan di
laci meja dari anak MTsN, sekarang MTs Plus kebagian kesempatan juga. Meski
dengan anak I’dad putera yang masuk pagi. Maklum, murid MTs Plus kan cewek
semua. Berbeda dengan MTsN yang putera-puteri.
“Sana
gih, kamu lihat pasangan dudukmu. Siapa tahu jadi kenalan baik, kan bisa
mengisi daftar inventarismu yang kosong. Paling tidak, kalau aku cerita Raziv,
kamu bisa cerita soal cow ok itu,” Mahsa melancarkan provokasi.
Di
banding Una, Mahsa emang jauh lebih gaul. Maksudnya, sering terlibat dalam
kepanitiaan gabungan antara MTsN dan MTs Plus. Misalnya saja acara PHBI dan
lomba-lomba. Makanya tak heran kalau ia lebih banyak menginventaris nama-nama
anak putera daripada Una yang sama sekali tak punya. Salah satu nama yang akhir
-akhir ini sering
dicurhatkannya ke
Una adalah Raziv. Cowok Madura yang duduk di kelas IIIA MTsN itu kata Mahsa
begitu menarik. Entah benar atau tidak, Una belum pernah membuktikannya
sendiri.
“Malas ah. Kayak
kurang kerjaan aja!”
“Payah
kamu!” mulut Mahsa monyong. Tapi, kemudian ia menjentikkan dua jarinya. “Nah,
kalau yang ini malas, berarti besok Jumat jadi dong ikut rapat panitia
Muwada’ah?”
Una mikir-mikir,
“Mm, Muwada’ah? Gimana ya? Malas repotnya.”
“Yah,
Una! Bukan repotnya yang harusnya kamu bayangin. Tapi, seru dan kenangan
indahnya itu lho…”
“Dari MTs Plus
berapa anak sih?”
“Lima belas anak.
Gimana? Oke ya?”
Una mengangguk
malas-malas.
“Nah,
gitu dong. Sudah waktunya kamu tuh mengenal lawan jenismu. Biar referensimu
nggak cuma cewek tok. Salah -salah, jadi SSJ.”
“SSJ?”
“Suka Sesama Jenis,
hiiii.”
Una
melotot. Bersamaan dengan masuknya Bu Inayah, pengajar bahasa Inggris, membawa
setumpuk buku tulis di tangan.
tiga
Una
meraih lembar presensi yang ada di depannya. Hampir semua undangan yang hadir
sudah membubuhkan tanda tangan. Bentuknya macam-macam. Ada yang pakai huruf
Arab dan dimulai dari arah kanan. Ada yang mlungker-mlungker standar rambut
ikal. Ada yang cuma memindah nama dengan garis di bawahnya. Tapi maaf, semuanya
biasa - biasa saja.
“Sini, Un. Aku lihat
dulu.”
“Bentar.
Aku tanda tangan dulu,” jawabnya sambil mencari -cari nama Launa Zidka di
lembar presensi. Ini dia. Urek -urek jebret. Segaris tanda tangan unik sudah
digoreskan Una pada kolom di sebelah namanya.
“Jelek
banget tanda tanganmu,” Mahsa berkomentar sesaat, kemudian mengamati satu per
satu nama yang tertulis di lembar presensi. Una diam saja. Ia sudah kebal
dengan komentar -komentar dari Mahsa. “Eh, Raziv juga dateng!”
Una
melengos. “Dari awal rapat aku juga sudah tahu! Masak kamu nggak dengar sih
logat Madura di ruang sebelah?” ucapnya ngawur.
“Tadi
bukan Raziv. Dari suaranya aja aku tahu kalau yang ngomong tadi si Fuad!”
Una
sudah mengira, jurus ngawurnya ditanggapi serius sama Mahsa. Pantesan Mahsa
belum mau konser suara. Yang ngomong tadi Fuad. Buat Una sih, suara Fuad dan
Raziv nggak ada bedanya. Apalagi ngomongnya sama-sama pakai bahasa Indonesia
khas Madura. Sedangkan wajahnya? Sampai detik ini aja Una belum pernah
kedapetan melihatnya.
Harap
maklum. Soalnya ruangan rapat untuk putera dan puteri dipisah. Putera di kelas
IIIA, puteri di kelas IIIB. Sementara pintu penghubung dua kelas itu dibiarkan
terbuka. Jadi, nggak bisa saling lihat. Hanya mendengar suara tanpa rupa.
Kecuali dua orang cowok yang duduk di dekat pintu penghubung. Mereka adalah
ketua dan sekretaris panitia putera yang sekaligus bertugas jadi moderator.
“Baik,
Teman-Teman. Rapat siang ini kita lanjutkan lagi,” terdengar Fathir, sang ketua
panitia mulai memperdengarkan suara. “Tadi kita
sudah coba melakukan
voting untuk pengadaan seragam. Tapi, hasilnya sama-sama kuat. Nah, sekarang
silakan dari panitia puteri, ada masukan…”
Sepi. Tak ada
tanggapan. Mahsa masih asyik dengan lambar prese nsi.
Sementara Una sibuk
mengibas-ngibaskan ujung jilbabnya. Gerah.
“Ya, Raziv silakan!”
Tiba-tiba Mahsa mengangkat wajah demi mendengar nama Raziv disebut
sang moderator. Una ganti meraih lembar presensi itu, buat kipasan maksudnya.
“Bagaimana
kalo voting tadi yang kita pakai. Jadi, kita memberi kebebasan ke siswa-siswi
apakah mau bikin seragam atau tidak. Daripada berlama-lama begini…”
“Nggak bisa!”
tiba-tiba Mahsa nyelonong tanpa disilakan.
“Sebentar
dari puteri. Raziv sudah selesai?” Mungkin yang ditany a mengangguk karena
kemudian Fathir melanjutkan, “Silakan, Mahsa!”
Sambil
kipas-kipas Una tersenyum. Sudah paham kalau Mahsa yang menjabat koordinator
seksi Penerima Tamu itu sebenarnya cuma pingin namanya disebut pas ketika Raziv
juga mendengarkan. Dan, U na pun bisa menebak kalau Mahsa pasti akan bilang
kalau kita harus kompak. Bikin seragam satu ya bikin semua, nggak bikin ya nggak
semua! Malah ia menambahkan kalau nggak bikin seragam itu lebih positif
daripada bikin. Pertama, untuk menghemat biaya yang bisa dipakai buat bayar
ujian. Kedua, seragam sekolah tidak lebih jelek untuk dipakai di malam
perpisahan.
“Tapi
kan masalahnya tidak mudah untuk membulatkan pilihan, apakah bikin seragam atau
tidak!” yang di sebelah tak mau kalah.
“Sebentar, Raziv!”
“Ya kita
lakukan voting lagi. Siapa tahu ada yang berubah pikiran!” Mahsa ngotot.
“Kayaknya baru kali
ini deh ada voting diulang!” “Nggak juga tuh! Kemaren…”
“Sudah-sudah,
Mahsa dan Raziv. Jangan debat kusir gitu dong. Ini rapat kita bersama, bukan
cuma kalian b erdua!”
“Huuu,” suara koor
anak-anak pun menggema.
“Baiklah.
Kita dapat dua usulan, dari Raziv dan Mahsa. Nah, silakan teman-teman memilih
usul siapa yang akan dipakai. Cukup di kertas, terus kita bacakan hasilnya
bersama-sama. Kalau kemudian usulan Mahsa yang menang, kita akan voting lagi.
Tapi dengan catatan, kalau hasilnya sama seperti voting yang pertama, secara
otomatis usulan Raziv yang kita pakai. Bagaimana?”
Rapat
sudah selesai tiga menit yang lalu. Hasilnya kelas III tahun ini tidak jadi
bikin seragam perpisahan berupa stelan kebaya untuk puteri dan sarung ples baju
koko untuk putera. Mengurangi jumlah iuran
150.000 dari total
400.000. Jadi, tinggal 250.000 yang harus dibayarkan oleh siswa-siswi kelas III.
Baik MTsN maupun MTs Plus.
“Pulang
yuk, Sa!” Una segera berdiri, melihat seisi ruangan yang sudah mulai kosong.
Beberapa panitia inti puteri sudah bergabung dengan panitia inti putera di
ruang kepanitiaan. Sementara yang lain, langsung bubar kembali ke pondok
masing-masing.
“Ayo,
Sa!” Una jadi nggak sabar. Melihat Mahsa yang asyik menulis sesuatu di lembaran
agendanya. Abis itu, sret! Ia menyobek lembaran itu.
“Sebentar, aku ke jeding dulu ya. Kebelet nih!”
Tanpa menunggu
anggukan Una yang tak habis mengerti, Mahsa
langsung ngacir
keluar kelas. Nggak ada angin nggak ada hujan tiba -tiba kok kebelet. Padahal
setahu Una untuk ke jeding harus
melewati ruang kepanitiaan yang pastinya lagi penuh anak -anak putera. Hm,
pasti ada udang di balik kebelet neh!
“Sorry, lihat presensi nggak?”
Una
menengok ke arah pintu. Sesosok anak putera tak dikenal sudah berdiri dengan
canggung. Rambutnya hanya 2 senti, agak gundul. Tak berpeci, tapi alamak… pakai
sarung dan kemeja. Rapat kayak gini, apa nggak salah kostum tuh?
“Hallooo, lihat
presensi nggak?”
“Em…eh,” Una memutar
kepalanya, “itu, di sana.”
“Makasih,”
ia melangkah masuk, tapi berhenti di depan Una. “Kok sendirian? Nunggu teman
ya?”
“Iya. Teman yang
kebelet…,” Una tersenyum.
Ia juga
tersenyum. Nggak manis sih, tapi lumayan untuk senyuman cowok ABG pertama yang
ditujukan ke Una. Jarang -jarang lho. Paling cuma senyuman Kang Ari yang
bertugas ngangkutin sampah di pondok. Atau Kang Madi yang menjaga toko
kebutuhan santri di dekat ndalem. Itu kalau di pondok. Kalau di sekolah jelas
nggak mungkin. Selain karena jadwalnya berbeda, pagi untuk putera dan siang
untuk puteri, juga karena sekolah Una yang baru tiga tahun berdiri itu hanya
menerima anak didik cewek.
“Eh, kamu anak MTs
Plus ya? Kok nggak pernah lihat?”
Una
mengangguk, “Iya. Soalnya aku nggak pernah konser ke MTsN sih!”
Ia tertawa. “Berarti
sekelas sama Mahsa dong?”
Sudah
bisa ditebak. Kalau sama Mahsa, siapa pun pasti kenal. “Kami satu bangku,” Una
bersuara seperti anak SD yang lagi deklamasi. Lumayan bisa nebeng tenar.
“Oh, satu bangku.
Terus…”
#Alhamdulillah
wa syukrulillah…# Suara Opick terdengar dari dalam saku kemejanya.
“Sorry ya…,” ralatnya seraya mengeluarkan
Nokia 6600 -nya. Setelah melihat nama pada layar dan menekan tombol hijau ia
menyapa, “Badha apa sih, Kak? Nja’ tadha’ pa-apa. Engko’ ghi rapat setiah. Tape la
mareh…”
Una
melongo. Mendengar cas cis cus bahasa asing keluar dari mulut cowok di depannya
itu. Seperti yang juga dipakai oleh teman -teman tetangga kamarnya, Pena 3,
yang mayoritas dari Madura. Seketika itu juga pikirannya langsung nyambung ke
Raziv. Apa cowok ini yang bernama Raziv? Tapi, masak sih Mahsa yang nyeleb gitu
naksir sama cowok sejenis ini?
Kalau ditimbang dari segi fisik, Mahsa dapet point 90, cowok itu
paling-paling cuma
40. Kalau kepintaran, Mahsa juga punya point tinggi. Ia kan bintangnya kelas
III MTs Plus. Jadi, kenapa harus menjatuhkan pilihan ke dia?
Una
semakin lekat memandang sosok di depannya yang sesekali berhaha-hihi dengan
lawan bicaranya yang entah ada di mana. Wajahnya biasa saja. Standar tidak
jelek maksudnya. Kulitnya putih nggak, hitam juga nggak. Sawo matanglah
kira-kira. Hidungnya tidak pesek, tidak juga mancung. Matanya agak cenderung ke
sipit. Badannya kelihatan lebih
mendekati kerempeng
dengan posturnya yang lumayan tinggi. Em…168 sentilah. Giginya…
“Tadi
itu kakakku. Biasa, suka ngontrol dan nanya macam -macam soal kegiatanku,”
jelasnya sambil tersenyum.
“Oh,
kakak,” Una balas tersenyum, campur heran. Kenal juga nggak, kok sudah
curhat-curhatan gini.
“Oh ya, tadi sampai
mana?”
“Sampai
mana apanya?” kadang Una emang agak lambat pergerakannya.
“Oh eh,
Ya udah, aku duluan ya,” ucap cowok itu dengan ekspresi kikuk. Ia lalu segera
membalikkan punggung dan siap melangkah keluar.
“Eh, kamu… Katanya
cari presensi?”
“Oh iya.
Jadi kelupaan!” ia balik lagi dan mendekati lembar presensi yang tergeletak di
atas meja di ujung paling timur. Kemudian, melintasi bangku yang diduduki Una
hendak keluar. Ada semerbak wangi … mampir ke hidung Una. Wangi apa ya? Una mikir
-mikir.
“Eh, tunggu!”
“Iya, ada apa, em…
Namamu siapa?”
“Launa. Panggil aja
Una…”
“Iya, Una. Ada lagi
yang terlupa?”
“Boleh
tanya sesuatu…?” Una menggantungkan kalimatnya. Malu - malu gitu. Cowok itu
mengangguk.
“Kamu Raziv ya?”
Cowok
bersarung itu lagi-lagi tersenyum, dengan senyuman yang jauh lebih lumayan dari
sebelumnya.
empat
“Ya ampun! Raziv malah ke kelas, nemuin kamu!?” Mahsa berteriak
histeris ketika Una berkisah tentang pertemuannya dengan Raziv sore itu.
Buru-buru Una
meralat, “Bukan nemui aku, tapi ambil presensi.”
Mahsa
cemberut. Seperti ada yang lain dari sorot matanya. Entah apa itu, Una nggak
ngerti. Lagi-lagi perasaan Una lambat memberikan respon. “Kok cemberut gitu sih.
Marah ya? Emang aku sudah ngapain sama Raziv? Aku juga nggak kenapa-napa kok. Sorry kalau aku baru nyeritain pertemuan
itu sekarang. Kemaren kita pulangnya kan sudah petang.
Hampir maghrib
malah,” Una agak ketakutan.
Usai
ngobrol sama Raziv di kelas Jumat itu, hampir satu jam Una menunggu Mahsa balik
dari jeding . Kalau bukan karena
Mahsa mungkin Una sudah pulang duluan ke pondok. Soalnya pukul setengah enam
semua santri Sang Pecinta harus sudah masuk kombongan,
kalau nggak mau kena takzir. Walhasil, begitu Mahsa muncul, Una langsung
menarik lengannya ngajak jalan cepat-cepat. Jangankan cerita soal Raziv, tanya
- tanya jadi pipis atau ketiduran di jeding
aja Una nggak sempat.
“Sa, kok
diem aja sih!” Una jadi bingung. Masalahnya kok jadi rumit gini.
Una dan
Mahsa sudah berteman sejak mereka sama -sama jadi santri anyar. Kenalannya pas P6, yaitu acara Perkenalan Pertama Pada
Pondok Pesantren Puteri. Apalagi
mereka sama -sama sekolah di MTs Plus, jadinya tambah akrab aja.
Hanya
saja, seakrab-akrabnya mereka, namanya berteman sekali waktu pasti ada
saat-saat mereka bersitegang. Misalnya, pernah suatu ketika Una ngotot menolak
ajakan Mahsa untuk ikut masuk tim bola voli. Masalahnya karena Una memang
benar-benar nggak ada bakat ke olahraga itu. Berbeda dengan Mahsa, yang penting
ikut dulu, bakat itu pada akhirnya akan tumbuh dengan sendirinya. Gara-gara
perbedaan ini
mereka puasa ngobrol
sampai hampir satu minggu. Dan, ketika tim bola voli itu ternyata nggak jadi
dibentuk, barulah mereka akur lagi.
Masih
banyak kasus lain yang sudah bikin mereka renggang. Dari yang kecil-kecil,
kayak berangkat sekolah yang nggak bareng, ditinggal pulang duluan, ada PR
nggak diingatin, sampai pada masalah yang prinsip kayak pas milih kitab untuk
ngaji weton, pilihan kegiatan ekstra
di pondok dan sekolah, termasuk soal jatuh cinta dan perasaa.
Syukurnya,
ketegangan-ketegangan itu berhasil mereka luluhkan. Biasanya kalau Mahsa yang
tegang, Unalah yang memulai perdamaian. Begitupun sebaliknya. Sampai kemudian
mereka memutuskan prinsip bersama: Be
your self. Una ya Una. Mahsa ya Mahsa. Ditambah lagi mereka sepakat dengan
empat pondasi persahabatan:
1. Memahami dan menghargai pilihan sahabat sekalipun berbeda.
2.
Selalu berbaik sangka.
3.
Gampang diajak bicara.
4.
Kalau mentok, balik lagi ke nomor satu.
Ternyata
dengan kesepakatan itu, tanpa terasa hampir tiga tahun berteman mereka kian
lengket aja. Meskipun karakter, pilihan sikap, dan kecenderungan, apalagi
status mereka berbeda. Una santri biasa yang biasa-biasa saja. Sedangkan Mahsa
puteri kiai yang berpotensi jadi luar biasa.
Akan
tetapi malam ini, tiba-tiba mendung itu kembali menghampiri Una dan Mahsa. Pas
kegiatan takraruddurus, di emperan
mushala bagian barat. Dari pukul sembilan sampai sepuluh malam seluruh santri
PPP Sang Pecinta emang harus mengikuti kegiatan belajar bersama sesuai sek olah
dan kelas masing-masing, di tempat-tempat yang telah ditentukan pengurus bagian
Takrar.
“Ngomong
dong, Sa. Aku nggak ngapa-ngapain kok sama Raziv. Aku juga nggak naksir sama
dia. Apalagi sampai melambung gitu. Suer!”
“Ihiks..ihiks..ihiks,”
Mahsa teris ak.
Una
tambah bingung. Untung posisi duduknya menyendiri bareng Mahsa di ujung emperan
yang membentuk lorong, bersebelahan dengan dinding ndalem. Jadinya sepi, jauh
dari anak -anak MTs Plus yang lain.
Digoyang-goyangkannya
bahu Mahsa pelan. “Aduh, kok mala h nangis sih. Aduh, gimana nih. Aku harus
ngapain dong biar kamu nggak nangis kayak gini…”
“Hiks, aku nangis
bukannya kesal sama kamu kok. Hiks…” “Terus kenapa dong…”
“Nggak
tahu, aku kesal sama siapa. Hiks. Yang jelas aku kesal, Raziv kok nggak tahu
sih kalau aku sore itu pingin banget ketemu. Pingiiin banget, sampai aku
bela-belain nyusul dia ke ruang kepanitiaan, aku tungguin lama…”
Mata Una
jadi ikutan berkaca-kaca. Melihat Mahsa yang beringasan itu tiba-tiba menangis.
Una jadi trenyuh. Ia memang belum pernah tahu seperti apa gelisahnya punya rasa
kangen. Atau bagaimana sakitnya cemburu. Tapi, ia bisa memahami rasa kesal
Mahsa. Susah -susah menyelinap ke ruang kepanitiaan, menunggu lagi. Eh, yang
dicari malah nggak nongol-nongol. Sedang Una, bagai pucuk dicinta ulam tiba,
malah ketemu Raziv, sempat ngobrol lagi. Begini -kah uniknya perasaan perempuan
dewasa? Tiba-tiba Una kembali merasa kecil dan begitu kecil di hadapan Mahsa.
“Maafin
aku ya, Sa,” ucap Una pelan. “Aku juga nggak tahu kalau kamu sebenarnya nggak
ke jeding tapi mau nemui Raziv. Coba
kalau kamu terus terang. Ah, tapi sudahlah. Panitia Muwada’ah kan masih akan
rapat lagi. Iya kan?” Una berusaha menghibur sam bil mengusap-usap pundak
Mahsa.
Mahsa
tak berkomentar. Tapi cukup membuat Una bisa bernapas lega karena Mahsa tak
jadi meneruskan rasa kesalnya. Benar -benar pengalaman pertama sepanjang perjalanan
persahabatan mereka.
Tapi,
tiba-tiba kresek…kresek…kresek. Terdengar bunyi berisik dari salon pengeras
suara tepat di atas Una.
Ad-da’watul a’iliyyah liukhtina Launa Zidka
min Boyolali narju khudhuraha ilal baitil gharbi liqabulil hatif.
Una
melongo, antara senang dan khawatir. Senang karena biasanya itu telpon dari
rumah. Tapi, khawatir karena biasanya ada kabar yang tidak mengenakan.
“Telpon tuh!” Mahsa
menyenggol lengan Una.
Ia pun
mengangguk. Tanpa menunggu instruksi selanjutnya, buru - buru ia melangkah ke
ndalem, lewat pintu sebelah timur. Jadinya harus muter. Beberapa pasang mata
yang dilewati menatapnya dengan pandangan penuh teka-teki.
Ndalem
Mbah Nyai malam itu dalam keadaan sepi. Una langsung saja menuju ke tempat
telpon yang tengah terbuka.
“Halo…,”
Tuuut.
Mungkin
si penelponnya menutup telpon dulu untuk kemudian menelpon lagi. Ia pun menaruh
kembali gagang telpon ke tempatnya, lalu duduk bersimpuh di lantai ubin coklat
yang kasar.
Tiga
menit berlalu. Una menunggu dengan gelisah. Ditemani lukisan foto Mbah Yai dan
Mbah Nyai waktu masih muda. Mbah Yai sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.
Sekarang yang mengasuh pondok adalah Mbah Nyai dibantu oleh dua putera dan satu
puterinya, juga para menantu. Mereka sudah tinggal di rumah masing -masing yang
posisinya mengelilingi bangunan pesantren.
Lima
menit berlalu. Una semakin gelisah. Jangan -jangan cuma ngerjain, pikirnya.
Bisa saja ada teman cowok yang usil nelpon dan ngaku - ngaku sebagai saudara.
Tapi, Una punya teman cowok siapa? Una senyum-senyum sendiri. Ye, kegeeran!
Jadi malu.
Tlulit tlulit.
Tlulit tlulit.
Una melompat kaget,
dan langsung meraih gagang telpon.
“Halo…”
“Halo juga, Una. Ini
Ibu. Apa kabar?”
“Oh, Ibu. Una
baik-baik. Ayah Ibu sama adik-adik gimana?”
“Iya. Semua baik…”
Una sumringah. Jawaban itu seperti kado manis di hari ultahnya.
Sekarang ia tak perlu lagi merasa khawatir sesuatu telah terjadi pada
keluarganya. “Una seneng banget kalau semua baik -baik. Jadinya Una nggak sedih
lagi!’
“Memangnya Una lagi
sedih?”
“Iya,” Una merajuk. Dan, seperti tak mau kehilangan momen, ia
langsung bercerita
tentang keanehan Mahsa yang bisa bertangis -tangis gara-gara Raziv.
Ibu
tertawa renyah. “Una kalau kangen Ayah -Ibu juga suka nangis kan? Jadi sama
saja, rasanya ya seperti itu.”
“Memang sama antara kangen orang tua dengan kangen cowok?”
“Ya samalah. Kamu
tuh aneh-aneh aja.”
“Tapi, Una kan jadi
penasaran!”
“Besok-besok
juga akan merasakan kok. Sudah. Nggak usah terlalu serius mikirin itu. Ntar
yang penting -penting malah dilupain!”
“Iya-iya.
Una ngerti kok. Oh ya, ada angin apa Ibu telpon Una? Cuma kangen aja kan?”
Ibu tak segera
menjawab, terdengar suara desahan dari seberang.
“Ada apa sih, Bu?
Kok malah diam?” Una kembali merasa khawatir.
“Ayah sama Ibu mau minta maaf ya, Un. Soalnya kiriman bulan ini agak
telat barang dua mingguan. Itu pun belum termasuk biaya untuk ujian dan
perpisahan.”
Una
tersenyum kecut, meski kemudian menjawab, “Una nggak papa. Tapi kenapa sampai
telat dua minggu gitu, Bu?”
“Kemaren
uangnya dipakai buat biaya ayah opname di rumah sakit. Jempolnya robek terkena
paku. Padahal kamu tahu kan, Ayah kena diabetes?”
“Opname?”
Una hampir-hampir berteriak. “Gimana sih, Bu. Kok baru bilang sekarang!” suara
Una terdengar seperti mau nangis.
“Maunya
Ayah memang begitu. Lagian sekarang juga sudah balik ke rumah kok. Sudah sehat
walafiat. Ayah malah titip pesan buat Una supaya rajin belajar dan banyak
bersabar.”
“Iya,
Bu,” jawabnya sambil berkali -kali mengangguk, meski tahu di sana Ibu nggak
akan melihat anggukannya itu.
“Sudah
dulu ya, Un. Jaga diri baik-baik. Sayang Una…,” Ibu mengakhiri pembicaraan.
“Sayang Ibu juga Ayah,” Una menjawab dengan parau. Dan, klik. Ia
menutup gagang telpon ndalem dengan kepala seakan berputar -putar. Pusing.
lima
Pukul
01.00 dini hari, mata Una masih ketap -ketip susah diajak terlelap. Padahal
Mahsa yang tergeletak di sampingnya sudah merem dengan mulut agak terbuka.
Untung sedang tidak ada cicak yang buang kotoran, bisa jadi toilet gratis kan?
Una
perlahan berpindah posisi, dari terlentang menjadi miring ke kanan, berhadapan
dengan Mahsa. Sudah hampir satu bulan ini teman satu bangkunya itu ikut gabung
tidur di dalam mushala. Dan, selama beberapa malam itu pula ia selalu
mendongeng sebelum bobok untuk Una. Apalagi kalau bukan dongeng tentang Raziv.
Tapi, anehnya dongeng-dongeng itu bukannya bikin ngantuk, malah bikin susah
untuk tidur. Seperti malam ini, meskipun dongeng Mahsa sudah berhenti tiga
puluh menit yang lalu dan si pendongengnya juga sudah tewas dalam buaian mimpi,
Una tetap saja terjaga.
Pusing
terus-terusan berbaring, Una akhirnya duduk bersandarkan dinding mushala.
Suasana begitu sepi ngelangut. Sejauh mata memandang tampak para santri dari
berbagai kompleks berbaring rapi seperti barisan ikan asin di bawah terik
matahari. Posisi mereka beradu kaki atau kepala. Mereka kebanyakan berasal dari
kompleks yang dekat dengan mushala. Kecuali Mahsa yang kompleksnya memang agak
jauh beberapa meter.
“Hm,
sepertinya yang punya banyak masalah itu cuma aku,” Una mendesah seolah ingin
menghembuskan semua beban hatinya. Beban yang secara bersamaan juga memenuhi
pikirannya. Sejak Mahsa rajin berbagi soal Raziv, sejak banyak orang menyindir
-nyindir soal kedewasaannya, dan sejak Ibu menelpon tiga malam yang lalu.
“Kiriman
bulan ini agak telat,” suara Ibu yang terdengar lewat telpon kembali mengiang
di telinga Una. “Itu pun belum termasuk biaya untuk ujian dan perpisahan.”
Perlahan ia menoleh
ke arah Mahsa, “Seandainya aku tercipta seperti
Mahsa yang kaya,
cantik, pinter, terkenal, puteri kiai, dan sudah puber.
Hm, mungkin aku tak
akan sepusing ini ya?”
Una
menerawang. Meski ia tak ingin mempunyai sifat -sifat seperti Mahsa. Sombong
atau pelit karena kelebihan itu sih enggak. Tapi, temannya itu sering meledek
dan lebih suka mendahulukan mood-nya
daripada memahami orang lain.
“Kamu
pernah tertarik sama cowok nggak sih, Un?” tanya Mahsa sengit tiga malam yang lalu.
Gara-gara Una memprotes dongengnya soal Raziv. Habis Mahsa seperti tak bisa
memahami kalau temannya sedang bersedih dengan kabar buruk yang disampaikan Ibu
lewat telpon. Bukannya menghibur, Mahsa malah bertanya -tanya soal sosok Raziv
dalam pandangan Una. Nyebelin banget kan?
“Kok
kayaknya kamu nggak bisa berempati gitu sama yang lagi digeber cinta! Atau,
jangan-jangan kamu masih anak-anak ya?” lanjut Mahsa dengan nada mengejek.
“Enak aja!”
“Bisa
jadi kan?” Mahsa memasang wajah serius. “Coba aja kita cocokkan beberapa
perubahan yang terjadi pada masa puber dengan kondisi kamu yang sekarang.”
“Cocokkan aja!” Una cuek tapi sebal. Betapa ia merasa kalau Mahsa
kadang suka kelewatan nggarapi
kepolosannya. Meskipun ia sebenarnya sudah lima belas tahun.
“Yang
pokok-pokok aja ya,” Mahsa sudah siap dengan catatan di bukunya. Kebetulan esok
siangnya pelajaran Pak Baidhowi. “Pertama , perubahan fisik. Apakah payudaramu
sudah tumbuh, bentuk tubuh mulai berlekuk sekitar pinggang dan pinggul, kulit
berminyak dan mudah berjerawat, lebih banyak berkeringat dan mengeluarkan bau
badan?”
Una cuma
mengangkat bahu. Acuh tak acuh. Sementara Mahs a memutar-mutar tubuh Una,
seolah-olah mencari jawaban atas beberapa perubahan itu. Ia lalu geleng-geleng
kepala.
“Kedua,
perubahan pada fungsi organ reproduksi. Apakah kamu sudah mulai haid setiap
bulannya, indung telur membesar, dan dari vagina mulai keluar cairan putih
bening agak kental?” kali ini mata Mahsa berputar-putar. Ia sudah tahu
jawabnya.
Una
manyun. Sebenarnya waktu itu ia mau bilang kalau Ziyan pernah menemukan kilang
minyak di wajahnya. Atau, sekali waktu pas kecapekan ia mendapati sesuatu yang
lain di CD-nya. Hai, bukankah ini dua perubahan? Tapi, ia enggan untuk
cerita-cerita. “Terusin aja terus. Paling-paling hasil akhirnya kamu akan
menyimpulkan kalau aku masih anak - anak!” cewek yang baru kenal sama kaos
dalam itu meleletkan lidahnya sewot.
“Nah,
yang ketiga perubahan emosi atau psikologis,” Mahsa terus aja nyerocos. “Apa
kamu jadi lebih perasa dan sensitif, ingin lebih diperhatikan, mulai lebih
banyak memperhatikan penampilan diri, timbul perhatian pada lawan jenis?”
“Wah
kayaknya belum semua tuh!” Ana yang kebetulan tidur di dekat-dekat Una dan
Mahsa ikutan nimbrung.
Wajah
Una menyemburat malu. Mahsa benar -benar keterlaluan. “Plis dong, Sa!”
teriaknya marah.
“Uuuhh,” tangan Mahsa terangkat ke atas. Sepertinya ia terjaga. “Heh,
Un. Nyapo, gak iso turu tah?” agak serak-serak ia menegur Una. “Jam berapa
sih?”
Una menoleh, “Jam
setengah dua. Aku cuma pusing tidur aja kok.”
“Oaahhh,
ya udah,” Mahsa menarik kembali selimutnya yang melorot ke kaki, miring ke
kanan, lalu diam tak bersuara.
“Hm,
enak banget bisa tidur,” Una membatin. Mungkin karena Mahsa tak punya masalah.
Padahal kan, katanya kalau orang yang lagi naksir itu bawaannya suka susah
tidur. Tapi, Mahsa yang lagi naksir Raziv itu kok malah lelap-lelap aja. Atau
jangan-jangan sebenarnya Una yang lagi jatuh cinta. Aduh!
Tiba-tiba
Una teringat seyum manis yang maksa dari Raziv sore itu. Pelan-pelan ia meraba
dadanya. Diam mendengarkan. Tak ada yang berubah. Berdetak biasa seperti
sebelum ia terbayang senyum itu. Berarti memang tak ada yang membuatnya
tertarik seperti yang sudah dialami Mahsa.
“Mungkin
bukan Raziv. Tapi siapa ya? Ia menggeleng. “Kenapa aku belum juga merasakan
apa-apa?” Una mengeluh pelan. “Mungkin inilah sebab kenapa aku belum juga
berjerawat, seperti Mahsa atau Mbak Upik yang katanya sudah tunangan itu,” Una
coba menyimpulkan sendiri.
“Jerawatan aja belum pernah apalagi haid!”
ucapan Mahsa ketika ngaji klasikal tiba-tiba terngiang di telinga Una. Pelan
tapi dalam.
Una membenamkan wajahnya ke dalam dua lututnya yang di tekuk. “Kenapa
aku belum juga mens ya?” ia bertanya -tanya lagi. “Sebenarnya yang mana dulu
sih, tertarik sama cowok, jerawatan, atau menstruasi?”
Makin
lama Una bukannya menemukan titik terang, atau paling tidak jadi ngantuk terus
bisa tidur, malah kepalanya kian terasa penuh saja. Ia mencoba untuk berbaring
dengan posisi terlentang. Baru tiga menit, tengkuknya terasa pegal. Ganti posisi
miring ke kiri, ia ingat kalau sunahnya kan miring ke kanan. Ganti posisi
miring ke kanan menghadap Mahsa, tiba-tiba saja kuping kanannya terasa sakit.
Terakhir Una tengkurapdengan wajah menghadap bantal.
Una
mulai berdoa, membaca surat Muawidzatain dan al -Ikhlash. Mengosongkan pikiran
dari persoalan jerawat dan kawan -kawan. Perlahan ia pun terlelap. Tapi, dalam
pikirannya yang lain secara bergantian muncul ingatannya tentang tagihan hutang
Mahsa, tagihan pembayaran kos, dan
tanggungan-tanggungan kelas akhir. Sementara nun jauh di sana Ayah tengah
terbaring tidur dengan jempol kaki yang mulai melepuh.
hembusan jerawat
wush…wush…wush
satu
“Aduh!”
Una mengaduh tertahan di depan cermin kamarnya yang selebar daun pintu. Ia
terlalu keras menekan pipinya dengan ujung jari. Lama-lama ia penasaran juga
dengan benda asing yang sepagian tadi menempel di pipi kanannya. Entah sejak
kapan, Una sendiri tidak menyadarinya. Maklum, ia tak terbiasa berurusan dengan
program rawat - merawat wajah. Tapi, tahu-tahu ketika ia mengusap wajah sewaktu
wudhu untuk shalat subuh, ada yang nyeri dan gatal kayak mau tumbuh bisul di
pipinya.
“Un, nggak ngaji?”
“Em, eh,
enggak.” Una pura-pura menyisir rambut poninya, dengan tangan mengucek-ucek
mata. Menyelamatkan bintik merah di pipinya. Pagi itu kamar Una lagi sepi,
ditinggalkan semua penghuni dengan aktivitas masing-masing. Kalau nggak ngaji
ya ke kamar mandi.
“Kamu
ngaji Qur’an di ndalem apa ngaji Bulughul
Maram?” Aniq menegaskan. Ia baru datang dari kamar mandi.
“Ngaji Bulugh. Pak Isom nggak rawuh kan?”
“Kalau
nggak rawuh, terus yang pada jongkok di depan kantor itu lagi ngaji apa?”
“Wealah. Katanya
nggak rawuh, gimana sih!”
Secepat
kilat Una meraih kerudung segitiganya dan segera melesat dengan mendekap kitab Bulughul Maram di dadanya yang rata.
Untung untuk sampai di depan kantor nggak perlu pakai sandal. Cukup numpang
lewat di depan mushala, kompleks Huruf, dan lima kotakan batu-bata yang sengaja
dipakai sebagai jembatan kaki.
“Sampai halaman
berapa, Tik?”
“Nggak
tahu, aku sudah dua hari ini nggak ngaji. Ntar aku nambal ajalah ke Uswah,” Atik malah menutup kitabnya malas.
Wah, Una
pun cuma tengak-tengok sambil membuka-buka kitab di pangkuannya. Mana duduknya
di belakang sendiri, jadi tidak jelas menangkap suara bacaan Pak Isom. Walhasil,
ia lalu megikuti langkah Atik menutup kitabnya.
“Balik ke kamar aja
yuk!”
“Malu
ah, belum waktunya lagi,” Atik menolak sambil mengamati wajah Una lekat-lekat.
“Eh, pipimu kok merah gitu?”
Ups! Una
lupa dengan tragedi di pipinya. “Tau nih. Digigit nyamuk kali. Habis tidur kok
tiba-tiba gatal.”
“Tapi kayaknya
enggak deh. Kayak jerawat gitu!”
Aduh,
Atik kok jadi peneliti mendadak gini sih. Una blingsatan. Mau bersembunyi ke
mana, ia bingung.
“Una, bisa minta tolong sebentar,” kepala Alina melongok dari pintu
kamar pengurus yang sedikit dibuka. Tepat di samping Una. “Kamu nggak ngaji
kan?”
Una menghela napas
lega. “Enggak. Ada apa ya, Mbak?”
Alina
tak menjawab, tapi berisyarat supaya Una masuk ke kamar. Una ngikut aja. Demi
menyelamatkan warna merah pipinya.
Una
celingukan di depan toko BB. Dari wajahnya tergambar jelas kalau ia sedang
was-was dan khawatir. Siapa tahu tanpa sepengetahuannya ada salah satu dari
teman-teman kamar, apalagi Mahsa, sedang mengintainya sore itu. Akhirnya
setelah dirasa aman, apalagi kebanyakan anak MTs lagi pulang ke pondok untuk
shalat atau jajan bakso di warung, ia melangkah mendekati emperan toko yang
menjual berbagai macam sabun, kosmetik, dan cologne itu.
Lima
hari yang lalu, ketika paginya ia mendapat kiriman uang lewat jasa titipan
MABUR, sebenarnya ia sudah belanja sabun mandi, sabun cuci, shampo, odol, dan
sikat gigi di toko BB bareng Mahsa. Tapi, karena ada kebutuhan yang datang
tiba-tiba dan sedang ia sembunyikan, ia pun memutuskan untuk ke toko itu lagi
seorang diri. “Kamu pulang sendiri ya, Sa. Aku mau shalat di sekolahan. Kakiku
l agi capek,” izinnya ke Mahsa pas jam istirahat. Untungnya Mahsa nggak curiga.
“Cari apa, Mbak?”
Una
tersenyum, tapi tak menjawab apa -apa. Ia malah melihat-lihat deretan botol dan
kemasan yang dipajang di etalase. Kanapa jadi banyak begitu? Pikirnya bingung.
Padahal biasanya kalau ia ke toko BB untuk membeli sabun atau shampo, deretan
berbagai merek botol dan kemasan itu seperti tidak tampak di matanya. Jadi, ia
tak pernah bingung. Bukan kenapa-napa, soalnya ia nggak pernah peduli dengan
produk -produk itu. Pakai bedak aja nggak pernah, apalagi pakai pembersih atau
pemutih wajah.
“Bisa saya bantu,
Mbak? Cari apa ya?” si penjual kembali bertanya.
Una
cengar-cengir. Bingung mau nunjuk yang mana. Ternyata nggak cuma Biore seperti
yang biasa dipakai Mahsa, tapi ada juga Ponds, Sari Ayu, Mustika Ratu,
Lifebuoy, Sulfur…
“Em…,
kalau untuk ngilangin ini bagusnya pakai yang mana, Mbak ya?” Una bertanya malu-malu,
sambil menunjuk pipinya.
Mbak itu
tersenyum. Entah mengejek atau maklum melihat Una yang begitu lugu. “Oh,
jerawat ya?”
Una
mengangguk canggung. Agak sangsi apakah di pipinya itu benar jerawat atau
bukan. Tapi, kalau mbaknya aja bisa menyimpulkan ini jerawat, berarti memang
benar kalau yang menjangkiti pipinya adalah jerawat. Una bertambah pede campur
seneng. Mendapat pengesahan dari mbaknya kalau yang ada di pipinya itu adalah
jerawat.
What, jerawat? Una jerawatan? Yang benar? Ketiban dari mana? Kok bisa?
Jangan-jangan cuma digigit nyamuk seperti yang ia bilang ke Atik, atau bekas
goresan kawat yang beberapa minggu lalu pernah membikin perih pipinya? Idih,
masak sih?
Semula
Una juga nggak yakin kalau bintik merah di pipinya itu jerawat. Tadinya ia tak
begitu ambil pusing ada yang gatal dan agak nyentil di pipinya yang sebelah
kanan. Tapi, lama -lama bukannya hilang malah semakin merekah dan nongol.
Apalagi ketika diam -diam ia menyamakan barang aneh di pipinya itu dengan
bintang -bintang yang juga menghiasi pipi Nafisah, teman sekamarnya yang duduk
di kelas VI Muallimat. Una kian yakin kalau yang muncul di pipinya itu bukan
bisul, apalagi tumor, melainkan jerawat.
Terus
terang ia girang bukan main. Rasanya ia ingin sekali berteriak - teriak, “Hore,
aku jerawatan!” Atau, bikin tulisan yang ditempelin di pipinya, “Ini jerawat
lho!” Sehingga semua teman -temannya tahu kalau
satu perubahan sudah
terjadi pada dirinya. Kalau ia sudah nggak pantas lagi dibilang anak-anak.
Kalau ia sekarang sudah bisa dilevelkan dengan ketiga teman seusianya di kamar,
Umi, Ana, dan Ilmi, meski ia belum mens seperti mereka.
Maunya sih begitu. Tapi, berhubung Una nggak pede dan malu kalau
digojlokin macam-macam, apalagi sampai dikira terjangkit jerawat cinta,
akhirnya ia memu-tuskan untuk menyembunyikan makhluk barunya itu.
Caranya, ia potong
ujung plester untuk ditutupkan ke daerah yang ia maksud, terus kalau ditanya
bilang aja kena kuku pas wudhu. Dan, ternyata tekniknya itu berhasil untuk
mengelabuhi teman -temannya, termasuk Mahsa.
“Mau
yang mahal atau yang biasa-biasa aja? Produknya juga banyak, dari sabun
pembersih wajah sampai obat jerawatnya sendiri.”
Waduh, Una tambah bingung. Tiba-tiba ia merasa menyesal nggak ngajak
Mahsa. Atau paling tidak memperhatikan produk -produk yang biasa dipakai Mahsa.
“Yang
biasa-biasa aja, Mbak,” akhirnya Mahsa menjawab dengan tegas. Bagaimana-pun ia
harus mendahulukan tunggakan bayaran kos.
Karena itu adalah kebutuhan primer. Sementara membeli pembersih wajah bagi Una
sifatnya sekunder saja. Jadi, harganya jangan sampai melebihi jatah untuk bayar
kos.
“Baru sekali
jerawatan kan?”
“Iya.”
“Pakai
sabun pembersih wajah aja. Jerawat kan gampang muncul kalau wajahnya kotor,”
jelas Mbak itu kayak sales.
“Ya udah. Kayak
punya Mahsa aja.”
“Mereknya…?”
dua
Kalau
biasanya Una bisa berduet atau bertrio mandi bareng teman - temannya, sekarang
ia memilih waktu-waktu yang sepi untuk mandi. Apa pasal? Ia kan punya aktivitas
baru, yaitu memakai sabun muka sebelum berwudhu dan menutupi jerawatnya dengan
plaster. Atau kalau pas mandi nggak memungkinkan pakai sabun muka, ia baru akan
melepas plester jerawatnya dan membersihkan mukanya di jeding tempat wudhu. Itu pun dengan melihat-lihat jangan sampai ada
salah satu dari teman kamarnya atau Mahsa yang memergokinya.
Tapi,
apesnya karena ia begitu bersabar menunggu waktu yang pas untuk merawat
mukanya, beberapa kali ia terpaksa harus ketinggalan jamaah. Jamaah subuh 2
kali, jamaah zuhur 3 kali. Ini artinya ia harus menjalani takziran jamaah
Selasa pagi sebelum kegiatan Wajib Baca Kitab. Ia bersama teman-temannya yang
senasib diarak dari depan kantor pondok sampai kamar mandi, kemudian mencuci 1
potong pakaian yang tercecer di tempat jemuran.
“Kena takzir nih ye!”
Una
menoleh, Mahsa sudah berdiri sambil senyum -senyum di samping kran tempat
nyuci.
“Ngomong-ngomong
kenapa ciiih kok sampai telat jamaah? Tumben banget gitu loh!”
Una
mendelik, “Cerewet. Sudah sana pergi!” Ia mengibas -ngibaskan cucian basah di
tangannya.
“Ih-ih, basah tau!”
Mahsa coba menghindar, tapi Una tak juga
menghentikan
aksinya. “Sudah, Un. Sudah. Eh, ngomong -ngomong kamu jadi ngum-pulin foto
untuk album alumni nggak?”
Una mengangkat bahu.
“Lho,
bukannya kamu yang diminta sama Mbak Alina untuk mengumpulkan foto teman-teman
MTs Plus?”
“Iya sih. Tapi, kalau ternyata aku jadi
nerusin sekolah di sini berarti aku bukan anak kelas akhir yang mau boyong kan?
Terus, ngapain aku ngumpulin foto untuk album alumni?”
“Kamu
sendiri pastinya gimana? Katanya seminggu lagi harus sudah terkumpul?”
Una
lagi-lagi mengangkat bahu. Problem klasik anak kelas akhir adalah mikirin mau
nerusin ke mana. Begitu kata Upik, waktu Una minta saran bagaimana kalau ia
meneruskan sekolah di sini, atau sebaliknya. Waktu itu sih Upik cuma kasih
masukan kelebihan dan kekurangan dua pilihan itu. Sementara keputusan mau milih
yang mana, cuma Una sendiri yang tahu.
Terus
terang kalau disuruh memilih, Una akan memilih boyong dengan pertimbangan tiga
tahun mondok sudahlah cukup untuk dirinya. Apalagi kalau ingat kondisi Ayah
yang semakin memprihatinkan. Dari mana ia akan dapatkan biaya untuk nerusin
mondok sambil sekolah?
Tapi,
kalau ingat tanggungan biaya anak kelas akhir, ia jadi pusing juga. Sudah harus
bayar uang ujian, masih ada iuran Muwada’ah dari sekolah, kamar, kompleks,
sampai pondok. Ceritanya kan buat konsumsi dan perlengkapan acara perpisahan
sama beli kenang -kenangan. Pusingnya lagi, sampai detik ini Una belum sempat
membicarakan masalah boyong atau tidaknya ke Ayah Ibu.
“Heh, Un. Gimana?”
Una menggeleng.
“Nggak taulah. Masih bingung.”
Mahsa
senyum-senyum sambil menatapnya penuh arti. “Ya sudah. Bingung-bingung aja
terus, sampai…,”
“Ngapa sih!” Una
heran.
“Nggak jadi ah! Yuk, aku duluan,” Mahsa membalikkan punggung dan
menjauh. Tapi ia menoleh lagi sambil tersenyum, “Un, kayaknya plester di pipimu
kok jadi lebih panjang ya…”
Ups! Una spontan meraba pipinya begitu Mahsa sudah menghilang kembali
ke kamarnya. Memang plester di pipinya lebih panjang karena subuh tadi jerawat
di pipinya sudah beranak dua.
ada titipan nih dari Mahsa,” suara Up ik
menyambut Una di depan kamar. Di tangannya terselip sebuah amplop yang
dibiarkan terbuka. “Baru saja ia ke sini ngasihkan ini.”
“Apaan, Mbak?”
“Baca aja ndiri. La taftah wala taqra’ illa bilhaqq. Gitu
katanya.”
Una
tertawa. “Kok kayak surat dari cowok aja. Biar nggak disensor Keamanan.”
Una jadi
heran. Tumben Mahsa pakai surat -suratan. Padahal setiap waktu ia kan bisa
ngomong langsung. Tadi saja barusan ketemu pas Una beli plester di warung Kang
Madi. Ada rahasia apa sih sampai harus pakai tulisan segala. Soal Raziv
lagikah? Ada apa dengan Raziv?Apa Senin pas rapat seksi Penerima Tamu ia
berhasil ketemu Raziv?
Sambil
mojok bersandarkan tumpukan bantal, Una membuka amplop di tangannya.
gara-gara plester
melekat
jerawat hebat tumbuh
di jidat
pantanganku makan
coklat
tapi dasar aku nekat
coklat kumakan
cepat-cepat
hingga aku jadi
kualat
jerawat di jidat
pindah ke pantat
jerawat di pantat
kutusuk kawat
hingga aku jadi
sekarat
tamat
“Hahaha,”
Una tergelak-gelak, sampai Upik dan teman-temannya yang kebetulan melihatnya
mendelik keheranan.
“Hahaha, puisi Mahsa
lucu!”
“Puisi apa?”
“Puisi…,”
Una melihat lagi kertas di tangannya. Tadinya ia mau bilang puisi jerawat.
Tapi, untung ia teringat kalau kalimat itu pasti akan membuat mereka jadi
penasaran. Parahnya lagi kalau mereka juga berhasil menghubungkan kalimat itu
dengan plester yang selama ini menempel di pipinya. Waduh! Apa Mahsa juga sudah
tahu ya dengan jerawat di pipiku. Una membatin.
“Puisi apa, Un?”
“Oh eh, puisi lucu
tapi nggak ada judulnya.”
“Kok bisa.”
“Ya bisa aja.”
“Coba
sih aku lihat. Jadi penasaran,” Ilmi mendekati posisi duduk Una. Waduh, Una
jadi bingung.
“Eit eh,
nggak boleh. Ini puisi tak berjudul, jadi tidak untuk ditunjukkan ke khalayak
umum. Oke! Da…!”
Dan,
buru-buru Una beranjak dari tongkrongannya, meninggalkan Ilmi yang cemberut tak
terima. Una langsung menyasar ke kamar Mahsa. Tapi, sayang sosok buruannya
sedang tak ada di kamar. Setelah menimbang - nimbang kemungkinan Mahsa pergi ke
mana, target kunjungan Una berikutnya adalah jemuran.
Kali ini
filingnya tepat. Temannya itu tampak sedang memeras cuciannya yang masih basah.
Setelah dengan susah payah ia menyisir di antara kelebatan-kelebatan jemuran
yang tampak penuh itu. Kebayang kan kalau 2000 orang santri mencuci pada waktu
yang sama, satu orang lima stel ples daleman-dalemannya?
“Itu
bukan puisiku, tapi bikinan Mbak Saodah teman kamarku,” Mahsa spontan protes
begitu Una minta konfirmasi soal apakah puisi jerawat itu buatan Mahsa atau
bukan. “Ngomong -ngomong kamu jadi tersentuh nggak baca puisi itu?” tangannya
masih asyik menjejer pakaian di rentangan kawat.
“Tersentuh apaan.
Ketawa sih iya.”
Mahsa
langsung ngakak. “Itu persis dengan keadaan kamu sekarang. Lucu dan bikin
ketawa.”
Una mikir-mikir.
“Maksud kamu?”
“Udah ngaku aja.
Yang kamu tutupi pakai plester itu jerawat kan?”
“Eh, embarangan…”
“Hayo ngaku, apa
perlu aku lepasin tuh plesternya.”
“Bener, aku…”
“Iya, kamu bohong
kan? Lagian kenapa sih pakai diumpetin segala.
Kenapa nggak tusuk
aja sekalian pakai kawat, biar pindah ke pantat.
Kualat baru tau rasa
kamu!” Mahsa menahan senyum.
Kali ini
Una terdiam sambil malu-malu. Berdalih dengan apa pun kayaknya Mahsa nggak
mungkin bisa dikelabuhi.
“Dulu, pas lulus SD aku juga pernah kok kayak
kamu gini. Abis, malu punya jerawat, masih kecil lagi. Apalagi teman -temanku
bilang kalau jerawat itu pertanda kita sudah berahi sama cowok. Padahal kan
masalahnya nggak sesempit itu,” jelas Mahsa sembari menjemur pakaiannya yang
terakhir. “Sini coba kulihat. Kayak apa sih jeraw at kamu itu. Jangan-jangan
bukan jerawat, tapi bisul!”
“Ini
benar-benar jerawat tulen,” Una protes sambil berusaha melepas plester di
pipinya.
“Sebentar,
sini aku bantu,” Mahsa segera menarik tangan Una menuju pojokan arena show
pakaian basah itu. Tempat yang aman dari mata-mata dan sinar matahari.
Una dan
Mahsa mengambil posisi duduk berhadapan. Perlahan tangan Mahsa bergerak, meraih
ujung plester dengan kuku jari telunjuk dan jempol.
“Aduh, pelan dong,
Sa. Sakit tau!”
“Ini juga udah pelan. Lagian kamu tuh kurang kerjaan banget sih.
Jerawat yang seharusnya diberi ruang bernapas, malah ditutupi kayak gini!”
“Sudah ah, jangan
cerewet!” Una mulai sebal disalah -salahin melulu.
“Biar
cerewet, yang penting kan tahu soal jerawat,” Mahsa tak mau kalah. Dan, kret!
Dengan sekali tarikan halus, plester itu berhasil diangkat. “Ya ampun, Un.
Jerawatmu kok gitu banget!”
“Gitu gimana?” Una
tampak khawatir.
“Ya lembab dan basah
gitu.”
“Jorok ya?”
“Nggak
jorok lagi, tapi goblok! Kenapa sih kamu pakai diem -dieman gini dari aku. Coba
kalau kamu bilang terus terang. Aku ini kan temanmu. Aku kan bisa njelasin
macem-macem ke kamu soal jerawat. Kalau nggak dari aku, emang kamu mau lari ke
mana? Ke Ibu kamu di Boyolali sana?” Mahsa mencak-mencak.
“Sepurane, Sa. Bukannya aku nggak lagi
menghargai kamu. Tapi kan kamu sukanya meledek gitu. Jadinya aku sudah males
duluan,” Una membela diri.
Mahsa
bersungut-sungut. Tapi, tak lama kemudian perhatiannya sudah tersedot untuk
memperhatikan jerawat Una yang ternyata
jumlahnya tidak
sesedikit yang ia kira. Parahnya lagi nggak cuma di pipi kanan, di pipi kiri
Una juga tampaknya sudah ada tanda -tanda pertumbuhan jerawat baru.
“Jumat depan ke
salon aja yuk.”
“Salon?”
Una mendelik. Menggambarkan serangkaian proses yang belum pernah ia bayangkan.
“Ya. Biar jerawatmu
gak sejorok itu. Jadi kasihan aku melihatnya.” Una mikir-mikir. “Takut ah. Aku
nggak berani.”
“Kan
sama aku. Lagian besok Jumat Ayah mau ke sini. Jadi, bisa sekalian minta
dipamitkan ke Mbah Nyai.”
“ Tapi,
Jumat aku ada Posyandu. Terus si angnya ada tugas konsumsi menemui Mbak Tami.”
“Mbak
Tami yang juru masak itu ya?” Una mengangguk. “Sama siapa?”
“Aku berempat sama
Yeni, Ainna, dan Labiq.”
Spontan
Mahsa tersenyum-senyum, “Ehem, sama Labiq ya? Bisa uji coba jerawat dong!”
“Apaan
sih. Awas ya kamu!” Una malu -malu. Refleks tangannya bergerak memburu pipi
Mahsa yang ternyata juga jerawatan.
tiga
Hari Jumat, pukul delapan pagi Una sudah siap -siap di depan kantor,
menunggu teman-temannya yang mau berkegiatan Posyandu. Wajahnya yang meski agak
kemerah-merahan, terlihat sumringah dan cerah.
Cerminan
dari hati Una yang lagi berbunga-bunga. Entah kenapa hari itu jadi terasa lain
dari biasanya. Jadi penuh warna dan berbintang -bintang. Malam, kali.
Harap
maklum. Una sudah pede tampil di depan umum dengan komunitas jerawat di kedua
pipinya. Nggak terlalu padat sih, tapi cukup menarik untuk dilihat. Apalagi
dasar kulit Una yang putih bersih. Merah sedikit aja jadi kelihatan membara.
Semua itu berkat gempuran advis dari Mahsa yang maraton dua hari dua malam.
“Kalau
kamu plesteri terus justru nggak baik buat kulit kamu. Orang jerawat itu kan
buah dari penyumbatan pori-pori kulit oleh produksi minyak yang berlebihan
sehingga ia muncul ke permukaan. Apalagi kalau kamu tutup-tutupi gitu,”
layaknya ahli kecantikan Mahsa memberikan penjelasan ke Una.
Nggak
usah heran dengan keahlian Mahsa yang satu ini. Sejak kelas I MTs ia sudah
berlangganan ke klinik skin care gitu, untuk konsultasi jerawat. Apalagi ia
memang ada jatah untuk itu dari Ayahnya tiap kali sambang ke pondok. Biasanya Ayahnya akan meminta izin ke Mbah Nyai untuk sekadar jalan-jalan ke kota
Mojokerto. Tapi, intinya ya pergi ke klinik, kalau pas jerawat Mahsa sedang
kambuh.
“Kalau
kamu rajin cuci muka dengan sabun anti acne, itu sudah benar. Tapi, kadang
cocok-cocokkan juga. Ada juga yang justru bertambah parah dengan memakai produk
tertentu.”
“Trus, gimana dong?”
Una bingung.
“Sudah, pakai aja
sabun yang sudah kamu beli itu. Cocok nggak
cocoknya belakangan
aja. Yang penting sekarang kamu harus pede gitu lho dengan pendatang seksi di
pipimu itu.”
“Seksi? Apanya yang seksi. Ada juga nyebelin.”
Mahsa mencibir,
“Tuh, baru kerasa kan gimana kalau punya jerawat.
Emang nyebelinnya
kayak gimannna?” ledek Mahsa.
Una manyun, merasa dibalas dengan komentarnya yang dulu tentang
jerawat Mahsa. Nyebelin gimana ya? Emang susah juga sih buat dijelasin. Yah,
mungkin jadi kelihatan aneh aja. Ada bintik-bintik merah di pipi. Nggak mulus.
Nggak cantik.
“Kalau kamu tetap njelek-njelekkin diri gara-gara jerawat, yang terasa
ya nyebelin gitu. Coba kalau kamu mikirnya jerawat itu suatu tanda kalau kamu
tuh bukan anak kecil lagi. Kamu sudah jadi perempuan dewasa.
Ceile. Tuh kan jadi
seksi kan?”
Seksi? Bener nih
jadi seksi…
“Duh
yang sudah siap mau Posyandu. Ke mana aja nih, kok nggak pernah ikutan!”
Una menoleh sambil
tersipu malu, “Diimbu dulu, Mbak. Biar ranum.”
“Wah,
ternyata emang bener-bener sudah ranum,” balas Zila sambil senyam-senyum,
melirik pipi Una.
Cewek
yang perasaannya lagi melambung itu cuma mesam -mesem. Dua hari ini ia sudah
terbiasa dengan lirikan -lirikan semacam itu. Jangankan lirikan, ledekan atau
komentar usil tentang perubahan di pipinya itu sudah sering ia dapatkan dari
teman -teman sekamarnya.
“Waduh,
dapet ciuman dari cowok mana neh, kok bisa jerawatan gitu?”
“Hayo,
Una. Sudah mulai kenal cowok ya. Tuh ada bintang - bintangnya…”
“Aduh mau dong
dikasih atu. Biar pipiku jadi humaira’
gitu…”
“Hoi,
santri putih kita sudah kejatuhan merah -merah di pipinya. Syukuran-syukuran…”
Wah,
pokoknya macem-macem deh komentar mereka. Dari adik kelas sampai para kakak
kelas. Tapi, yang jelas semuanya selangkah lebih dewasa dari Una. Kan sudah
pada haid alias menstruasi.
“Ayo
kita berangkat,” tiba-tiba Adawi sudah nongol bersama tiga anak buahnya yang
lain. Iswati, Hana, dan Ipung.
Una dan
Zila segera beranjak, setelah sebelumnya saling bersalaman satu sama lain.
Tradisinya emang kayak gitu. Karena seperti disebutkan dalam hadits jika dua
orang muslim bertemu lalu bersalaman, Allah akan mengampuni dosa keduanya
sebelum kedua tangan mereka lepas. Una sih asyik-asyik aja. Cuma salaman, nggak
ada susahnya. Berpahala lagi. Apalagi telapak tangan teman-teman Una itu lembut
dan halus. Hm, pakai lotion apa ya? Una membatin.
Usai
mengisi buku Keamanan tentang tujuan keluar, jam berangkat, dan rencana
kembali, Adawi menggiring anak buahnya menuju lokasi kegiatan dengan berjalan
kaki. Seumur Una tinggal di pondok, baru kali ini ia melewati gang-gang di
perkampungan Kalirandu. Sebuah pemandangan yang berbeda dari jalan yayasan yang
setiap hari ia lewati. Bersama dengan santri-santri dewasa lagi!
Huh,
rasanya Una semakin pede dengan label jerawat di pipinya. Langkahnya terlihat
begitu mantap dengan sikap tegak. Sekarang ia tak perlu lagi merasa jadi yang
paling kecil. “Kita sudah selevel, Mbak,” batin Una bangga sambil melirik Adawi
yang berjalan di sampingnya. Ternyata ada baiknya juga Una ikut Posyandu.
Selain jadi tahu lingkungan sekitar, nggak ngumpet terus-terusan di dalam
pondok. Una juga bisa uji coba wajah seksi barunya ke khalayak umum. Asal nggak
ke anak balitanya aja.
Sendirian
Una menyusuri koridor MTsN yang tampak sepi dan lengang. Seandainya boleh
memilih, siang-siang begini sebenarnya ia lebih seneng istirahat, tidur-tiduran
di kamar. Apalagi abis dari Posyandu yang ternyata cukup melelahkan. Tapi,
berhubung kebagian jatah menemui juru masak acara Muwada’ah sekolahnya, mau
tidak mau U na harus merelakan waktu istirahatnya siang itu.
Meskipun
demikian, jujur dari relung hatinya yang paling dalam, Una sangat bersyukur
bisa terekrut dalam kepanitiaan Muwada’ah di tahun kelulusannya. Paling tidak
ia bisa ngumpul bareng anak -anak MTsN dari pondok lain. Di antaranya Ima
Maryono, Nur Hasanah, Giana, Hidayatus Sholihah, dan Inung yang juga jadi seksi
konsumsi. Ditambah Fanani, Rahid, Labiq, Luqman, dan Syauqi. Kelima nama yang
terakhir ini lumayan juga untuk mengisi katalog nama-nama cowok kenalan Una,
selain Raziv.
Dan,
siang ini ia akan bertemu dengan Labiq. Cowok paling manis di antara
cowok-cowok yang jadi panitia konsumsi. Memang manis, setidaknya menurut
penilaian Una yang membandingkannya dengan Raziv. Tinggi, berisi kayak bandeng,
kuning bersih, mancung, mata tajam, rambut ikal…
“Hallo, cari siapa?”
Una
njegrak. Jerawat di pipinya berasap. Langkah jomblonya terhenti seketika.
“Hehehe, kaget ya?”
Una tertegun menatap cowok bersarung di hadapannya. Yang
dibayangkannya Labiq, tapi kenapa yang muncul lagi-lagi makhluk aneh ini?
“Hai,
hallo. Ada yang menarik?” ia merentangkan sarungnya kayak puteri kerajaan
merentangkan gaunnya kemudian merunduk tanda menghormat.
“Kok kamu? Teman-teman konsumsi pada ke mana?” Una mulai bersuara.
Agak enak didengar daripada suara hatinya: Kok pakai sarung lagi? Celana
panjangmu ke mana?
Raziv
angkat bahu, “Aku juga baru datang. Kata Labiq ada rencana menemui juru masak
gitu.”
“Ada hubungan apa
kamu sama Labiq?”
“Kami?
Em… hubungan atas bawah,” Raziv berisyarat den gan dua telapak tangan yang
diposisikan tumpang tindih dengan punggung telapak menghadap ke atas.
“Ha!”
“Kenapa?”
“Kok atas bawah
gitu?” respon Una kali ini entah jalan ke mana.
Raziv
tertawa renyah, “Ya karena seksi konsumsi ada di bawah tanggung jawab ketua
III, jadi ketika anak buah nggak bisa maka aku yang menggantikan,” dilanjutkan
dengan pamer senyum. “Kamu sendirian?”
“Enggak.
Sama kamu gitu kok!” Una mulai enjoy dengan yang horor - horor. Eh, humor-humor!
Raziv
tersenyum, dengan mata mengamati wajah Una. “Masuk yuk, daripada menunggu
teman-teman di luar.”
Una
celingukan lagi. Berduaan dengan Raziv di ruang kepanitiaan merupakan satu
kesempatan yang bisa menjadi sebuah kesalahan fatal. Kesempatan karena Una
belum pernah sendirian berhadapan dengan cowok pasca kedewasaannya. (Baca:
pasca- Una jerawatan). Sekalian uji coba kemasan baru. Dan, jadi kesalahan
fatal kalau Mahsa melihat atau ada mata-mata yang melapor.
“Sudah,
ayo masuk,” Raziv melangkah duluan, membuka pintu ruang kepanitiaan
lebar-lebar, dan duduk bersila di lantai yang berkarpet hijau.
Una masih ragu karena tarik-menarik dua sisi hatinya itu. Satu detik,
dua detik, tiga detik, hore! Una bertepuk -tepuk senang. Ternyata lomba
tarik-menarik itu dimenangkan oleh sisi hatinya yang ingin beruji coba.
Dan, bayangan wajah
Mahsa yang penuh amarah berubah jadi boneka mini mouse yang kepalanya tertutupi
helm anggar.
“Em eh,
kalau nggak salah, kamu Una kan? Temannya Mahsa yang aku pernah ketemu di ruang
kelas sendirian?” tanya Raziv tiba -tiba, begitu Una masuk dan mengambil duduk
di dekat pintu.
Una
menegang, “Bukan. Mungkin kita agak mirip aja,” jawab Una asal. Jadi, sedari
tadi ia cuma STSK. Sok tahu sok kenal. Katanya cerdas, tapi kok ke-dhabit-annya mengkhawatirkan gitu. Perlu
banyak pertemuan untuk bisa masuk memorinya.
“Oh, sepurane. Jangan salah kira gitu. Aku
cuma pingin menegaskan saja. Soalnya, …em,” Raziv mikir-mikir sambil mengamati
wajah Una. “Oh iya, aku tahu! Pantesan jadi kelihatan lain.”
Tadinya
Una belum on. Lama-lama ia pun jadi
tersipu malu, nggak jadi marah. Apalagi ketika Raziv jelas-jelas menanyakan,
“Jerawat baru ya?” Huh… rasanya Una rela banget untuk tidak marah lagi
selamanya.
“Kalau
di tempatku, di Madura sana, jerawat itu ada macam -macam lho…”
Una
mengangkat wajah. Ada bunga-bunga di setiap jerawatnya. “Sama, di tempatku
juga. Ada komedo, jerawat biasa, dan jerawat batu. Setiap jenis itu ada cara
pencegahan dan penyembuhannya sendiri - sendiri,” Una mengulang keterangan Mahsa
beberapa malam yang l alu.
“Oh ya, kalau
tempatku nggak cuma tiga macam, tapi sepuluh…” “Hu, banyak baaanget!”
Raziv
tersenyum sambil meregangkan jari-jarinya siap menghitung, “Jadi, di tempatku
ada sepuluh macam jerawat, yaitu jerawat satu, jerawat dua, jerawat tiga,
jerawat empat, jerawat lima…”
Una tertawa,
“Sialan!”
“Eh, kamu tahu nggak
bahasa Arabnya pipi penuh jerawat?”
Una
mengerutkan kening. Tiba-tiba ia jadi menyesal kenapa suka malas menghafalkan mufradat tiap pelajaran Muthala’ah. Ia menggeleng bloon.
“Kok
susah amat. Khumairo’ dong!” Raziv
tertawa senang. “Nah, kalau jerawat yang suka mondar-mandir di rumah sakit?”
Una geleng-geleng
lagi.
“Masak nggak tahu. Kan perawat,” Raziv mengerling lucu, membuat Una
tersenyum tersimpul-simpul. “Nih ada lagi, kalau bahasa jepang nya mau
jerawatan?”
Masih dengan senyumnya,
Una menggeleng nyerah.
“Yu gata-gata di
pipi he!”
Kali ini
Una tak sanggup menahan tawanya melihat ekspresi wajah Raziv yang dibikin kayak
Ajinomoto, atau nama Jepang lainnyalah, yang mendelik kayak melihat kuda pipis.
“Kayaknya
kamu juga perlu tahu bahasa Mandarinnya jerawat besar deh!” Raziv masih terus
meneror Una dengan tebakannya.
“Emang
apaan?” ucap Una di sela-sela tawanya. Matanya tampak berkaca-kaca.
“Bi Sul Lan, aduh
Nona. Haiya!”
Lagi-lagi Una tertawa, sampai ia harus berkali-kali mengusap matanya
yang berair. Sudah lama ia tak menangis lucu seperti sore ini. Kini, ia tahu
satu alasan tambahan kenapa Mahsa begitu tergila -gila sama Raziv.
Meskipun ia belum
mendengar sendiri dari Mahsa. Yah, cowok bersarun g itu doyan humor.
“Sebenarnya
masih banyak lelucon soal jerawat. Tapi melihat kamu yang tertangis-tangis
gitu, aku jadi nggak enak nih. Eh, ngomong - ngomong teman-teman kok belum ada
yang nongol ya?”
#Bila yang tertulis
untukku adalah yang terbaik untukmu… #
Tanpa menunggu jawaban Una, Raziv buru -buru meraih sesuatu dari dalam
saku bajunya. Selesai menekan tombol terima ia menyapa suara di seberang dengan
salam.
“Iya,
ada apa, Biq?” Raziv meneruskan kalimatnya sambil menatap Una yang juga
menatapnya. Ehm, saat-saat yang ternyata sanggup membuat hati Una
berdebar-debar. Beginikah rasanya beradu pandang?
“Oh,
begitu ya. Jadi, nggak Jumat ini?” Raziv diam sebentar. “Oh gitu, oke-oke. Ya.
Ya udah. Bye.”
empat
Pertemuan
tak sengaja dengan Raziv sore itu ternyata menjadi satu memori indah yang tak
terlupakan bagi Una. Dalam setiap kesempatan, misalnya, ketika membasuh muka,
memakai sabun pembersih wajah, berkaca, memakai bedak (oh Una sudah kenal
dengan bedak ya) atau mendengar kata yang berakhiran wat, seperti lewat, gawat,
kawat, cawat, ups! Pokoknya yang ada hubungannya sama watnya jerawat, banyolan
Raziv sore itu secara otomatis akan terputar lagi dalam ingatannya. Lengkap
dengan suasana hatinya yang penuh bunga.
Tapi,
Una sendiri tak habis mengerti dengan apa yang tengah dirasakannya. Yang jelas,
sejak Jumat sore itu, ia jadi suka berdebar - debar tiap kali Mahsa
menyebut-nyebut nama Raziv. Kalau biasanya ia cuma diam mendengarkan,
akhir-akhir ini ia bisa berkomentar ini dan itu. Tentu saja dengan
mengembangkan hasil pengamatannya terhadap cowok itu. Bahkan, tak jarang
komentarnya malah lebih sesuai dengan yang diinginkan Mahsa tentang sosok
Raziv. Hei, AADU ya? Alias, ada apa dengan Una?
pada mata, tatapan
senyuman, ucapan
hati
senja, jingga
bulan, bintang …
ada cinta
“Hayoo! Nulis apaan
tuh!”
Buru-buru
Una menghentikan goretan penanya dan menutup halaman buku tulis di hadapannya.
“Gak sopan Mbak Upik ini. Bikin kaget orang!”
Upik
yang datang dengan segunung jemuran kering di tangan tampak tersenyum menggoda.
“Aku tahu kok kamu nulis apa,” ucapnya sambil meletakkan bawaannya di dekat
Una. “Surat kan?”
“Enggak aja…”
“Kalau gitu… berarti puisi. Sebab hanya dua
jenis itu yang ditulis seseorang dengan menerawang ditambah melamun,” Upik
ngakak. “Yang ini bener kan? Meskipun teoriku agak ngawur?”
Una mencibir.
“Hayo,
puisi apa? Nggak biasanya kamu nulis puisi. Biasanya kan nambal kitab atau
ngerjakan PR?” Upik bertanya -tanya sambil melipati satu per satu pakaiannya.
Anak kelas akhir MAN ini emang lumayan akrab sama Una. “Atau… em lagi terjangkit
cinta ya?” Upik berdehem.
Una
lagi-lagi mencibir. “Emangnya kalau nulis puisi itu harus jatuh cinta?”
“Katanya
sih, cinta itu bisa bikin orang berpuisi. Bisa bikin yang biasa - biasa jadi
luar biasa. Bisa bikin…”
“Berdebar-debar dan
sumringah juga?”
Upik
menghentikan gerak tangannya. “Jadi benar ya?” tanyanya penuh selidik. “Siapa?
Gus dari mana? Hehehe…”
“Hus Mbak Upik ini. Kok sampai nyebut-nyebut gus segala. Aku ini bukan
Mahsa yang levelnya emang sama gawagis.
Bakatku cuma sama cowok sederhana yang ndeso tapi humoris. Gak keren tapi
pinter.
Kerempeng tapi bisa
bikin hatiku dag dig dug. Mm…”
“Ck ck
ck, pertumbuhanmu cepet banget, Un. Baru saja jerawatan, sudah langsung
tertarik sama cowok. Pinter berdiksi lagi!”
Una
tersipu-sipu. Rasanya seneng banget dipuji habis-habisan sama Upik.
“Eh, siapa nama
cowok beruntung itu?”
Una
tengak-tengok sebentar, melihat sutuasi dan kondisi. Soalnya meskipun sudah
pukul 11.00 saatnya tidur siang, masih banyak anak kamarnya yang sibuk
mondar-mandir. Setelah dirasa aman, Una bergumam pelan, “Raziv.” Saking
pelannya ia cuma menggerakkan dua bibirnya. Tanpa suara.
“Raziv?”
Upik mengulangi jawaban Una. Cewek mungil di depannya itu mengangguk. “Bukannya
dia cowok yang ditaksir sama Mahsa?”
Una
mengangguk. “Tapi, Mbak Upik jangan bilang -bilang ya. Aku nggak ada maksud
untuk merebut Raziv kok. Aku cuma kebetulan aja merasakan sesuatu sama dia. Yaqin bilqaf, Mbak. Aku cuma merasakan
saja, nggak ada
niatan yang macam -macam,” Una berwajah seperti baru saja menumpahkan susu dari
cangkirnya.
Upik tertawa lagi, “Duh Una, kok jadi merasa bersalah gitu s ih. Biasa
aja lagi. Aku juga nggak ada tuh suuzhan
apa gitu sama kamu. Aku ngerti kok kalau semua itu terjadi dengan tiba -tiba.”
“Padahal
pas pertama ketemu aku malah sempat heran dengan penampilannya yang jauh beda
gitu sama Mahsa. Aku juga heran kenapa pilihan Mahsa jatuhnya ke Raziv.”
“Ternyata…”
“Yah,
ada sesuatu yang lebih dari sekadar tampilan yang bisa membuat aku tertarik.
Mungkin Mahsa juga seperti itu. Meskipun ia seorang ning yang levelnya sama
gus.”
“Begitulah
cinta. Dinalar-nalar juga susah, karena persoalannya ada dalam rasa.”
“Emang ini cinta?”
“Yah,
sebut aja bibit-bibit cinta. Apakah ia akan tumbuh menjadi cinta atau tidak,
tergantung gimana kitanya. Mau merawat atau tidak.”
“Tapi
kalau bibit ini aku rawat, terus aku jadi beneran cinta sama Raziv…”
“Kenapa enggak,
kalau memang muaranya akan ke situ.”
“Tapi
aku merasa bersalah sama Mahsa, Mbak. Sudah menyimpan rasa sama cowok yang
ditaksirnya.”
Upik
tersenyum, “Sudah. Kamu gak perlu merasa bersalah gitu atau bahkan berusaha
melawan atau membunuh rasa itu. Biarkan saja mengalir. Ikuti alur perjalanan
rasa di hatimu,” Upik berlagak kayak psikiater. Ya, psikiater yang juga
berprofesi sebagai binatu. “Eh, ngomong-ngomong, dia gus bukan?”
“Ih Mbak
Upik, dari tadi kok gus-gusan gitu sih! Kalau dilihat dari tampangnya sih
kayaknya bukan.”
“Seandainya benar
dia seorang gus?” tanya Upik menggoda.
“Em…gimana ya?”
Upik
tersenyum-senyum, “Kamu kok serius gitu sih. Naksir cowok aja kok repot. Pakai
nggak boleh sama gus segala. Naksir ya naksir. Cinta ya cinta. Soal gus atau
bukan itu kan cuma tampilan. Tul nggak?” Upik menyentil jerawat Una pelan, lalu
beranjak sambil menggotong tumpukan rapi pakaiannya masuk ke kamar.
Meninggalkan Una yang terdiam dengan kening mengkeret. Cuma tampilan?
Mahsa yang baru datang dari ruang guru tampak tertawa senang. “Jumat
besok, panitia Penerima Tamu ada koordinasi internal di MTsN lho!”
“Oh ya,”
balas Una malas-malasan sambil menekuni buku tulis di hadapannya. Ia sudah bisa
menebak kalau selanjutnya pasti Mahsa akan ngomong soal Raziv.
“Kamu
tahu nggak? Koordinasinya sama Raziv. Ketua III kan membawahi seksi Penerima
Tamu.”
Una
pura-pura tersenyum. Tuh kan bener kan. Tiada hari tanpa menyebut nama Raziv.
Itulah Mahsa. Saking seringnya beberapa kali Una dibuat hampir kelepasan omong
soal pertemuannya sore itu dengan Raziv. Siapa sih yang gak terpancing ingin
bercerita tentang debar -debar di hatinya?
“Nulis apaan sih?”
Mahsa duduk di sebelah Una.
Una cuma
mengangkat bahu malas. Semalas pikirannya beranjak dari memikirkan aliran baru
yang tengah menjalari perasaannya.
“Hm, aku tahu. Pasti
lagi nulis jawaban surat di kolong meja kan?”
Una menggeleng, “Jadi
suratan aja belum kok!“
“Lho kamu belum jadi
nerusin usulku yang dulu?”
“Belum,” jawabnya
malas, lalu kembali meneruskan coretannya.
Mahsa
tak berkomentar lagi. Ia lebih mendekat ke samping Una. “Kamu belakangan ini
kok bete gitu sih. Ada masalah ya?”
Una
menggeleng malas, “Emboh. Rasanya gak
ada masalah, tapi kok susah!”
“Hm,
pantesan,” Mahsa mengamat-amati wajah Una, “jerawatmu bukannya berkurang, malah
semakin padat saja!”
Una
mengangkat kepalanya yang semula tergeletak malas di meja, “Iya. Tambah banyak
ya?”
“Bertambah
banyak sih enggak. Tapi semakin merekah dan besar - besar. Kalau kamu stres
terus-terusan, dijamin akan semakin membuka kemungkinan jerawatmu berkembang
liar.”
Una
termangu diam. Membenarkan ucapan Mahsa barusan, seperti pernah juga diucapkan
oleh Upik. Tapi, gimana nggak stres kalau ia harus memendam dalam-dalam
pengalaman pertamanya dikenal, ndaeng
dan bisa guyon sama cowok? Apalagi sampai ada yang mendayu -dayu di hatinya.
Padahal biasanya, papasan sama anak pondok putera aja ia sudah heboh bercerita.
Ke siapa lagi kalau bukan ke Mahsa. Atau diajak ngobrol sama Pak Mustafid, si
duku di MTs Plus yang ngaja r Khot Imla’. Tahu duku kan? Duda Kurus.
Masalahnya
sekarang kalau ia mau berbagi perasaan ke Mahsa, besar kemungkinan temannya itu
akan cemburu berat. Apalagi kalau Mahsa mendengar bagaimana serunya Raziv
mbanyol soal jerawat. Itu sama saja dengan mengatakan kalau jerawat Una lumayan
menarik di mata Raziv. Sementara Mahsa yang selama ini berjerawat belum pernah
mendapat perlakuan sedemikian rupa dari cowok Madura itu. Hm, Una bisa
membayangkan bagaimana gambaran murka Mahsa karena sudah kalah satu langkah dalam
hal jerawat dari dirinya.
Walhasil
karena pertimbangan itu Una paling -paling cuma cerita kalau rencana menemui
Mbak Tami Jumat sore itu belum jadi. Soalnya kebetulan Yeni dan Labiq yang
bertindak sebagai koordinator konsumsi puteri dan putera dipanggil orang tua masing-masing. Dan untungnya, Mahsa langsung
paham dan tidak menginterogasinya dengan banyak pertanyaan.
“Un, aku
ada ide bagus nih soal perkembangbiakan jerawat di pipimu itu,” Mahsa tiba-tiba
memecah kesunyian. Siang itu suasana di kelas mereka memang sudah mulai sepi.
Pelajaran terakhir sebelum istirahat kosong. Jadinya anak-anak langsung bisa ngabur, dengan maksud dan rencana
masing-masing.
“Ide apaan?” Una
kembali mengangkat kepala dengan gaya antusias.
“Ke salon aja yuk?”
“Mbersihin jerawat
seperti saranmu yang dulu?”
“Ya iyalah. Biar
enak dilihat gitu.”
“Mm, tapi gimana ya?
Sayang…”
“Kok sayang?”
“Ini kan jerawat
pertamaku…”
“Terus mau kamu
museumkan gitu??”
“Ya enggak gitu sih. Tapi…,” Una buru-buru
menahan mulutnya untuk tidak mengatakan kalau jerawat di pipinya itu ternyata
sudah berjasa membuat dirinya kenal dan bisa ngbrol akrab dengan Raziv.. Jadi,
rasanya sayang gitu kalau harus dibumi -hanguskan. Seandainya bisa diambil satu
untuk diawetkan…
“Tapi apa?” Mahsa
menyelidik.
“Kan
mahal kalau ke salon,” Una berhasil mendapatkan alasan yang lain.
“Mahalnya
nggak seberapa kok. Daripada wajahmu jadi penuh gitu,” Mahsa meyakinkan.
“Sudah, nanti separonya aku yang bayarin. Bagaimana?”
lima
Beginilah
enaknya berteman sama Mahsa. Gampangan dan care
sama teman. Apalagi dasarnya Mahsa memang berfasilitas lengkap. Sampai - sampai
Una jadi merasa banyak berhutang budi sama temannya itu.
Pukul
07.00 Ayah Mahsa sudah siap menunggu di ndalem. Kebetulan semalam ia ada
ceramah di Jombang, jadi bisa memenuhi permintaan anaknya untuk mampir ke
pondok. Untuk memintakan izin ke kota sama Mbah Nyai. Tapi, berhubung hari itu
hari Selasa, bukan hari libur kegiatan, proses izinnya ternyata cukup alot.
Kalau Mahsa dan Una pergi ke kota berarti mereka mbolos ngaji dan kegiatan
Wajib Baca Kitab.
“Kate ngopo nang Mojokerto, mejeng tah?” Mbah Nyai sempat berseloroh
sebelum Ayah Mahsa menjelaskan panjang lebar alasan kepergian mereka pagi itu.
Di antaranya untuk memeriksakan kondisi wajah Una yang kelihatan padat itu.
“Iya-iya.
Sebenarnya Mbah tidak bermaksud untuk melarang kalian pergi ke sini dan ke situ
kecuali ditemani wali. Mbah cuma ingin membiasakan kalian untuk hidup
sederhana, terbiasa memilah -milah mana yang penting dan tidak untuk hidup
kalian. Soalnya kalau tidak ada rem yang berupa peraturan, mesti koen-koen setiap hari gaweane nang Mojokerto. Onok wae alesane. Iyo ta igak?”
Mahsa
dan Una tersenyum sambil menunduk. Pikiran mereka campur aduk, antara
mengiyakan, tersindir, dan gak sabar ingin cepat sampai ke kota. Untunglah Mbah
Nyai segera mengulurkan tangan, usai Ayah Mahsa sekalian mohon pamit. Mereka
jadi juga ke salon, meskipun dengan batasan waktu sebelum zuhur harus sudah
sampai pondok.
Jarak pondok dengan kota kalau ditempuh dengan becak ada sekitar tiga
puluh menit. Berarti kalau pakai mobil Ayah Mahsa, bisa lebih cepat dari itu.
Mobil Honda Jazz warna merah menyala yang AC -nya bikin Una enggan untuk
keluar. Kalau dihitung -hitung ini untuk ketiga kalinya Una nebeng mobil
berplat L itu ke Mojokerto, barengan Mahsa dan ayahnya.
“Ayah
nggak bisa nungguin kalian sampai selesai ya. Nanti kalian pulang naik becak
aja. Tapi ingat, jangan melebihi batas waktu. Kalian
harus
sekolah,” pesan Ayah Mahsa begitu mereka berhenti di depan Nastiti Beauty and
Skin Care.
Mahsa
dan Una mengangguk sumringah, dan segera melenggang ke bagian resepsionis untuk
mendaftar. Syukurlah pasien pagi itu tidak terlalu banyak, jadi tidak perlu
antri. Dalam setiap gerak -gerik, Una selalu memosisikan di belakang Mahsa. Ia
tak berkata apa -apa. Sesekali ia hanya mengangguk ketika mbaknya yang cantik
itu menjelaskan maksud Mahsa dan meminta tanggapannya.
Sekarang
Una dan Mahsa sudah dibawa ke tempat perawatan, berupa ruang-ruang bersekat
yang terbuka menghadap taman yang sejuk dan hijau. Suara air terdengar
menggemericik mengalir di kanal -kanal kecil. Airnya yang bening membuat
transparan warna ikan -ikan hias yang berenang ke sana ke mari. Di setiap
sudut, pandangan Mahsa dan Una dimanjakan oleh berwarna-warni bunga mawar dan
anggrek.
Beberapa
menit berikutnya, dengan posisi duduk bersandar dan kepala diposisikan pada
tempatnya, Una sudah diservis layaknya motor oleh mekanik Nastiti yang lembut
dan ramah. Sementara Mahsa duduk di sebelah Una sambil melihat-lihat majalah
yang isinya cuma perempuan-perempuan cantik.
Rasa-rasanya
baru sekali ini Una diperlakukan kayak puteri keraton. Mengikuti serangkaiam
perawatan wajah untuk membersihkan jerawat yang dulu hanya bisa ia bayangkan
dari sedikit cerita Mahsa. Dari sekadar wajahnya dibersihkan dengan sabun tolak
jerawat lalu dibilas dengan air hangat, sampai wajahnya diuapi dengan Rempah
Uap yang katanya mengandung daun sirih dan berkhasiat untuk mencegah peradangan
serta memudahkan pengeluaran lemak-lemak dan jerawat yang sudah matang.
Namanya
juga diuapi, rasanya memang gerah. Tapi, setelah penguapan itu dan usai wajah
Una dibersihkan, tahap berikutnya adalah pemakaian masker jerawat yang rasanya
adem ples ayem. Pas proses ini Una hampir-hampir tertidur pulas kalau saja
Mahsa tidak berteriak -teriak keras membangunkannya.
“Ngantuk
ya, Mbak,” mbak mekanik salon yang bernama Lina itu sudah kembali dengan
senyumnya yang ramah. “Santai aja, kita sudah hampir selesai kok. Tinggal
membersihkan sisa masker dan jerawat.”
“Dipencet ya, Mbak?”
“Enggak. Cuma dibersihin sama dikasih lotion
antijerawat aja kok.”
Una
bernapas lega, apalagi ketika Lina sudah selesai dengan pekerjaannya dan
meminta Una untuk menunggu kering sebentar. Setelah itu barulah ia dan Mahsa
boleh pulang.
“Di sini
nyaman banget ya, Sa. Rasa-rasanya semua jerawat di pipiku hilang seketika,”
Una tersenyum sambil menengok ke kanan dan ke kiri dengan takjub.
Mahsa
mencibir lucu, “Maunya sih, punya tempat tinggal kayak gini. Apalagi punya
perawat yang bisa menyervis jerawat kita…”
“Hihihi…,” tiba-tiba Una tertawa geli. “Berarti tebakan Raziv kurang
lengkap ya. Harusnya kan jerawat apa yang suka mondar -mandir di rumah sakit
dan di klinik Beauty and Skin Care?”
Mahsa
tercekat, senyumnya mengkeret. “Tebakan Raziv? Tebakan yang mana?!”
“Oh eh,”
Una spontan cengar-cengir, “teb…tebakan tentang jerawat,” jawab Una dengan
suara seperti santri puteri yang kepergok meng-ghashab sandal Bu Nyai. Dalam hati ia meruntuk habis -habisan
lidahnya yang kelepasan. Benar-benar gawat.
“Kapan
kamu tebak-tebakan sama Raziv?” Mahsa mulai menginterogasi.
“Em, pas Jum’at
itu…” “Jumat kapan? Pas kita rapat iuran itu?” sekarang kening Mahsa yang
mengkeret. “Kamu kan belum jerawatan?”
“Bukan. Tapi Jumat
pas …”
Mau
tidak mau Una pun membeberkan detil pertemuan dan pembicaraannya sore itu
dengan Raziv. Kenangan yang lucu dan menyenangkan bagi Una, tapi cerita yang
sakit dan memekakkan bagi telinga Mahsa. Meskipun usai cerita Mahsa masih
bersikap biasa, Una bisa menangkap sesuatu yang lain dari sorot matanya. Dingin
dan beku.
“Yuk
pulang, sudah jam sebelas,” ajak Mahsa singkat. Tanpa menunggu Una beranjak, ia
melangkah duluan keluar ruangan. Rasa nyaman yang baru saja dirasakan Una tiba
-tiba menguap seketika. Apalagi ketika Lina menawarkan Jamu Jerawat yang
mengandung temulawak, sambiloto, dan pegagan yang berfungsi untuk mencegah
timbulnya jerawat, dan Mahsa menjawab ketus, “Gak perlu!” Duh, rasa -
rasanya pandangan
Una mendadak kabur, sampai -sampai Nastiti Beauty and Skin Care yang nyaman itu
di matanya jadi penuh oleh jerawat.
Sambil
tengkurap Una menelungkupkan wajahnya ke bantal, tak kuasa menanggung beban
penyesalannya yang berjubelan menyesaki perasaannya. Pertama, ia menyesal sudah
pergi ke salon karena ternyata, justru dari tempat itulah persahabatannya
dengan Mahsa kemudian terancam bubar.
Kedua,
ia menyesal tidak mengindahkan pesan Mbah Nyai untuk belajar hidup sederhana
dan mendahulukan mana yang lebih penting daripada yang lain. Karena ternyata,
gara-gara ke salon ia harus kasbon ke Mahsa 150.000. Padahal ia masih belum
tahu akan dapat kiriman berapa bulan ini.
Ketiga,
ia menyesal kenapa tidak cerita terus terang ke Mahsa soal pertemuannya dengan
Raziv. Karena apa pun reaksi Mahsa saat ia cerita mungkin tidak akan separah
reaksi Mahsa sekarang. Bisa -bisa saat ini Mahsa semakin yakin kalau Una ada
perasaan sama Raziv. Sampai harus rahasia-rahasiaan segala.
Una
menitikkan air mata tapi tanpa suara. Mengingat mushala yang menjadi ruang
tidurnya masih terang dan ramai oleh celoteh para santri yang belum juga
beranjak ke alam mimpi. Rasanya ia menjadi satu-satunya manusia yang penuh duka
nestapa, tanpa seorang pun yang mau peduli. Malam ini adalah malam kedua ia
pisah ranjang sama Mahsa, buntut dari ketegangan di salon Nastiti. Sepertinya
Mahsa belum bisa memaafkan ketertutupannya soal pertemuannya dengan Raziv waktu
itu. Sedemikian berdosakah diri Una?
“Hiks…hiks…hiks…,” kali ini Una sudah terisak -isak mengadu pada
bantalnya yang berbaju biru tua. Rekaman dialognya sama Mahsa ketika takrar kembali berputar dalam
ingatannya.
“Aku
benar-benar minta maaf, Sa. Aku nggak ada maksud untuk menjadi tanaman makan
pagar apalagi pengkhianat…”
“Pagar makan tanaman
maksudmu?”
Una
mikir-mikir, “Iya. Maksudku itu. Aku cuma mau menjaga perasaanmu! Daripada kamu
jadi sakit hati dan sedih gara -gara ceritaku mending aku simpan aja, dan aku
anggap tak pernah terjadi.”
“Tapi kan kita sudah bikin kesepakatan kalau
di antara kita nggak ada yang perlu dirahasiakan. Kamu ingat nggak sih!” Mahsa
memekik. “Kalau ternyata kamu justru merahasiakan, bukannya ini malah memancing
kecurigaanku?”
“Ya ampun, Sa! Kamu
curiga apalagi sama aku?”
“Pertemuan
itu pasti spesial banget kan buat kamu. Kamu ada rasa kan sama Raziv?”
Una mendelik. Ternyata
kekhawatirannya terbukti.
“Benar kan?”
“Ya ampun, Sa!”
“Kalau
gak ada apa-apa, enggak mungkin sebentar aja kamu bisa akrab gitu sama dia.
Pakai guyonan soal jerawat lagi!” Mahsa terbakar api cemburu.
“Itu nggak aku
sengaja! Kamu ngerti dikit dong!”
“Ya kamu itu yang harusnya ngertiin perasaanku! Harusnya kamu
menghindar atau gimana kek biar tidak ada guyonan yang memancing kayak gitu.
Malah sebenarnya kalau mau, kamu kan bisa ngobrol sama Raziv tentang aku!”
Una melongo. Heran
campur bingung. “Kamu kok aneh gitu sih!”
Mahsa
tersenyum sinis, “Ya kayak gini ini kalo ngomong sa ma orang yang belum pernah
merasakan cinta!”
Desk!
Serasa ada yang menghantam ulu hati Una. Dan, baru kali itu Mahsa melakukannya.
Una menunduk.
“Kamu harusnya tahu kalau Raziv itu seibarat kitab sudah aku kasih
stempel Belong to Mahsa! Atau: Al-mustahiqqah hadzal amrad al-haqirah al-faqirah ila rahmati rabbiha Mahsa .”
Una
membisu. Hanya menatap Mahsa yang sejak kepulangan dari salon itu tak pernah
sekali pun mau menyapa atau mengajaknya bicara.
“Ziv
Nasim itu lora, gus. Makanya dipanggil Raziv. Jadi, pant aslah kalau aku
mbela-mbelain Raziv untuk tidak kamu dekati. Harusnya kamu tahu sendiri kan
kenapa?”
Una
tetap membisu. Tapi, ia perlahan menunduk. Berusaha menyembunyikan perubahan
rona pada mukanya. Ucapan Mahsa kali ini terasa lebih kuat menghantam ulu
hatinya. Hingga tanpa terasa matanya mulai berkaca-kaca.
enam
“Dorrr!”
Sebuah tepukan keras membuat Una spontan tersentak. Jantungnya terasa
mau copot saking kagetnya. Dadanya saja sampai berdebar -debar hebat.
“Hehehe. Kaget ya…”
Una diam
saja. Tak peduli. Menoleh ke sumber suara pun tidak. Pertama, karena masih
berusaha meredakan rasa kagetnya. Kedua, karena komentar Umi yang terdengar
begitu tidak bermutu di telinganya justru menyulut rasa marahnya. Ketiga,
karena rasa jengkel da n marah yang tiba-tiba memuncak dalam benaknya.
Benar-benar marah. Hrrrgh! Rasanya Una ingin sekali membalasnya dengan teriakan
yang lebih keras. Lebih memekakkan. Biar teman satu kamarnya itu njumbul,
bahkan pingsan sekalian saking kagetnya.
“Duh, marah ya?”
“Hegh,”
Una menarik napas panas. Dan, cres! Ia menoleh ke arah Umi dengan tatapan
setajam taring harimau yang lagi marah. “Nyebelin banget, tahu nggak sih!”
Umi
cengar-cengir. Oo, maksud hati ingin bercanda, ternyata Una -nya lagi off.
Sebagai langkah alternatif buru-buru ia berkata, “Sepurane ya, Un.”
“Lihat-lihat
dong kalau mau guyonan. Untung aku nggak punya penyakit jantung,” Una bersungut
-sungut.
“Sekali
lagi maaf. Aku sebenarnya cuma mau nyampein pesan dari Mbak Adawi. Katanya kamu
sudah ditunggu tuh di depan kantor. Posyandu.”
Una tak
berkomentar. Tapi, posisi bibir atasnya masih njungkir. Setelah menutup buku
tulisnya dan menumpuknya bersama buku - bukunya yang lain di atas dampar, ia melenggang begitu saja
meninggalkan Umi yang tampak heran dan bingung. “Una apa bukan ya? Kok jadi
harimau gitu?” gumamnya pelan.
Untungnya
Una tak menoleh ke belakang lagi. Soalnya kalau menoleh, urusannya akan jadi
lebih panjang dan bisa -bisa malah akan menambah daftar masalah yang sekarang ini
tengah membebani pikirannya.
Yah, Una
lagi bete. Jadi, jangan heran kalau ia gampang ghadhab hanya karena kesenggol ujung rambutnya. Ia jadi serius dan
sering banyak diam. Nggak pernah ngomong, kecuali yang penting -penting saja.
Nggak pernah tersenyum kecuali kalau pas gosok gigi. Nggak pernah berlama-lama
di kamar kecuali ada rapat atau lagi piket kebersihan. Pokoknya Una benar-benar
sudah menjadi gunung berapi yang sudah berasap dan sewaktu-waktu bakal meletus.
“Lho kok belum
dandan, Un? Mau ikut Posyandu nggak?”
Una menggeleng
sambil terduduk lesu di teras kantor.
“Lagi nggak enak bodi
ya?”
Una mengangguk. “Absen
lagi nggak papa kan, Mbak?”
“Ya, nggak papa.
Daripada kenapa-napa. Ya udah ya, aku duluan.”
Adawi
tersenyum sebelum kemudian memimpin anak buahnya keluar dari pintu gerbang. Una
masih duduk terpaku di depan kantor. Mengamati lalu lalang para santri dengan
gerak langkah aktivitas masing - masing. Jumat pagi kayak gini biasanya mereka
lebih banyak disibukkan dengan kegiatan ekstra. Entah kursus atau rapat di
sekolahan.
Selain
Posyandu, sebenarnya pagi itu Una ada agenda untuk menemui Mbak Tami bareng
tiga teman tim konsumsinya. Menggantikan Jumat lalu yang belum jadi. Tapi,
lagi-lagi mood-nya sudah turun. Ia
sudah enggan dengan tugas-tugas itu, dengan hal-hal yang buntutnya malah akan
membuat dirinya sakit hati seperti sekarang ini. Padahal siapa tahu nanti ia
bakal berjumpa lagi dengan Raziv, dan cerita indah jerawat itu akan terulang.
Ah, kapan ya bisa ketemu Raziv lagi? Una bergumam dalam hati.
Beberapa
malam terakhir ia memang semakin susah tidur. Mikirin kemarahan Mahsa, iya.
Mikirin keuangannya yang mepet, iya. Mana enggak bisa pinjam sama Mahsa lagi.
Dan, yang terakhir rasa kangennya sama Raziv. Akhirnya ia bisa merasakan kangen
itu meski waktunya sedang tidap tepat…
“Katanya sih Una
lagi males…”
Mendengar
namanya disebut, Una spontan memutar kepalanya menuju ke asal suara. Hegh! Ia
tercekat seperti pencuri melihat polisi. Kalau saja bisa, ia mau buru-buru
menghindar. Tapi terlambat.
“Nah, itu Una!” Farah berseru sambil menghambur ke tempat Una. “Ini
Un, Mahsa nanya, kenapa kamu nggak jadi ikut nemui Mbak Tami. Tapi bener nih,
kamu nggak mau berangkat?”
Una cuma
menggeleng dingin. Sementara Mahsa pura -pura tak melihatnya. Cuek dan beku.
“Ada pesan-pesan apa
gitu…”
Lagi-lagi
Una cuma menggeleng malas. Sama seperti Mahsa yang saat itu tengah berdiri di
belakang Farah, pandangannya juga mengarah ke mana-mana. Ke dinding kantor,
langit-langit teras, papan mading, bentangan koran yang terpampang, bahkan ke
genteng kompleks Tinta yang berlantai dua itu.
Farah
yang memang tidak tahu apa-apa malah meneruskan, “Kebetulan Mahsa juga ada
rapat internal Penerima Tamu. Jadi, kita bisa berangkat barengan.”
Una cuma
mengangguk, lalu buru-buru berdiri, “Ya udah. Aku ke perpus dulu ya.”
Dan,
klebat. Una segera berlalu dari hadapan Farah dan Mahsa dengan gundukan rasa
berat dan jengah.
Aksi
saling diam antara Mahsa dan Una memang terus berlanjut. Sejak pertengkaran
hebat itu, Una tak pernah lagi berhubungan dengan Mahsa. Apalagi Mahsa memang
sengaja diam dan tak ambil peduli. Kalau di sekolah, Mahsa lebih suka bergabung
bareng teman -teman bangku sebelah, dan baru kembali ke dekat Una ketika
pelajaran akan dimulai. Itu pun pura-pura sibuk dengan bacaan atau coretan, tak
memberi kesempatan buat Una untuk sekadar ngobrol.
Kalau
biasanya setiap ngaji klasikal mereka duduk berdampingan, sekarang Mahsa
sengaja mengambil duduk dekat -dekat dengan teman satu klasikalnya yang lain.
Begitu pun ketika takror, mereka tak pernah berdekatan lagi. Jangankan asyik
ngobrol seperti yang biasa mereka lakukan menjelang tidur, papasan di jalan aja
tak pernah saling menyapa.
Merasa
dicuekin Mahsa, Una pun tak mau kalah. Kalau sebelumnya ia sempat berusaha
mendekati dan meminta maaf sama Mahsa. Sekarang, no way. “Kalau dia bisa kayak gitu, aku juga bisa. Aku akan
tunjukkan kalau tanpa dia pun aku tetap hidup,” tekad Una sengit. Benar -benar
sengit.
Tapi, buntutnya kemudian Una malah jadi sering kemrungsung. Jadi
uring-uringan. Jadi tidak tenang dan panas. Tentu saja kondisi ini sangat tidak
baik untuk kesehatan jerawatnya. What?
Ternyata perawatan salon yang beberapa jam itu tidak benar-benar ampuh untuk
mengusir jerawat di pipinya. Bintik-bintik merah itu tetap saja bercokol dengan
leluasa.
“Mungkin
karena perawatannya tidak total. Cuma setengah-setengah,” Una coba menyimpulkan
sendiri. Tapi, kalau harus ke salon lagi, sepertinya juga tidak mungkin.
Hubungannya dengan Mahsa tidak sebaik dulu lagi. Padahal ia punya andil besar
mempromotori keberangkatan Una ke salon. Akhirnya, Una pun harus menghalau
jauh-jauh kemungkinannya untuk balik ke salon. Ia lebih memilih untuk tetap
membersihkan wajahnya dengan sabun anti
acne, meskipun dari hari ke hari tak juga ada perubahan.
“Un, sini! Lihat
ini!”
Una yang
semula berniat langsung balik ke kamar usai ngaji Bulughul Maram pagi itu,
berbelok langkah mendekati Ana yang berdiri menghadap koran dinding. Selain anak satu kamarnya itu, ada beberapa santri
lain yang tampak asyik mengerubungi media cetak itu.
“Nih,
ada artikel buah-buahan pengusir jerawat,” lanjut anak kelas III MTsN itu
antusias. “Kamu semalam nanyain kan?”
“Mana-mana,”
jawab Una tak kalah antusias. Saat itu, untuk pertama kalinya ia bisa tersenyum
lagi. Setelah beberapa hari ia sempat terlupa bagaimana caranya untuk
tersenyum. Ternyata untuk mendapatkan ramuan tolak jerawat, sebenarnya ia tak
perlu seharian suntuk berkutat di perpustakaan seperti yang dilakukannya
kemarin Jumat. Menyisir satu per satu bacaan yang ada kaitannya dengan
perawatan wajah.
Oho,
melegakan sekali. Karena tulisan itu sudah terpampang di hadapannya. Ternyata
nggak serumit yang ia bayangkan. Cuma dibersihkan, terus digosok pelan-pelan
dengan berbagai buah yang ditawarkan. Ada mentimun, blimbing wuluh, tomat, juga
jeruk nipis.
“Rasanya perih lho,
Un.”
“Kamu pernah nyoba?”
Ana
mengangguk, “Pakai jeruk nipis. Tapi, manjur juga kok. Beberapa hari berikutnya
jerawatku sembuh. Yang pasti sih, kamu jangan suka mencetin sembarangan.
Soalnya bisa infeksi.”
“Oh ya,”
Una semakin tertarik. Dalam benakny a ia membayangkan bagaimana Mahsa akan jadi
terheran -heran melihat pipinya yang kembali mulus tanpa jerawat. Tanpa harus
ke salon, tanpa harus ada campur tangan dirinya. Cukup dengan jeruk nipis. “Kamu
beli jeruk nipisnya di mana?”
“Di Wak
Jamu. Tapi, kamu pesen dulu. Baru besok sorenya bisa kamu ambil.”
Una
mengangguk-angguk dan semakin lebar memamerkan senyum.
tujuh
Suara
anak-anak kamar Pena 4 yang akan berangkat sekolah siang itu terdengar gaduh
dan riuh di telinga Una. Dari sekadar suara -suara senandung lagu yang nggak
jelas judulnya, sampai suara teriakan - teriakan sewot gara-gara sudah
ditinggal duluan sama temannya. Apalagi posisi kamar Una memang menghadap jalan
setapak yang biasa dilewati anak-anak kompleks Kalimat. Jadi, semakin
lengkaplah suasana sibuk siang itu oleh suara gemeruduk langkah kaki yang
terburu -buru.
“Nggak sekolah, Un?”
Una meringis, “Tahu
nih. Perutku rasanya melilit-lilit.”
“Telat
makan ya,” Upik yang baru mau mandi ikutan nimbrung. Ia terlihat santai
dibanding anak kamar Pena 4 yang lain. Biasa, anak kelas akhir suka begitu.
“Enggak kok. Ini
sudah dari semalam.”
“Sudah minum obat?”
Una menggeleng. “Ntar
juga baikan sendiri.”
“Terus,
gimana? Kamu sekolah nggak?” Umi menegaskan lagi. “Kalau enggak, ntar aku
beliian surat izin sekalian ke kantor, biar dibawa sama teman kelasmu.”
Una
bingung. Sekolah nggak ya. Kalau nggak sekolah ia kan bisa istirahat, sambil
meredakan rasa melilit di perutnya. Sekalian meneruskan pemakaian jeruk nipis
di wajahnya yang sudah ia mulai dari semalam. Tapi, hari ini jadwalnya Nahwu
yang katanya mau ulangan. Untuk menambah nilai harian. Kalau izin sakit,
berarti ia nggak bisa ikut ulangan. Terus bagaimana nasib nilai hariannya
besok?
“Gimana,
Un?” Umi sudah siap dengan seragam sekolahnya. Bahkan, tinggal pakai sepatu
lalu berangkat.
“Aku
berangkat sekolah ajalah. Lagian cuma melilit!” jawabnya sambil beranjak
mendekati almarinya yang ada di deretan bawah. Di kamar Una ada tiga almari
besar yang masing -masing menghadap ke barat, utara, dan timur. Setiap almari
terdiri atas sepuluh kotak yang berpintu. Lima di deretan atas, dan lima di
deretan bawah.
“Cepetan ya, Un!”
“Cepetan?”
Una urung membuka pintu almarinya. Ucapan Umi barusan terdengar seperti
memerintah, dan ini membuat hatinya terusik. “Ya sudah, sana duluan. Lagian
siapa yang minta ditunggui!” lanjutnya sewot.
Umi
tercekat. Oo, salah ucap lagi dia. Meski suer, ia tak bermaksud apa-apa dengan
ucapannya barusan. “Iya-iya, aku duluan. Biasah
wae to, ra usah nganggo nesu,”
balas cah Jogja itu kalem, kemudian tanpa peduli pada reaksi Una, ia buru-buru memakai sepatunya dan berlalu.
Una diam
cemberut. Beberapa pasang mata yang masih sibuk berdandan di kamar pura-pura
tak melihatnya. Awas, lagi panas. Begitu pikir mereka. Lagian sudah nggak ada
waktu lagi untuk ngurusi yang panas-panas. Bisa-bisa ketinggalan yang panas-panas.
Eh, jam pertama maksudnya.
Untungnya
Una juga sudah mandi sebelum jamaah zuhur tadi. Jadi, biar tidak terlambat, ia
tinggal cepat-cepat memakai seragam putih-putihnya, kemudian segera berangkat
dengan beberapa buku catatan dan buku mata pelajaran hari itu yang didekap di
dadanya. Untuk ke sekolah, ia memang tidak pernah membawa tas, seperti juga
kebanyakan temannya yang lain.
Tapi,
secepat-cepatnya langkah Una dengan span panjang yang sempit, ternyata ia harus
terlambat juga. Meskipun ia tidak sendirian. Siang itu, ada lima orang temannya
dari Pondok Muna yang masuk kelas setelah lima menit Bu Lilik memulai
pelajaran. Katanya sih ketika ditanya oleh ustadzah Nahwu itu, diesel pondok
mereka sedang rusak. Jadi, mandinya harus ngungsi ke ndalem dan harus antri
lebih panjang dari biasanya. Entah benar entah tidak, yang penting Una jadi banyak
teman yang sama-sama telat.
“Seperti
sudah saya beritahukan minggu yang lalu, hari ini kita ulangan…”
“Huuu,”
serempak anak-anak kelas III MTs Plus itu ambil suara. Kecuali Una. Bukannya
mempersiapkan kertas kosong untuk menulis jawaban Nahwu yang sebentar lagi akan
didiktekan Bu Lilik, ia malah sibuk mengedarkan pandangan ke segala penjuru
ruangan. Kepalanya tolah-toleh, menelisik baris
demi baris deretan tempat duduk yang memenuhi
kelasnya. Mencari-cari ke mana pindahnya sosok yang biasanya duduk di
sebelahnya. Where are you, Mahsa?
“Nih ada undangan.
Ceking akhir panitia Muwada’ah hari Jumat.”
Sebuah suara dingin
memaksa Una untuk mendongakkan kepalanya.
Cres! Ada yang
berdesir ketika matanya beradu pandang dengan tatapa n
Mahsa. Bu Lilik baru
keluar dari ruang kelasnya beberapa detik yang lalu.
“Makasih,”
jawabnya pelan. Rasa melilit di perutnya tiba -tiba kembali datang.
Mahsa
yang sudah berpindah duduk ke barisan nomor tiga bersama Fila itu cuma
melengos. Ia bersiap -siap untuk kembali ke bangkunya ketika tiba-tiba Una
berkata lagi, “Oh ya, ini aku mau mengembalikan uangmu yang aku pinjam. Tapi,
sisanya bulan depan,” Una menunduk malu.
Mahsa
cuma diam, menatap selembaran uang ratusan ribu yang disodorkan Una ke
hadapannya. Seandainya tidak sedang berseteru, tadinya Una berniat akan
mengembalikan uang itu bulan depan. Karena dari kiriman Ayah sehari yang lalu,
ia hanya punya uang sisa 150.000 setelah yang 650.000 ia pakai untuk melunasi
biaya ujian, iuran Muwada’ah, dan bayar kos.
Walhasil sekarang ia cuma mengantongi 50.000. Cukup nggak ya buat sebulan?
“Ambil aja buat
kamu. Aku sudah lupa dengan hutang salon itu kok!”
Una
melengos, hatinya kembali terusik. “Ya gak bisa gitu. Kalau kamu gak mau nerima
uang ini, sama saja kamu ngenyek
aku!”
“Ngenyek gimana…”
“Miskin-miskin gini
aku bisa kok bayar hutangku!”
Mahsa
menarik napas jengah. “Sudah sih, Un. Ambil aja kenapa? Aku ikhlas kok. Beres
kan.”
“Kamu
sengaja ya bikin aku merasa rendah?” Una tiba-tiba merasa pusing. Tapi, syukurlah
ia masih ingat kalau bertengkar di dalam kelas saat itu sangat tidak baik untuk
kesehatan citranya di mata teman -teman kelas. Maka, secepat kilat ia pun
menyeret paksa lengan Mahsa, membuka telapak tangannya untuk menerima uang
kertas ratusan itu, kemudian membawanya menuju toilet MTs Plus.
“Kamu apa-apaan
sih…”
“Kamu
yang apa-apaan! Marah seenaknya sendiri, pakai acara pindah tempat duduk lagi!”
“Ya,
suka-suka aku dong. Pindah duduk aja kok repot. Lagian di sebelah Fila kan dari
dulu emang kosong!”
“Tapi,
kan…!!” Una mengangkat tangannya kesal. “Sampai kapan kita akan diem-dieman
kayak gini? Nggak dewasa banget, tahu nggak sih!”
“Siapa yang nggak
dewasa. Ya kamu itu yang nggak dewasa…” “Bukan aku atau kamu, tapi kita…”
“Kita?
Nggak salah nih? Bukannya yang baru jerawatan dan coba -coba naksir cowok itu
kamu? Bukannya yang belum mens itu juga kamu?” Mahsa cekikikan mengejek.
“Herrrgh!”
Una meradang. “Kamu tuh berhati batu ya, Sa! Kenapa sih kamu begitu menganggap
aku sebagai musuh, sampai -sampai kamu menutup semua pintu maaf dan kesempatan
buat aku. Hanya karena aku ditegur dan diajak guyon sama Raziv, Padahal aku
tidak ngapa -ngapa. Naksir sedikit pun juga enggak!” sampai di sini Una
berhenti. M aksudnya untuk memberikan tekanan pada kalimatnya yang terakhir
itu. Meski, jauh di lubuk hatinya tiba-tiba ada suara-suara yang berani
meledeknya: Yang bener?
Tapi,
Una tak peduli. Ia masih melanjutkan racauannya, “Harusnya kamu bisa memahami
itu. Harusnya kamu tidak melimpahkan semua kebetulan itu sebagai kesalahanku,
sampai kamu menghukum aku sedemikian rupa!” Una menekan perutnya kuat -kuat.
Kepalanya semakin terasa berat. Ia benar-benar pusing dan stres menghadapi
masalah yang mbulet dan semakin nggak
kelihatan ujung habisnya ini.
Untuk
beberapa saat mereka terdiam. Semilir aroma pesing sebenarnya sudah mereka cium
sejak mula menginjakkan kaki di kawasan pembuangan itu. Tapi, berhubung syaraf
otak mereka tengah disibukkan untuk menjaga penampilan marah mereka, yang
harusnya mengirim sinyal ke tangan untuk menutup hidung jadi tidak berfungsi.
Lagian, jadi lucu kan kalau marah-marah sambil menutup hidung?
“Sa!
Tolong dong, gimana ini?” Maksud Una adalah masalah mbulet di antara mereka, bukan bau pesing kamar mandi yang kian
menyengat itu.
“Sudah
ah. Aku males ngomonginnya. Yang jelas, kita break dulu aja. Tidak usah bareng-bareng lagi. Kamu urus aja
urusanmu sendiri, nggak usah bawa-bawa namaku, apalagi Raziv. Kamu mau dekat
-dekat atau jadian sama Raziv juga terserah. Aku gak mau tahu.”
“Kok gitu…!”
“Ya gitu. Sudah ah! Aku mau balik lagi ke kelas. Kita sudah terlambat
masuk jam ketiga,” lanjut Mahsa sewot. Tanpa menoleh ke belakang lagi, ia
langsung berkelebat menjauh dari hadapan Una.
“Mahsa!”
pekik Una masih nggak terima. Tapi percuma, tak ada respon dari orang yang
namanya ia teriakan itu.
Mau tak
mau, akhirnya Una pun dengan terpaksa mengikuti langkah Mahsa kembali ke kelas.
Pelajaran jam ketiga sudah dimulai sepuluh menit yang lalu. Setelah menjawab,
“Maaf, Pak. Dari belakang,” Una menempati bangkunya yang ada di deretan paling
depan itu tanpa semangat. Apalagi ia harus sendirian, tak ada Mahsa di
dekatnya.
delapan
Hari
sekolah yang melelahkan buat Una. Menjawab soal Nahwu yang diujikan Bu Lilik
aja sudah lelah, apalagi dengan tumpukan pikiran dan rasa marah yang tak jelas
ujung pangkalnya. Pergantian jam pelajaran yang biasanya ia rasakan secepat
jet, hari itu seperti gelindingan roda dokar di jalanan menanjak. Sangat
lambat. Apalagi ban dokarnya pas bocor, kedua-duanya lagi. Tapi,
ngomong-ngomong, dokar sudah kembang-kempis gitu kok masih dipakai buat narik
ya?
“Nggak pulang, Un?”
“Em eh.
Bapak,” Una kaget campur malu-malu disapa oleh Pak Mustafid yang sudah berdiri
di hadapannya.
“Kamu sakit ya?
Wajahmu kok pucat.”
“Enggak
kok, Pak!” Una jadi salah tingkah. “Cuma agak pusing, sama sakit perut.”
Pak Mustafid
langsung senyum-senyum, “Oh, lagi dapet ya?”
“Dapet?
Dapet apaan?” tanya Una heran. Tapi, kemudian ia mendelik begitu paham apa yang
dimaksud guru pengajar jam terakhir itu. Ia balas senyum-senyum sambil
buru-buru mengemasi buku-bukunya, dan beranjak hendak menyusul teman-teman
kelasnya yang sudah keluar duluan. “Permisi, ya Pak. Saya pulang dulu.”
Dan,
wush! Setelah dua meter Una melangkah, barulah ia bisa bernapas lega. Terus
terang ia merasa risih kalau ada yang nyinggung - nyinggung soal ‘dapet’ alias
menstruasi, bapak -bapak lagi. Berkumis lagi. Ayahnya aja belum pernah
tanya-tanya soal ke’dapet’an Una. Kalau Ibunya pernah, bahkan sering. Tepatnya,
setiap kali Una berulang tahun tanggal 24 Januari.
“Una udah dapet
belum?”
“Belum.”
“Yang warnanya putih
bening?”
“Aduh, Una maunya
kan yang merah!”
“Oh, berarti tidak sekarang. Soalnya kemarin
di supermarket Ibu cari - cari yang warnanya merah nggak ada…”
Aduh,
itu sih nanyain kiriman kartu ulang tahun. Sudah sampai belum. Ibu memang tak
pernah lupa mengirimi Una kado ultah berupa kartu. Dan, meski Una sudah
berkali-kali minta yang merah, selalu saja dapetnya warna putih. Sehingga kalau
mau diteruskan maknanya, bisa jadi itulah kenapa kemudian Una belum juga dapet
menstruasi. Dari tahun ke tahun ia masih sebatas dapet keputihan, dan rasanya
sangat tidak nyaman, apalagi pas jam-jam pulang sekolah seperti sore ini.
“Mbak
Una kenapa, jalannya kok melambat gitu?” tanya Uswah yang berhasil menyusuli
langkahnya dari belakang. Di sampingnya, Atik yang juga kelas I MTsN, melempar
senyum ke arah Una.
“Duh,
rasanya pegel-pegel. Ternyata sekolah kita lumayan juga ya jauhnya.”
“Berarti lumayan juga dong pahala untuk langkah -langkah kaki kita
yang pegal-pegal ini,” timpal Atik. “Yuk, Mbak. Ta’disiki yo. Kita belum asaran soalnya!”
Una cuma
mengangguk. Gerak dua kakinya memang semakin melambat. Sebenarnya seratus
persen bukan karena pegal -pegalnya. Melainkan, kenapa sore itu ia merasa kalau
kulitnya jauh labih lembab dan lengket dari biasanya ya?
Dok dok dok!
“Di dalam Mbak Upik
ya?”
“Bukan. Aku Shinfa,
kamar Pena 1.”
Una
bergeser ke jeding sebelahnya.
Wajahnya yang kata Pak Mustafid memang sudah pucat, semakin terlihat pias saja.
“Mbak Upik ya?”
“Iya.
Aku sudah selesai. Tinggal pakai baju,” jawab yang di dalam. Singkat tapi cukup
bisa membuat wajah Una teraliri darah lagi . Apalagi ketika pintu jeding nomor 2 itu terbuka, dan
muncullah sosok Upik dengan wajah fresh-nya.
“Ada apa, Un?”
Jawaban
Una bukan kata-kata, apalagi deklamasi, melainkan gerakan tangannya yang
buru-buru menarik pergelangan Upik untuk mengikutinya.
“Ada apa sih, Un.
Pelan dong. Aku belum cuci kaki nih!”
“Udah,
nggak perlu cuci kaki. Mbak Upik lagi nggak shalat kan?” bantah Una tak peduli.
Ia tetap menarik pergelangan tangan Upik cepat - cepat. Melewati lalu lalang
para santri yang kebanyakan mau ke jeding,
untuk mandi atau berwudhu. Mau tak mau kalau ingin selamat, Upik harus diam
menurut. Mengikuti seretan tangan Una yang entah hendak berakhir di mana.
Tepat di belakang kompleks Kalimat langkah Una terhenti. Sebuah
halaman yang membentuk lorong sempit karena berhim-pitan dengan pagar bumi
pesantren. Penuh jemuran pakaian yang menggantung dan remang-remang karena tak
ada penerangan sama sekali.
“Ada apa sih?” Upik
menatap Una dengan sorot mata bingung.
Perlahan
Una melepaskan pegangan tangannya. Ia mengambil sesuatu dari saku meksi putih seragam sekolahnya. Selembar
kain yang dilipat-lipat atau lebih tepatnya digulung-gulung, sampai hampir
menyerupai kue dadar gulung. Perlahan ia buka gulungan di telapak tangannya
itu. Hei, ternyata bukan selembar kain. Melainkan sebentuk segitiga yang
berkaret pada satu sisinya. Bahannya dari katun yang baik untuk menyerap
keringat…
“Hus! Ngapain kamu keluarkan celana dalam itu?”
Upik semakin bingung.
Gerakan
tangan Una terhenti. “Mbak Upik jangan jijik ya…,” wajahnya penuh kekhawatiran.
Untung Upik segera mengangguk, sehingga Una tak perlu merasa takut-takut untuk
menunjukkan adegan selanjutnya. “Mbak, ini itu ya…”
Upik
tercekat, matanya mendelik begitu Una membuka bagian dalam under wear yang semula tergulung-gulung itu. Meskipun kondisi
belakang kompleks Kalimat itu agak
gelap, dari jarak beberapa senti ia bisa melihat sebentuk noda berwarna coklat
tua tampak memenuhi satu sisi kain katun berbentuk segitiga itu.
“Ya
ampun, Un. Cepet ucapkan alhamdulillahi
‘ala kulli halin, wa astaghfirullaha
‘ala kulli dzambin ,” perintah Upik cepat.
Dengan
terbata-bata Una pun melafalkan kalimat yang baru saja didiktekan Upik. Tanpa
ia tahu apa hubungan lafal itu dengan noda coklat tua yang baru saja
ditunjukkannya ke Upik.
“Pantesan seharian tadi kamu bilang perutmu
melilit,” Upik berkaca - kaca. “Kamu benar-benar sudah baligh sekarang. Sudah
menstruasi. Mulai sekarang amal baik burukmu sudah sah untuk dicatat dan
dimintai pertanggungjawabannya!” lanjutnya bangga. “Kamu paham kan apa yang aku
maksud?”
Una
diam. Mendengar ucapan Upik yang spontan itu dadanya berdebar hebat. Tangannya
gemetar. Seluruh permukaan kulitnya berkeringat. Dalam buncahan rasa yang
memenuhi dadanya di ambang malam itu, ia tak tahu apa yang harus diucapkan
untuk menjawab pertanyaan Upik. Matanya berkaca-kaca.
“Una…
Bahu Una
berguncang. Sesaat kemudian terdengar suara hiks…hiks…hiks. Bukan suara cegukan
apalagi bersin. Melainkan Una mulai terisak.
“Kamu nggak papa
kan?” Upik kembali bingung.
“Mbak…
Hiks…hiks…hiks. Jadi, jadi… Una bener-bener haid?”
Upik tersenyum, “Iya
sayang. Itu darah haid. Selamat ya…”
Burrr!
Rasanya seperti hujan yang tiba-tiba turun setelah tujuh tahun Una kepanasan
oleh kemarau yang panjang. Saking terharunya ia tak bisa berkata lagi.
Isakannya semakin menjadi. Ia pun langsung menghambur ke pelukan Upik, meskipun
tangannya masih erat menggenggam CD warna pink-nya
yang kini sudah berubah warna menjadi coklat tua.
Seandainya
tidak ada Upik, mungkin Una sudah pingsan sendirian mendapati sebentuk noda
coklat tua itu pada CD-nya. Takut, bingung, dan malu bercampur dalam benaknya.
Apalagi di tengah hiruk pikuk suasana menjelang maghrib seperti itu, teman
-temannya lebih banyak disibukkan dengan urusan masing-masing. Dari ambil jatah
makan sore, mengangkat jemuran, antri mandi, sampai berburu waktu untuk jamaah
maghrib biar tidak ketinggalan. Upik is
my Srikandi, begitu pikir Una.
Karena,
ternyata Upik tidak cuma berjasa menenangkan sindrom menstruasinya (baca: grogi
melihat darah haid pertama), tapi juga menemaninya ke jeding dan mengajari bagaimana cara yang baik dan benar untuk
memakai pembalut yang berperekat itu. Ketika pertama kali Una mencobanya, ia
sempat merasa lucu dan wagu. Habis, kayak naik kuda lumping sih!
Selesai
memakai pembalut pemberian Upik, Una masih harus melatih cara jalannya biar
terlihat luwes dan enjoy dengan kuda lumping itu. Mula-mula canggung dan tidak
nyaman, tapi lama -lama bisa dipaksakan untuk biasa. Dan, sebagai uji coba,
Upik mengajak Una berjalan ke kantin untuk beli kunir asem. Katanya, minum jamu
itu bagus buat Una yang lagi mens.
“Makasih,
ya Mbak. Mau nolongin Una,” ucap Una penuh haru. Kehadiran Upik sungguh bisa menggantikan
posisi Ibunya yang jauh di Boyolali sana. Upik cuma tersenyum. “Tapi, Mbak Upik
jangan bilang - bilang ya…”
“Bilang-bilang
gimana?”
“Ya, bilang ke
teman-teman kamar kalau aku sudah mens.”
“Kamu
tuh aneh. Berita gembira kok ditutup -tutupi. Kayak artis aja sih!”
“Kan
malu, Mbak. Digojlokin macem-macem. Kemarin aja semua ikut andil nggarapi
jerawatku!” Una man yun.
“Digojloki
itu biasa, Un. Malah bagus untuk pertumbuhan mental kamu.”
“Pokoknya Mbak Upik
nggak boleh bilang -bilang. Titik!”
Upik akhirnya
tertawa, “Iya deh, iya. Tapi kalau mereka tahu dengan sendirinya, nggak papa
kan?”
Una
mengangguk malu-malu sambil mengumbar senyum. Senyum yang dibuat lain dari
biasanya. Senyum perempuan dewasa coy!
sembilan
Menjelang
subuh hari pertama haid, Una sudah beredar di kamar mandi. Ia yang biasanya
suka mepet azan kalau bangun, pagi itu jam 04.00 sudah melipat selimut dan
membereskan tikar juga bantalnya untuk dibawa ke kamar. Mula-mula ia meraba
tikar itu, kemudian pantatnya, sekadar memastikan kalau situasi dan kondisinya
sudah aman untuk ia bangkit meninggalkan mushala. Hehehe, takut bocor sih.
Jadinya kan rahasia mensnya terbongkar.
Tidak seperti Mike dan Ana yang masih asyik terlelap di emperan
kompleks karena
sedang mens, Una justru bersibuk-sibuk bareng teman-temannya yang bersiap-siap
mau ke jeding. Tak lupa ia membawa
dua stel pakaian kotornya yang mau dicuci, dan selembar pembalut yang ia
sembunyikan di dalam gulungan sarungnya. Pembalut yang dibelikan Upik di warung
Kang Madi. Soalnya kalau Una yang beli, bisa -bisa salah merek lagi.
“Tumben,
Un. Sudah nyuci?” pertanyaan pertama meluncur dari bibir Nafisah.
“Mumpung
lagi pingin nyuci. Soalnya kalau besok -besok susah bagi waktunya.”
“Susah
bagi waktu? Maksudmu karena sudah dekat dengan ujian gitu?”
Una mengangguk sambil membawa pergi embernya dari hadapan
Nafisah. Ia
berpindah lokasi ke samping kran tempat mencuci di emperan jeding. Kalau tidak pindah, bisa-bisa pertanyaannya akan melebar. Misalnya saja ia akan bertanya, kamu
nggak shalat ya. Wah, berbahaya kan?
Meskipun
harus kucing-kucingan dengan teman-teman kamarnya, pagi itu Una berhasil juga
menjaga rahasianya. Juga, pada pagi -pagi berikutnya. Tidak mudah memang.
Terutama kalau jamaah isya, selain jeding,
Una kadang harus bersembunyi di jemuran. Padahal gelap, cuma ada lampu beberapa watt. Kalaupun ada
santri, paling cuma satu dua yang kebetulan lagi menjemur atau belajar karena
sedang tidak shalat.
“Una capek, Mbak,” suatu malam Una menumpahkan
perasaannya ke Upik.
“Setiap
pilihan tentu ada risikonya,” jawab Upik cuek. “Gimana, masih betah dengan
kucing-kucinganmu?”
Una diam
saja. Jelas ia capek. Tidak kucing -kucingan pun sebenarnya ia sudah kepayahan
dengan mens pertamanya itu. Bayangkan, ia tak pernah bisa duduk dengan nyaman.
Posisi duduknya selalu nanggung. Maksudnya, tidak benar-benar menempel pada
lantai karena takut nembus. Hi, kok bisa. Atau, tiap kali berjalan, langkah
kakinya sangat pelan, hampir-hampir kayak pengantin yang kesempitan kain batik.
Belum lagi, rasa mules yang kadang-kadang memaksanya untuk jongkok kalau pas
lagi antri mandi di jeding.
“Hm,
dulu nanya-nanya kapan mens, giliran sudah dapet kok malah susah gini ya,” Una
bergumam sedih.
“Sudah. Terus terang aja napa? Kamu tuh harus belaj ar bersikap
dewasa,Un. Jujur dengan kondisi kamu yang sebenarnya. Itu artinya kamu punya
diri dan tanggung jawab…”
Sebenarnya
Upik masih akan membombardir Una dengan petuah dan nasihatnya, tapi ada suara
lain yang jauh lebih keras dari suaranya, bahkan membahana sampai mushala: Adda’watul muhimmah liukhtina Retno Suffa’iyah min Dumai, uktina Asma
Lutfi min Makasar, ukhtina Yuyun min Purwokerto, ukhtina Ana Maimun min Lowanu
Yogyakarta, ukhtina Naning Zuliarti min Jakarta, ukhtina Launa Zidka min
Boyolali…
“Tuh,
kamu dapet wesel apa surat itu,” Upik menepuk bahu Una yang tampak bengong.
“Tumben namaku masuk
golongan mereka. Surat apa wesel ya?” “Sudah sana!”
Una segera beranjak menuju kantor. Siapa tahu ada yang penting -
penting dan erat kaitannya sama kesehatan kantongnya. Apalagi kalau bukan
weselan uang. Tapi, bukannya Ayah selalu mengirim uang lewat jasa titipan
MABUR?
“Launa Zidka ya?”
Una
mengangguk sambil duduk manis di hadapan Rohmah, seksi Penerangan pondok.
“Ini ada
surat kilat khusus, dari…,” ia di am sejenak sambil membalik amplop di
tangannya, “dari Pak Purwanto. Ini ayah kamu ya?”
“Iya Mbak. Tumben
banget Ayah kirim surat. Kilat khusus lagi.”
“Tapi, maaf ya. Nyampai ke kamu jadi telat dua hari. Ada sensoran
dulu. Demi menjaga efek-efek yang tidak baik buat konsentrasi belajar dan
mondok kamu,” Rohmah tersenyum sambil menyodorkan amplop putih yang tampak
sudah sobek sisi kanannya.
Una cuma
mengangguk, meski dalam hati sempat berharap semoga tak ada kabar mendesak dari
Ayah yang seharusnya ia ketahui sejak dua hari yang lalu. Soal sensor-menyensor
sih emang peraturannya sudah begitu. Dan, karena Una bersedia mondok di Sang
Pecinta mau nggak mau ia harus ikuti aturan yang sudah berlaku. Apalagi
dasarnya Una emang cuma surat-suratannya sama keluarga.
Ayah
jarang menulis surat untuk Una, bahkan tak pernah. Biasanya kalau tidak Mas
Isytifa’ ya Ibu. Mana pakai kilat khusus lagi. Itulah sebabnya begitu bacaan
Una sudah sampai di penghujung, ia tak kuasa membendung linangan air matanya.
Ayah baik banget. Bisa memahami persoalan apa yang sekarang ini tengah
digalaukan puterinya. Tidak cuma itu, Ayah juga berusaha meyakinkan Una kalau
Ayah baik -baik saja. Tak ada yang perlu dirisaukan. Ah, Ayah. Air mata Una
kian deras mengalir, tak peduli ia tengah duduk di teras kantor yang kebetulan
lagi sepi.
“Aduh yang lagi
mengharu-biru…”
Una
buru-buru menyeka air matanya dengan tangan sambil tersenyum malu.
“Hihi,
jadi malu nih, ketahuan nangis,” Mbak Alina duduk di samping Una. “Aku kalau
baca surat dari rumah juga masih suka nangis.”
“Padahal sudah hampir
boyong kan, Mbak?” balas Una heran.
Santri
asal Riau itu mengangguk, “Habisnya kalau baca surat bawaannya jadi pingin
pulang. Tapi, kalau suratnya sudah disimpan terus sibuk lagi dengan kegiatan
pondok, jadi lupa deh,” jawab Alina riang. “Oh ya, gimana dengan data album
anak -anak MTs Plus?”
“Waduh,
Mbak Alina kok masih ingat ya? Aku aja hampir lupa dengan tugasnya itu,” batin
Una kacau. Perlahan ia melipat surat Ayah dan memasukkannya ke dalam amplop.
“Mm, sebelumnya maaf ya, Mbak.
Saya jadi nggak enak
nih. Soalnya, terus terang saya belum mendata nama teman-teman yang mau boyong.
Habis, kayaknya rata -rata masih pada bingung, belum pada ambil keputusan.”
“Gitu
ya,” Alina terdiam sebentar. “Mm, kalau Dik Una sendiri gimana? Boyong atau
meneruskan di pondok?”
Una mikir-mikir,
“Mm, insya Allah saya meneruskan di pondok, Mbak.
Ini barusan Ayah
memberikan dukungan dan doa restu,” jawabnya pede.
“Syukurlah.
Kalau begitu biar nanti saya c ari anak MTs Plus lain yang berencana mau boyong
untuk ngurusi data album alumni.”
Una
bernapas lega. Seperti baru saja terlepas dari himpitan bra yang kekecilan. Eh,
bukan. Una kan belum kenal bra. Melainkan kaos dalam yang kekecilan.
“Kalau Mahsa, dia
boyong nggak ya?”
Hegh!
Una tercekat mendengar pertanyaan Alina selanjutnya. Rasa - rasanya ia seperti
terhimpit kembali. Bukan bra, melainkan kaos dalam!
sepuluh
“Ayo
dong, Un. Syukuran syukuran!” Umi berteriak histeris. Heran juga sama Umi,
sudah dua kali kena batunya Una, tetap aja seneng bikin gara-gara. “Pakai
krupuk yang dua ratusan juga nggak papa!”
“Syukuran
apa, Mi?” tanya Ilmi yang sukanya nongkrong di mushala itu penasaran.
“Una sudah dapet!
Sudah berplat merah!”
“Ha, yang bener!” Ilmi membelalakkan mata. “Oooh, pantesan tiga hari
kemarin mukanya seperti mau makan orang aja!” lanjutnya sambil
mengangguk-angguk.
“Iya,
nih Un. Syukurannya mana? Usulan Umi boleh juga kok, mumpung kita lagi makan.
Buat nambah gizi,” Malihah, si ketua kamar, mengamini usulan Umi.
“Filosofinya
kan biar kamu bisa lebih ringa n menghadapi pengalaman mens untuk pertama
kalinya, kayak krupuk,” jelas Aniq yang tahun ini akan lulus Aliyah.
“Ngomong-ngomong, gimana rasanya neh! Takut nggak? Atau jangan -
jangan kamu salah pasang pembalut ya… Yang atas kamu tarus di bawah, trus yang
bawah kamu taruh di atas…”
Gerrr,
seisi kamar Pena 4 yang pagi itu tengah asyik dengan mangkok atau piring
plastik masing-masing langsung tertawa kompak mendengar ucapan Umi. Kecuali
Upik yang baru saja datang dari mengambil jatah makan. Ia mengedarkan
pandangannya heran, “Kok Seru banget. Ada apa nih?” Tapi, begitu ia menemukan
sosok Una yang terduduk kaku dengan wajah memelas, ia cuma senyum-senyum.
“Kenapa
kamu kemarin nggak belajar dulu sama aku, Un. Kalau salah pakai gitu kan
sakit,” Umi semakin berani.
“Eh,
tapi kalau salah pakai gitu, emang bisa menyerap, Un?” tanya Aminah pura-pura
penasaran.
Una diam saja. Tersenyum pun tidak. Ia sama sekali tak menyadari kalau
reaksinya itu justru membuat teman -temannya semakin senang melancarkan
serangan
“Iya,
Un. Kok diam saja. Bisa nyerap nggak?” timpal Aniq sambil mengulum senyum.
“Kalau nggak nyerap kan percuma aja pakai pembalut.”
“Kayaknya
enggak bisa nyerap deh. Soalnya, permukaan yang atas sama yang bawah kan emang
berbeda.”
“Kamu kayak tukang
rancang bangun pembalut aja, Nit.”
“Aku tahunya juga
dari Mbak Una. Ya kan, Mbak?” pancing Nita cuek.
Una
tetap bergeming. Meskipun dalam hati, ia sebenarnya menggeram marah mendengar
komentar-komentar yang sepertinya tak ada usainya itu. Ia sama sekali tak
menyangka kalau aroma wangi kabar menstruasinya akan tercium juga oleh
teman-temannya di Pena 4. Padahal ia sudah rapat-rapat menutupinya. Bukan juga
karena Upik yang tega membocorkan rahasia itu, melainkan secara tak sengaja Umi
yang tidurnya bersebelahan sama Una sejak Mahsa marah, mendapati ada yang
ganjil pada CD Una. Lagian, Una juga sih tidur nggak pakai celana panjang.
Padahal kalau tidur, tingkah polahnya tak ubahnya seperti cacing kepa-nasan,
hingga secara tak sadar kadang sudah berpose kayak turis seksi lagi berjemur di
pantai. Hiii, serem!
“Trus, Una cerita
apalagi, Nit?” Malihah jadi keterusan.
“Katanya, pembalut
kebalik itu…”
“Hei,
siapa yang pakai pembalut kebalik!” pekik Una tiba -tiba. Ia merasa
teman-temannya sudah keterlaluan pagi itu. Ia tak sanggup lagi menahan amarah
yang sedari tadi memenuhi dadanya. Ia marah ke semua penghuni kamar, tak
terkecuali Upik yang cuma senyum -senyum melihat dirinya digarap habis-habisan.
Tiba-tiba selera makannya jadi hilang. Ia segera beranjak membawa piring
plastiknya keluar. Dan, tok tok tok. Dengan tiga kali ketukan ia membuang sisa
makanannya ke tong sampah.
Sekarang
tak ada lagi yang berani berkomentar. Larut dengan makanan masing-masing.
Sesekali mereka cuma saling melirik dan terkikik-kikik. Sementara Una buru-buru
membereskan perlengkapan ngajinya, dan secepat angin berkelebat keluar kamar.
Tapi,
ternyata Una tidak benar-benar menuju ke tempat ngaji. Ia malah bablas ke
tempat jemuran. Di lokasi ini ia dijamin aman
mengungsikan dirinya
sampai jam pengajian selesai. Kecuali kalau ada seksi Pengajian yang keliling
mengontrol, ia bisa dikenai peringatan untuk menyalin catatan materi hari itu
sebanyak lima kali. Dengan kondisi hati dan pikiran yang semrawut, ia sama
sekali tak gentar dengan takziran itu.
“Hei-hei.
Kok nggak ngaji?” sebuah suara memaksa Una mendongakkan wajahnya yang penuh
mendung. “Pasti gara -gara gojlokan tadi pagi ya?”
Upik
perlahan mendekati Una dengan ember kosong di tangan. Ia memang biasa
memanfaatkan jam klasikal pagi untuk menjemur pakaian, kalau sedang tak ada jam
ngajar. Klasikalnya sudah lulus tiga tahun yang lalu ketika ia kelas III MTsN.
Upik kan sudah hampir enam tahun tinggal di Sang Pecinta.
“Una…”
Una
menunduk. Pelan tapi pasti bahunya tampak bergerak -gerak. Bukan sedang
dangdutan atau bersenam, karena gerakan itu disusul oleh suara hiks…hiks…hiks
yang biasa dikeluarkannya kalau menangis.
“Yah,
malah ngisek-isek. Kamu kenapa sih? Nggak biasanya jadi sensitif banget kayak
gini. Digojlok gitu aja kok marah. Biasanya kamu juga berpartisipasi gojlok teman-teman
yang mens kan?”
Una tetap
berhiks-hiks. Tak menanggapi pertanyaan Upik.
“Ya udah
deh. Kalau aku malah bikin kamu nangis. Maafin aku ya, sudah ikut menyakiti
perasaanmu,” ucap Upik pelan, kemudian beranjak dari jongkoknya dan siap
berlalu.
Tapi tiba-tiba,
Una menghentikan isakannya. Perlahan ia mengangkat wajahnya yang memerah tomat.
Matanya tampak gendut dan sembab. Pada pipi kanannya masih ada sisa air mata
yang dibiarkan menggantung siap menetes. “Mbak Upik jangan pergi!” ucapnya
memohon.
Merasa
dapat kesempatan bagus, Upik buru -buru kembali ke posisi semula sambil
mengurai senyum. Biar Una tidak mutung.
“Teman-teman
kok kebangeten gitu sih ngerjain aku. Huhuhu huhuhu…” Una sekarang malah
berhuhuhu. Isakannya sudah berubah menjadi tangis.
“Sudah-sudah,”
Upik meraih kepala Una dalam pelukannya. Kenapa ia melakukannya? Tentu saja
karena ia sudah mandi dan pakai deodoran. Jadi, ia pede aja kalau adik kelasnya
itu nggak akan menolak apalagi muntah-muntah karena bau badannya. “Kalau memang
kebangeten, ya sudah, maafin mereka. Aku juga minta maaf.”
Una
menghentikan tangisnya. “Bilang maaf sih gampang, Mbak. Tapi, apa mereka nggak
mikir kalau sikap mereka itu sudah bikin aku tersinggung!”
“Eh,
kamu nggak boleh kayak gitu. Itu namanya kamu tidak mau belajar untuk jadi
dewasa.”
Kali ini
Una menarik kepalanya dari bahu Upik. “Apa hubungannya memberi maaf dengan
kedewasaan. Sekarang kan aku sudah mens, sudah sama-sama dewasa seperti mereka.
Mau dipelajari apanya lagi?” Una ngotot sok ngerti. Soalnya kemarin -kemarin
sering banget Mahsa menyinggung soal kedewasaan dan mengatakan kalau dirinya
jauh lebih dewasa ketimbang Una. Apa lagi kalau bukan karena Mahsa sudah
jerawatan, naksir cowok, dan dapet menstruasi.
“Begini
ya, Un. Sebenarnya kedewasaan itu tidak mutlak ditentukan oleh sudah atau
belumnya seorang cewek mengalami menstruasi. Karena yang aku maksud di sini
adalah dewasa dalam berpikir dan bersikap.”
“Maksud, Mbak…”
“Usia
semakin tua itu pasti, tapi soal kedewasaan berpikir belum tentu berbanding
lurus dengan usia. Bisa saja usia seseorang sudah 20 tahun, sudah mens, tapi
cara berpikirnya kekanak -kanakan. Tapi ada juga yang baru 12 tahun, tapi sudah
dewasa cara berpikirnya. Itulah kenapa dewasa itu disebut sebagai pilihan.
Karena memang bisa dipilih. Bisa diupayakan dengan ‘mengatur’ diri untuk jadi
dewasa.”
“Meskipun belum
menstruasi?”
Upik
tersenyum. “Kalau sudah mens berarti kedewasaan seseorang semakin komplit. Haid
itu kan satu perubahan biologis yang menandakan kalau seorang cewek itu sudah
baligh, yang berarti sudah mukallaf, sudah terbebani hukum. Artinya, segala
perbuatan yang dilakukannya akan dicatat. Apakah itu perbuatan baik ataupun
perbuatan bu ruk.”
“Jadi,
sebenarnya meskipun aku belum mens, aku juga bisa jadi dewasa, begitu?” Una
terus saja mengulang-ulang point menstruasinya.
Upik
mengangguk. “Makanya kalau kamu sekarang sudah mens, tugas kamu tinggal
mendewasakan pikiranmu dengan belajar tent ang arti tanggung jawab, biasakan
meminta maaf, berkorban, dan menghormati orang lain…”
Una terdiam.
Kepalanya tiba-tiba berdenyut. “Kok susah gitu sih, Mbak. Tentang tanggung
jawablah, meminta maaf, apalagi berkorban!”
“Ya,
itulah tantangan untuk kedewasaanmu. Dijamin kalau kamu terbiasa bertanggung
jawab, meminta maaf, apalagi berkorban, hati dan pikiranmu akan jauh lebih
longgar. Tidak kemrungsung terus. Panas terus. Sakit hati terus. Stres terus.”
“Itu sih bukan
manusia…
“Justru
karena kita manusia, harusnya kita bisa mengharmoniskan antara ego, akal, dan
budi kita untuk bersikap dewasa kepada diri kita juga orang lain,” bantah Upik
cepat. “Lagian, nggak ada ruginya kok berakhlak mulia seperti itu. Ya kan?”
“Ya
emang nggak rugi. Tapi, masak cuma aku saja yang harus belajar bersikap dewasa.
Mestinya Mahsa juga iya!” Una berkata dengan ketus.
Upik tersenyum.
“Oh, sebel soal Mahsa juga? Emangnya Mahsa kenapa?”
Una
mencibir, “Kalau Una belum dewasa, sebenarnya Mahsa justru jauh belum dewasa.
Aku sudah minta maaf mati-matian, eh malah tak digubris.”
“Soal
Raziv itu ya? Emang perasaan kamu sendiri sebenarnya gimana?”
Una menggeleng, “Aku sendiri juga belum yakin apa aku bener seneng
sama Raziv apa enggak. Baru dua kali ketemu!” jawab Una gamang. “Kalau menurut
Mbak, gimana?”
“Mmm,
kalau aku sih terserah Una mau milih yang mana. Pertama, kalau Una mau serius
dengan perasaan Una, risikonya jelas Mahsa tak bisa diajak berkompetesi secara
sehat. Jadi, pasti akan tetap bermusuhan. Kedua, kalau Una tak mau ambil serius
dengan perasaan itu, dan berpikir bahwa naksir cowok itu bukanlah sesuatu yang
primer untuk sekarang ini, ya segera tunjukkan itikad Una itu ke Mahsa. Berarti
Una harus mengalah untuk meminta maaf dan mendekatinya lagi. Gimana?”
Una diam
saja. Keningnya tampak berkerut. Berarti ia sedang berpikir keras untuk
menentukan pilihan.
jerawat, no way!
satu
Pagi
hari Jumat, Una bangun dengan semangatnya yang baru. Semangat membara untuk
belajar menjadi perempuan dewasa. Sebagai bukti kalau ia tak cuma tua usianya
dan melar bodinya, tapi juga mantap kepribadiannya.
Una
sudah tidak malu-malu lagi dengan menstruasinya. Ia malah sudah enjoy ikut
gabung tidur di kamar bareng lima orang temannya yang lagi haid, melanjutkan
tidurnya di mushala. Tapi, tidak keterusan sampai matahari terbit lho. Nggak
tahu diri dong namanya, dan Una nggak mau seperti itu. Makanya ketika suara
wiridan sudah ter-dengar dari mushala, buru-buru ia membuka mata dan segera
berlari ke jeding.
Byur…byur…byur.
Una mengguyur pelan -pelan tubuhnya dengan air. Tidak seperti biasanya yang
asal siram sampai -sampai seperti lagi nguras bak mandi. Ini adalah perubahan
sikap Una yang kedua. Ia tak mau israf
dalam penggunaan air. Karena masih banyak teman -temannya yang juga perlu pakai
air. Usai mandi, ia membungkus rapi pembalut kotornya dengan kertas koran yang
sudah tersedia di dinding kamar mandi, kemudian membuangnya ke tong sampah.
Tidak cuma itu, ia sekarang tidak lagi suka berlama-lama di dalam kotak
berpintu itu. Karena di luar masih ada Uswah, Atik, Mala, Nafisah, dan Iffah
yang kebetulan lagi haid, dan diburu waktu untuk kegiatan kuliah subuh di depan
mushala. Jadi, irit, cepat, dan bersih!
Sampai
di kamar, Una langsung berdandan di depan pintu almarinya. Membersihkan
wajahnya dari sisa air dan mengolesinya dengan bedak tipis-tipis. Ia tak lagi
memakai pelembab antijerawat yang beberapa minggu lalu pernah dibelinya. Untuk
masalah jerawat, ia lebih percaya pada jeruk nipis dan sabun wajah lemon.
Karena terbukti pipinya kini berangsur membaik.
“Eh, Un.
Duduk sini!” tampak dari halaman mushala Umi melambai - lambai ke arah Una.
Una
mengangguk sambil mengedarkan pandangan. Selain Umi, belum banyak santri yang
memenuhi tempat luas itu untuk mengikuti kuliah subuh oleh Yai Fayadh. Putera
sulung Mbah Nyai yang menikah dengan ning dari Jember.
“Belum rawuh kan?” tanya Una sambil memosisikan
duduknya di sebelah Umi.
“Belum. Baru jam
setengah enam.”
“Ya udah, aku titip
ini ya.”
“Eh, mau
ke mana?” tanya Umi seraya menerima buku catatan milik Una.
“Tuh,”
Una mengarahkan pandangannya ke sebelah timur halaman mushala yang berubin itu.
“Mahsa?” ucap Umi penuh
tanda tanya. “Mau ngapain?”
Una tak
menjawab. Ia malah beranjak mendekati sahabat lamanya itu yang tampak asyik
ngobrol dengan teman kamarnya. Dada Una tiba -tiba berdebar ketika mata Mahsa
menatap ke arahnya. Terusin gak ya. Ah, sudah terlanjur dekat masak mau balik
lagi. Ditanggapi atau tidak, itu urusan nanti. Begitu batin Una.
“Hai, Sa. Nanti
siang jadi ada rapat ceking akhir kan?”
Mahsa
mengangguk cuek. Matanya tiba -tiba berubah jadi dingin. Gigi Una saja sampai
bergemelutuk saking dinginnya.
“Emm,
kamu dateng nggak?” Una menggigit bibir. Merasa salah ucap. Kenapa nggak langsung
ngajak berangkat bareng aja?
“Yah, nggak tahu
ya…,” Mahsa tetap cuek.
“Raziv
dateng nggak?” Waduh, kok nyinggung -nyinggung Raziv sih. Una benar-benar salah
asuhan. Eh, salah ucap!
“Ya
nggak tahu! Lagian apa urusannya sama aku!” Mahsa menjawab ketus.
“Maaf,
Sa. Mm..maksudku, kamu nggak keberatan kan kalau kita berangkat bareng?”
Mahsa
merengut. “Kenapa harus bareng? Berangkat sendiri kan bisa!”
“Plis
dong, Sa. Kayak dulu itu lho. Aku janji, nggak akan lagi-lagi ketemu sama
Raziv!” Una mengangkat dua jarinya. Bukan jempol sama
kelingking,
melainkan jari tengah dan telunjuk. “Aku juga janji akan menceritakan apa pun
yang bakal terjadi nanti!”
Mahsa tetap
merengut.
“Bareng
ya, Sa. Plis. Nanti…,” Una urung meneruskan kata -katanya begitu telinganya
mendengar suara gemuruh dari arah utara. Apa lagi kalau bukan gemuruh suara
santri yang membaca huwalhabib,
menyambut kedatangan Yai Fayadh. “Sudah ya, Sa. Sampai ketemu nant i ya.”
Dan, Una
segera kembali ke tempat duduknya dengan sikap seolah tak terjadi apa-apa.
Santai dan enjoy. Meskipun ia harus menerima kegagalan untuk usaha pertamanya
berbaikan dengan Mahsa.
Sampai
di ruang rapat puteri, mata Una seketika berlarian mem eriksa lautan jilbab di
hadapannya. Siang ini ia terpaksa berangkat sendirian tanpa Mahsa. Kurang baik
apa si Una. Sudah ngajak janjian berangkat bareng, menyempatkan datang langsung
ke kamar Mahsa, eh ternyata sahabatnya itu sudah berangkat duluan. Kalau dibilang
kecewa sih jelas kecewa. Tapi, bukankah kekecewaan itu hanya perasaan orang
-orang yang angkuh dan sok berkehendak?
“Itu
dia,” gumam Una pelan begitu matanya menemukan sosok yang dicarinya. Duduk
bersebelahan dengan Nurul di bangku nomor tiga barisan pertama. “Sudah lama,
Rul?” tanya Una pelan. Tanpa menunggu dipersilakan ia menempati bangku kosong
di samping Nurul.
“Kita baru aja
nyampai kok. Kamu sama siapa? Sendirian ya?”
“Enggak
juga sih. Dari pondok aku barengan sama anak Aliyah yang mau ekstra,” jawab Una
sambil melirik Mahsa yang tampak acuh tak acuh. Seumur-umur baru kali ini Una
menyadari kalau teman dekatnya itu ternyata berhati batu. Tapi, sekeras
-kerasnya batu, masak sih nggak bisa berlobang kalau terus-terusan tertetesi
air? “Mahsa tadi sama siapa?” Una mulai beraksi.
“Sama
temanlah. Emang mau sama siapa!” tidak pagi tidak siang ternyata nada suara
Mahsa tetap naik.
Una cuma
mengangguk-angguk. Meski hatinya sebenarnya sudah bergemuruh, ia coba
menganggap biasa jawaban yang baru saja didengarnya. Atau meminjam istilah
Simbahnya yang di kampung: Anggap seperti wedus
nggembret! Hahaha. Untung saja Mahsa nggak tahu kalau ucapannya sudah
diserupakan dengan gembretan wedus.
“Ehem,
tes tes tes. Ya, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Baik teman-teman.
Siang ini adalah ceking akhir persiapan Muwada’ah yang pelaksanaannya kurang
lebih dua bulan lagi. Ini adalah rapat terakhir, karena dua minggu lagi kita
sudah ujian. Jadi, harapan saya atas nama panitia inti setelah rapat hari ini,
paling tidak kesiapan untuk acara Muwada’ah kita sudah 89,9 persen. Untuk itu,
sebelumnya mari kita membaca surat al-Fatihah bersama-sama,” Fathir terdiam
sebentar sambil komat-kamit, “Al-Faatihah!” lanjutnya yang kemudian disusul
oleh suara gemuruh bacaan peserta rapat. Pastinya kecuali Una. Ia kan lagi ‘merah’.
Dan,
rapat pun dimulai. Tapi, karena agendanya cuma cek sana cek sini, suasana rapat
siang itu tak begitu ramai oleh perdebatan. Setiap koordinator cukup melaporkan
dan menjawab pertanyaan hadirin seputar kesiapan seksinya. Mahsa yang kebetulan
jadi koordinator seksi Penerima Tamu tak ketinggalan memberikan masukan,
melengkapi jawaban dari koordinator putera.
Lalu,
bagaimana dengan Raziv? Sebagai ketua III, cowok Madura itu tentu bertindak
sebagai sang penagih laporan. Ia bertanya-tanya soal kesiapan seksi yang ada di
bawah tanggung jawabnya. Termasuk seksi yang dikoordinatori Mahsa.
“Untuk
seragam Penerima Tamu puteri, bagaimana? Kemarin katanya tidak jadi sewa kebaya
dan arik?” tanya Raziv dari ruang seb elah.
“Ya,
silakan Mahsa,” Fathir, sang moderator memberi Mahsa kesempatan untuk bicara.
“Huh,”
Mahsa membuka jawabannya dengan dengusan kesal. “Kan sudah saya jelaskan di
depan. Kalau untuk seragam Penerima Tamu, baik putera maupun puteri, kami
sepakat memakai seragam sekolah seperti juga teman-teman kelas III yang lain,”
jawab Mahsa tegas. Eit, bukan tegas, melainkan ketus. Ini menurut pendengaran
Una yang sedari tadi memperhatikan Mahsa dan sudah paham dengan karakter suara
sahabatnya itu. Diam-diam ia bertanya-tanya dalam hati. Limadza tsumma limadza?
Pukul
16.00 rapat resmi ditutup. Lebih cepat satu jam dari waktu yang diperkirakan
sama panitia. Seperti biasa, para panitia inti berkumpul dulu
di ruang
kepanitiaan. Sementara panitia figuran, alias noninti, enggan kalau harus
berlama-lama di ruang rapat tanpa ada kerjaan yang jelas. Soalnya salah-salah
malah dituduh curi-curi kesempatan untuk ngecengin anak putera. Itulah kenapa
mereka lebih suka memilih untuk segera meninggalkan ruangan, pulang kembali ke
pondok masing-masing.
“Mahsa,
tunggu dong,” Una buru-buru meraih tangan Mahsa yang sudah berdiri hendak
pergi. Ruang rapat tampak sudah sepi. Tinggal Una, Mahsa, dan Nurul. “Aku ada
kejutan buat kamu.”
“Apa-apaan sih,”
Mahsa mengibas-ngibaskan tangannya.
“Biar kamu
tahu kalau sebenarnya aku nggak ada niat macam -macam sama Raziv, dan kamu mau
berbaikan lagi sama aku.”
Mahsa
tak menjawab, malah menatap Una dengan gusar. “Lepasin tanganku,” ucapnya
kemudian. “Aku bilang, lepasin!” ia ngotot menarik - narik tangannya dari
genggaman Una.
“Plis,
Sa. Kasih aku kesempatan. Ini demi persahabatan kita!” Una memelas.
“Turutin
aja kenapa sih, Sa? Itung -itung menghargai teman, lebih bagus lagi bisa
memperbaiki hubungan kalian,” Nurul coba menengahi.
“Diam
kamu. Ikut-ikutan aja,” Mahsa malah membentak. “Una!” Serrr! Ada yang berdesir
di hati Una mendengar namanya diucapkan oleh Mahsa setelah beberapa minggu tak
pernah dilakukan oleh temannya itu. “Kamu mau lepasin atau tidak!”
Secara perlahan genggaman tangan Una pun mengendur. Sepertinya percuma
mengajak Mahsa untuk melihat pembuktiannya kalau ia tak ada apa-apa sama Raziv.
Eh, tapi yang bener, masak tidak ada apa -apa?
Sebenarnya sih ada,
bibit-bibit yang menunggu untuk disemai. Tapi, semalam Una sudah memutuskan
kalau ada baiknya ia mengalah untuk Mahsa. Toh ia belum begitu merasa perlu
berurusan dengan cinta - mencintai. Apalagi sampai mengorbankan pertemanan yang
sudah berjalan baik selama tiga tahun.
Mahsa melengos begitu tangannya bisa lepas. Ia buru -buru meraih
tangan Nurul dan menariknya hendak keluar melewati pintu. Tapi, baru tiga
langkah,
“Hai,
em… lihat presensi nggak?” seorang cowok dengan pakaian khasnya nyelonong masuk
ke dalam.
Una
melongo, Nurul tercekat, sementara Mahsa tak sanggup meneruskan langkah. Bukan
karena kaget apalagi takut dengan makhluk yang tiba-tiba sudah berdiri
memamerkan senyum biasanya itu. Melainkan karena mereka sama sekali tak menduga
kalau sosok yang tengah mereka bicarakan sore itu ternyata sudah bertengger di
batang hidung mereka.
“Hai, Sa. Em, eh. Apa kabar?” sapanya kikuk. Jauh berbeda dengan
ketika ia pertama kali bertegur sapa sama Una. “Emm, habis rapat ya?” Tuh kan,
nggak mutu banget sih pertanyaannya.
Mahsa
cuma menunduk diam. Cukup lama, sampai setiap yang punya perasaan di ruangan
itu jadi sama -sama kikuk.
“Kamu
juga habis rapat kan?” Una akhirnya bersuara dengan balik bertanya pada Raziv.
“Kalau iya, harusnya kamu dengar suara Mahsa tadi. Dia kan koordinator Penerima
Tamu!”
Raziv
menggaruk-garuk jidatnya asal. “Em, maaf. Aku sebenarnya cuma ngetes aja kok,
yang tadi itu benar Mahsa atau bukan. Soalnya suara bisa jadi dikenal, tapi
kalau nggak ngelihat wajahnya kan bisa -bisa salah orang.”
“Huh
norak!” Mahsa sudah mulai berkomentar. “Sudah ah, Rul. Yuk kita pulang. Biar ia
ngobrol sama Una.”
“Rul-nya
yang mana, dan Una-nya yang mana ini,” Raziv menunjukkan ekspresi tidak tahu.
Hah! Una
mendelik. “Benar-benar sok seleb banget cowok yang satu ini,” batinnya jengkel.
Tapi, diam-diam ia juga merasa bersyukur dengan kondisi Raziv yang ingatannya
memang memprihatinkan itu. Berarti ia tek perlu susah-susah membuktikan ke
Mahsa kalau pertemuan Jumat sore yang dulu itu memang tak ada istimewanya sama
sekali. Buktinya Raziv sudah lupa dengan nama dan wajah Una sekaligus. Kecian
deh lu!
Tapi, sayangnya Mahsa sudah tak peduli dengan pembuktian itu. “Ayo,
Rul,” ia tetep ngotot menarik tangan Nurul, dan dengan paksa membawanya keluar
kelas.
“Sa,
tunggu dong!” teriak Una sambil menyusul Mahsa dan Nurul dengan langkah cepat.
“Oh ya, kalau cari presensi, tuh ada di atas meja paling ujung,” lanjutnya
sambil berlari -lari dengan kepala menengok ke belakang. Setelah itu, ia tak
peduli lagi. Tidak juga mau tahu apa cowok itu jadi ambil presensi atau tidak.
dua
“Sa,
ngomong dong!” Una menepuk -nepuk pundak Mahsa, karena hanya itu yang bisa
dilakukannya setelah hampir lima belas menit sahabatnya itu menutup wajahnya
dengan kedua tangan. Kok betah ya?
Usai
rapat ceking akhir sore itu, Una memang pulang bareng sama Mahsa dan Nurul.
Tapi, sama seperti ketika akan meninggalkan ruang rapat, di sepanjang jalan pun
Mahsa tak banyak bicara. Malah wajahnya tampak sangat gelap oleh mendung.
Itulah sebabnya begitu sampai di Sang Pecinta, Una tidak langsung balik ke Pena
4. Karena penasaran ia diam-diam mengikuti langkah Mahsa yang ternyata tidak
berakhir di kamar. Teman sekelasnya itu malah bablas menaiki tangga yang menuju
ke jemuran.
“Sa,
kalau kamu masih sakit hati karena aku, untuk yang kesekian kalinya, plis
maafin aku. Buang semua dendammu sama aku. Aku benar - benar ingin kita
bersahabat seperti dulu lagi!”
Mahsa
tetap pada posisi yang sama. Dengan kepala sedikit bergerak - gerak karena
isakan. Sore sudah akan beranjak menuju malam. Suara disel masih terdengar
nyaring memekakkan telinga. Berbanding dengan suara riuh rendah para santri
yang berebut antrian untuk mandi atau mengambil air wudhu.
“Atau,
Sa. Kalau kamu membutuhkan teman untuk sekadar berbagi perasaan, aku siap kok
untuk mendengarkan. Jelek -jelek gini, aku kan sudah teruji,” Una mempromosikan
diri. “Kalau tidak dalam menit ini, aku bersedia kok menunggu sampai menitnya
itu tiba,” lanjutnya sambil ikutan duduk di samping Mahsa, bersandarkan pagar
dinding jemuran. Ia selonjorkan kakinya yang kini terasa pegal dan kesemutan.
“Hiks…hiks…hiks,”
sekarang isakan arek Surabaya itu mulai terdengar jelas. Ia tak lagi menutupkan
tangan ke wajahnya. Dan, ini membuat Una tersenyum senang. Usahanya membuahkan
hasil.
“Sebenarnya dari
dulu aku pingin curhat ke kamu. Tapi, aku selalu nggak bisa. Yang aku bisa cuma
jengkel dan marah sama kamu. Maafin aku ya.
Hiks… hiks…hiks,”
suara Mahsa terdengar pelan.
“Sudah. Sekarang ngomong aja. Aku sudah lupa
kok dengan yang kemarin-kemarin,” jawab Una bijak.
“Emm,”
Mahsa menyeka sisa air mata di pipinya. “Sebenarnya aku sudah menyatakan
perasaanku sama Raziv, pas aku ada rapat Penerima Tamu beberapa minggu yang
lalu. Tapi…,” Mahsa terdiam. Pada sorot matanya seperti ada keraguan. “Tapi,
sore itu juga ia menolak aku…”
Spontan
mulut Una ternganga. Mendengar Mahsa berani ngomong seneng sama cowok aja Una
sudah kaget, apalagi sampai ditolak -tolak segala. Suer! Kalau saja sebelumnya
dikasih tahu, ia pasti akan mencegah Mahsa habis-habisan. Bukan karena
keberaniannya yang nekat itu, melainkan seberapa siap sih Mahsa menerima risiko
dari keterusterangannya itu. Baik diterima, apalagi kalau ditolak.
“Tuh
kan, kamu pasti mau nyalahin aku. Cewek kok berani -beraninya mendahului
cowok!” Mahsa cemberut.
Una
malah tersenyum, “Kamu tuh jangan suuzhan
dulu. Aku justru bangga dengan keberanianmu. Seperti Ibu Khadijah yang melamar
Rasulallah Saw. Pasti kamu terinspirasi oleh beliau ya?”
Mahsa
malah kaget, “Eh, emang… Oh iya-ya.” Senyumnya malu-malu, dan Una tahu apa
maksud di balik itu.
“Jadi,
sebenarnya apa yang mendorong kamu ngomong langsung ke Raziv?”
Mahsa
menunduk, “Habis aku sakit hati, merasa kalah satu langkah sama kamu. Sekalian
aja aku ingin membuktikan kalau aku lebih menarik dan dipilih sama Raziv.. Biar
mata kamu terbuka.”
“Duh,
Mahsa-Mahsa,” ucap Una sambil geleng-geleng kepala. “Tanpa kamu buka dengan
paksa pun, mataku sudah terbuka. Aku memang pertama kali merasakan sesuatu ya
sama Raziv. Tapi, aku kan nggak buta. Aku masih punya naluri dan pikiran. Aku
juga tahu siapa Raziv, siapa kamu, dan siapa aku.”
“Berarti kamu
nyalahin aku ya?”
“Nyalahin
sih enggak. Cuma nggak setuju aja. Bukan karena aku nggak mau dikalahkan atau
karena kamu cewek. Tapi, karena kamu tidak serius dan belum siap dengan risiko
dari pengungkapan itu. Motivasimu aja sudah nggak bener. Pantas kalau kamu jadi
stres dan uring -uringan pas ternyata Raziv menolak kamu.”
“Makanya,
tadi sore aku rasanya malu banget, campur marah dan kesal!”
“Hahaha,
pantesan!” Una tak kuasa menahan tawanya. Sekarang ia tahu jawaban pertanyaan: Limadza tsumma limadza? yang sempat
bikin ia mikir-mikir itu.
“Tuh kan ngeledek!”
“Pasti
malu banget ya. Pede ngomong duluan, eh ditolak. Ketemuan lagi,” Una meneruskan
tawanya. Tapi buru -buru ia meralat, “Sorri, aku guyon. Abis kamu juga sih,
sudah berbuat kok nggak mau bertang -gung jawab menerima risikonya. Kata Mbak
Upik, kalau kamu tidak berani menanggung rasa malu karena ditolak, apalagi
sampai tidak mau berhubungan baik lagi sama cowok itu, mending jangan
ngungkapin perasaan. Itu namanya pengecut!”
Mahsa
terdiam. Dalam hati ia mulai merasa kalau ada banyak perubahan pada pola pikir
temannya itu.
“Sudah.
Lupain aja. Lagian kamu gak bakalan ketemu dia setiap hari. Lama-lama kalau
dicuekin akan hilang sendiri kok,” Una mulai berbagi pengalaman tentang
bagai-mana cara menetralkan perasaan. Membuat Mahsa jadi bengong. “Eh, tahu
nggak. Aku malah seneng lho Raziv menolak kamu. Soalnya kalian tuh gak sekufu.
Dari dulu sebenarnya aku mau ngomongin ini. Tapi, aku takut kamu marahin aku.”
“Enggak sekufu?”
“Kalian
emang sama-sama berdarah kuning. Eh maksudku, keturunan kiai yang biasa ngajar
kitab kuning. Tapi, penampilan -mu jauh lebih menarik ketimbang dia. Dan satu
lagi, memori Raziv tuh payah banget. Buktinya tadi sore, nama Launa Zidka aja
nggak ada diingatnya. Padahal guyonannya sama aku dekat banget lho, sampai
bikin temanku cemburu,” Una senyum-senyum.
“Sialan!” Mahsa
tersenyum malu-malu lagi.
“Nah,
daripada sakit hati mikirin Raziv mending dibuat senyum aja, kan lewat. Kamu
harus tunjukkan kalau Raziv yang menolak kamu itu ternyata tidak lebih segalanya
dari kamu. Yakin dan percaya deh sama aku, perempuan baik-baik insyaallah akan
berjodoh dengan laki-laki yang baik-baik pula,” Una menyampaikan ceramah
sorenya. Kelihatan sekali kalau ia jauh lebih berpengalaman dari Mahsa. Teman
satu kelasnya itu sampai-sampai tak berkedip melihat ekspresi wajahnya yang
berapi -api.
Enggak
cuma itu, di remang-remang waktu maghrib, Mahsa masih bisa melihat ada yang
hilang dari pipi temannya itu…
“Heh, malah
bengong!”
Mahsa
spontan mengedipkan mata, “Eh, jerawat kamu sudah bubaran ya?”
“Oh, merhatiin jerawat?” Una menggerak -gerakkan kedua pipinya. “Kamu
percaya nggak, aku cuma pakai jeruk nipis sama rajin cuci muka lho…”
Mahsa mendelik,
“Masak?”
“Tapi,
ati-ati. Jangan gampang stres. Jadi, kalau pun toh sekali waktu jerawat itu
muncul, apalagi menjelang haid, ya anggap biasa aja lagi.”
Tiba-tiba
Mahsa menepuk jidatnya seperti melupakan sesuatu, kemudian menepuk pundak Una
kaget, “Ya ampun, Un! Maghribnya sudah lewat. Kamu ninggalin jamaah! Aduh,
sorri Un!” Mahsa membaha - sakan rasa bersalahnya.
“Kamu,
shalat enggak?” balas Una santai. Mahsa menggeleng. “Ya, aku juga enggak.”
Mahsa membelalak
kaget.
“Iya, aku sekarang sudah mens. Lagian gila apa ngobrol berlama -lama
di sini sampai ninggalin jamaah maghrib segala kalau tidak karena sedang
libur.”
Mahsa
menggeleng-gelengkan kepala tak percaya sambil terus mempertahankan belalakan
matanya. “Ya ampun, Un. Masak sih!” ia masih tak percaya. “Aduh, aku
benar-benar menyesal sudah melewatkan momen pertumpahan darahmu!”
“Hu,
padahal seru lho!” Una tersenyum, kemudian mulailah ia cas cis cus lagi
menceritakan pengalamannya itu. Ia juga Mahsa tak lagi peduli jamaah maghrib
sudah selesai lima belas menit yang lalu. Pemean
yang semula remang-remang, kini sudah penuh dalam keremangannya. Malam itu
mereka bersepakat untuk tidak mandi, Cuma ganti pembalut, sebelum kemudian bersama-sama
berangkat pengajian.
Usai
perdamaian itu, rasa-rasanya Una bisa terbang ke awang -awang. Bebas
sebebas-bebasnya dan plong seplong-plongnya. Demikian juga dengan Mahsa. Tak
ada lagi sebentuk celurit pada wajahnya tiap kali
papasan sama Una.
Mereka sudah bisa duduk berdekatan lagi waktu klasikal, belajar bersama waktu takrar, juga tidur bareng-bareng lagi di
mushala.
“Duh, yang jerawatnya sudah kepencet,” celetuk Upik ketika suatu malam
mendapati dua sahabat itu lagi asyik memahami lembaran kitab Fathul Qarib. Kebetulan materi ujian pondok
esok harinya adalah fikih.
“Jerawat siapa,
Mbak?” Mahsa bingung.
“Ya,
jerawat kalian. Jerawat yang yang membikin capek pikiran dan mengganggu di
antara kalian…”
“Oh,
jerawat yang itu,” Mahsa tersenyum. “Semua kan berkat usaha Una yang sudah aqil, baligh, dan mukallaf itu.
Ya kan, Un?”
Una
mencibir, tak berkomentar apa-apa. Seperti ketika ia mendengar ledekan Mahsa
yang lain. Bukan karena ia marah, justru ia senang Mahsa tak sungkan-sungkan
lagi meledeknya. Lebih lagi, sekarang ia bisa memahami kalau dengan ledekan
itulah Mahsa menunjukkan kedekatan dan perhatiannya.
Sama
halnya ketika suatu siang, usai mengerjakan soal -soal Biologi, Una mengajak
Mahsa ke toko GOYANG untuk beli bra. Spontan Mahsa berkomentar, “Hai-hai, mau
beli bra? Emang sudah pantas gitu?”
“Mahsa!”
Una melotot sambil mencubit lengan Mahsa yang sudah tega berceletuk
keras-keras. Untung waktu itu tak ada anak putera yang melintas di jalan
yayasan.
Mahsa ngakak. “Eh, emang sudah membentuk gitu, dadamu itu?” ia masih
melanjutkan ledekannya. “Atau karena yang njaga ujian tadi Pak Mustafid ya?”
“Mahsa,
plis deh,” ulang Una untuk kesekian kalinya. “Aku kan nggak tahu ukuran yang
pas buat aku tuh berapa…”
“Iya-iya,”
jawab Mahsa akhirnya. “Kenapa langsung pakai bra, Un. Enggak miniset aja.”
“Miniset? Apaan
itu?”
Mahsa
mengeleng-gelengkan kepala. “Kamu tuh emang cuek banget ya sama yang berbau
perempuan. Sudah, nanti ngelihat langsung saja. Aku jelasin detil-detil juga
nggak bakal paham!”
Sampai
di sini Una merasa bersyukur banget sudah baikan sama Mahsa. Ia tak harus
kucing-kucingan apalagi malu untuk beli bra atau
miniset.
Ketika kaos dalamnya sudah tidak enak lagi untuk dipakai karena bentuk tubuhnya
yang mulai berubah setelah menstruasi .
“Makasih ya, Sa. Kamu mau bantuin aku,” ucap Una pelan penuh rasa haru
malam harinya. Mahsa yang biasanya suka ceplas -ceplos aja sampai dibikin
tersentuh.
“Cuma nemenin, apa
susahnya?”
Una cuma mengangguk.
Tapi, tiba-tiba matanya berair. Ia menunduk.
“Hai, kok malah
nangis?”
Una
menyeka tetesan bening di pipinya. “Satu bulan ke depan, kita masih bisa bareng
kayak gini nggak ya?” ucapnya parau. “Kamu jadi pindah ke Ciamis kan?”
“Hmm,”
Mahsa cuma mendesah. Sebagai ganti dari ucapan iya untuk mengiyakan pertanyaan
Una.
“Kenapa
nggak nerusin di sini saja, Sa. Kalau niatan kamu mau ke Al - Azhar, kan bisa
masuk Muallimat dulu?”
“Hmmm,
taulah. Masih bingung mau nerusin di mana,” jawab Mahsa akhirnya. “Kamu sendiri,
pasti ke Muallimat ya?”
“Mauku
sih seperti itu. Tapi, pada akhirnya Allah juga kan yang menentukan?”
Mahsa mengangguk. Kali ini ia sudah ikut-ikutan berurai air mata.
Entah, meski malam Muwada’ah masih beberapa minggu lagi, ia sudah merasakan
dekatnya sebuah perpisahan.
tiga
“Untuk Launa Zidka…”
“Mahsa! Balikin surat
itu. Aku belum selesai baca!”
Mahsa
malah tertawa, kemudian membaca keras -keras surat di tangannya.
Assalamualaikum wr.
wb.
Alhamdulillah Ayah,
Ibu, Mas Isytifa’ juga Isti dan Thariq dalam keadaan sehat walafiat. Semoga Una
di pondok juga sehat dan tak kurang suatu apa.
Bulan ini Ayah-Ibu
sengaja melebihkan kiriman karena tentunya Una harus membayar biaya ujian dan
perpisahan. Kebetulan bulan ini sawah kita panen, jadi hasilnya bisa Ayah jual
buat keperluan Una. Semuanya berjumlah Rp800.000. Tolong dipergunakan sebaik -
baiknya ya.
Ayah Ibu dan
keluarga di rumah selalu berdoa untuk keberhasilan dan keberkahan studi yang
tengah Una jalani. Una tidak perlu banyak membebani pikiran dengan urusan
rumah. Apalagi soal biaya. Allah Mahakaya dan Berlimpah. Wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib. Bagi orang yang bertakwa, semua persoalan pasti ada jalan keluar.
Jadi, kalau Una
memang ingin terus melanjutkan studi di pondok, mantapkan niat itu dan
laksanakanlah. Ayah-Ibu selalu mendukung dan merestui Una.
Wassalamualaikum wr
wb.
Salam sayang,
Ayah
“Lho, bukannya ini
surat yang dulu?” Una mengangguk malas, “Sini, suratnya!”
“Hm,
pasti lagi kangen rumah. Kok dibaca lagi?” tebak Mahsa sambil menyerahkan
lembaran kertas di tangannya.
“Tau nih, jadi kangen sama Ayah. Gara -gara
semalam mimpi ngelihat Ayah, em…lagi ngapa entah nggak jelas.”
“Tapi, Ayahmu
baik-baik aja kan?”
“Pas
nelpon kemarin, kata Ibu sih baik -baik aja. Cuma Ayah minta maaf, besok malam
pas Muwada’ah nggak bisa datang.”
“Oh,
berarti mimpimu itu cuma kembange wong turu.
Pertanda kalau kamu tuh sebenarnya merindukan Ayahmu.”
“Pikirku
juga begitu,” Una tersenyum tipis. Tangannya asyik melipat kertas surat itu,
lalu memasukkannya ke dalam amplop. “Belum pada datang ya?”
Mahsa
menggeleng dengan pandangan menyapu ke seluruh halaman sekolah. Tidak sepi sih,
ada beberapa anak putera yang sibuk menata panggung dan dekorasi. Tapi, para
undangan dan panitia yang berkepentingan mengikuti gladi resik siang itu tampak
belum ada yang datang, kecuali Mahsa dan Una.
Sudah
tiga hari ini kedua sahabat itu memeras keringat ikut mempersiapkan pelaksanaan
malam Muwada’ ah. Mereka ikut bantu-bantu menggoreng atau sekadar iris-mengiris
di dapur panitia yang terletak di belakang ndalem Pondok Bhineka. Sebenarnya
sih mereka tidak ada pengalaman untuk dua pekerjaan itu. Tapi, karena kerjanya
rame-rame ples ditemani beberapa panitia putera, apalagi di hadapan Raziv,
dengan cepat mereka pun belajar sekaligus praktik. Jaga gengsi kan? Masak
ngiris bawang aja nggak bisa?
Mungkin
inilah yang dimaksud Mahsa dengan serunya menjadi panitia Muwada’ah, meski rasa
capeknya jangan ditany a. Sehabis ujian bukannya refreshing tamasya ke mana
gitu atau istirahat di puncak apa gitu, malah mondar-mandir supersibuk.
“Hai, sudah lama ya?” Raziv tampak sudah berdiri di belakang Mahsa dan
Una yang duduk-duduk di emperan kelas. Ia tak sendiri, ada Labiq di sampingnya.
Mahsa mengiyakan. Meski sudah berkali-kali ketemu, terutama sejak
repot-repot memasak, tak urung ada juga yang berdegup di dada Mahsa. Eh, dada
Una juga iya! Tapi, demi menjaga imej, mereka pasang tampang detektif. Cool gitu loh!
“Iya
nih, sampai berlumut. Emang jamnya pakai karet ya, kok bisa molor gini,” Mahsa
bersikap santai.
“Biasalah,
jam WIB. Waktu Insyaallah Barokah,” Raziv tertawa. “Ngomong-ngomong, selamat ya
jadi terbaik nomor lima, dan kamu Una, terbaik nomor sepuluh.”
“Hei,
kok tahu sih!” Mahsa protes. Soalnya, urutan nama -nama peraih nilai ujian
akhir terbaik lima belas memang tidak dipasang di papan pengumuman. Cuma
dituliskan di undangan sesuai dengan nama dan urutan masing-masing.
“Yah,
informasi kan bisa dilacak di mana -mana. Apalagi TU MTsN kan guru ngajiku di
pondok.”
“Kamu
dapet nomor berapa, Ziv?” tanya Una penasaran. Kalau selama ini sudah tersiar
kabar tentang kepintaran Raziv, paling tidak nilai ujian akhirnya harus di atas
posisi Mahsa. Nomor empat, tiga, atau mala h satu.
“Ah, ntar juga
tahu,” Raziv malu-malu.
“Sok banget sih
kamu,” celetuk Mahsa.
“Maklum,
Raziv kali ini harus menerima kenyataan pahit. Menyesal sudah menolak cewek
yang dapat urutan lebih tinggi dari dirinya…”
“Ssst!”
isyarat Raziv ini secara otomatis menghentikan nyanyian sang koordinator
konsumsi putera itu. “Sorry ya. Terus
terang aku akui, kalian hebat! Aku salut!” lanjutnya sambil mengacungkan dua
ibu jarinya secara bersamaan. Setelah itu, ia menarik tangan Labiq untuk
meneruskan langkah mendekati panggung.
Una dan Mahsa cuma
melongo.
Mendapat
posisi di urutan kesepuluh bagi Una sudah merupakan anugerah. Karena urutan ini
tidak hanya didasarkan pada jumlah nilai akhir MTsN dan MTs Plus saja. Ada lima
sekolah lain di luar Manahijul Muridin yang masuk di bawah filial MTsN. Jadi,
lumayan ketatlah kompetisinya.
Dari
awal ujian, sebenarnya Una tak berharap macam -macam. Cukup bisa lulus dengan
nilai tidak jelek -jelek amat. Tapi, ternyata yang terjadi malah lebih indah
dari harapannya. Mungkin berkat doa Ayah Ibu di rumah kali ya.
Itulah
kenapa ketika namanya disebut setelah Raziv, untuk naik ke panggung, ia tak
kuasa menahan rasa harunya. Kalau saja bisa cuek, ingin
rasanya
ia menangis. Apalagi hampir semua teman -temannya tampak bisa berdiri dengan
bangga di tempat yang tinggi itu berdampingan dengan Ayah atau Ibu
masing-masing. Sementara Una…
“Maaf. Terlambat,” Upik tersenyum mohon maklum ke semua pasang mata
yang melihatnya naik ke atas panggung, kemudian mengambil posisi di sebelah
kanan Una.
“Pede banget gitu
loh!” Una berbisik.
“Hus sudah. Soal pede atau nggak punya malu itu urusan nanti,” balas
Upik cuek. “Yang penting aku sudah melaksanakan amanahmu untuk mewakili
Ayah-Ibumu malam ini.”
“Kok telat sih,
Mbak?”
“Tadi
pas mau berangkat, ada telpon. Jadi, aku harus nunggu dulu. Lagian, aku kira
naik panggungnya masih nanti.”
“Telpon? Telpon buat
Mbak Upik?”
“Buat kamu.”
Tiba-tiba Una merasa
nggak enak. “Dari mana?” “Dari Ibumu.”
“Ibu? Nggak ada apa-apa kan, Mbak?” sekarang nggak cuma perasaan Una
aja yang nggak enak, pikirannya juga tak tenang.
“Enggak. Sudah
ceritanya nanti aja ya.”
Una mengangguk dengan terpaksa. Apalagi, Pak Gentur yang didaulat
menyerahkan hadiah sudah bergerak mendekati peraih the best pertama, kedua, ketiga, hingga sampai ke hadapan Una.
“Selamat ya…”
“Mm…makasih,
Pak,” ucap Una kagok. Hampir saja gulungan berbungkus kertas kado yang
diserahkan Pak Kepala Sekolah MTsN itu menggelinding. Raziv aja sampai
tersenyum -senyum.
“Gulungannya terlalu
ringan sih!” celetuk Upik berbisik.
“Iya.
Cuma selembar ucapan: selamat mendengarkan sambutan Pak Gentur sambil berdiri,”
balas Una ngawur.
Tapi,
memang benar. Una dan teman-temannya harus berdiri sepuluh menitan lebih sampai
pidato Pak Kepala Sekolah itu selesai. Makanya, begitu sosok kharismatik itu
mengucap salam, buru -buru Una mengikuti langkah teman di sebelah kirinya
menuruni panggung.
“Mbak, ada kabar apa?” Una kembali teringat
dengan janji Upik begitu kakinya menapak di ruang kelas VIIA, tempat transit
semua panitia.
Upik diam sejenak, digenggamnya telapak tangan Una kuat -kuat. “Ibu
kamu seneng banget pas aku bilang kalau kamu termasuk lima belas anak yang the best. Trus…em,” Upik terdiam. Ia
menarik napas dalam -dalam.
“Trus kenapa, Mbak?
Bikin penasaran aja!”
“Hm,”
Upik mendesah. Kini matanya tampak berkaca -kaca, seperti memendam beban yang
tak sanggup ia ucapkan.
“Mbak!
Ada apa sih? Apa…,” Una juga tak sanggup meneruskan kata - katanya. Bayang kekhawatiran
akan Ayahnya kembali memenuhi benaknya.
“Tenang
Una. Jangan berpikiran yang macam-macam. Sorry
kalau aku nangis. Aku Cuma merasa terharu sampai-sampai susah buat
ngomonginnya. Aku bangga sama kamu yang begitu tegar meskipun malam bahagiamu
ini tak dihadiri Ayah-Ibumu. Apalagi…,” Upik terdiam lagi.
“Apa, Mbak?” Una
semakin penasaran.
“Ah
sudahlah. Selamat ya atas prestasimu. Yang jelas nggak cuma aku, Ayah-Ibumu
juga bangga sama kamu.”
“Masak cuma itu?”
“Oya, aku hampir
lupa. Ibu sudah mempersiapkan hadiah buat kamu.”
“Ha! Yang bener! Apa
Mbak?”
“Malam
ini Lek Zam sedang meluncur ke Mojokerto. Kata Ibumu sih biar dapat izin pulang
barang seminggu dari Mbah Nyai, sambil jalan -jalan refreshing. Tau ke Jogja,
ke Jakarta, atau ke Bali.”
“Hu,
seneng banget. Aku juga mau,” celetuk Mahsa yang barusan datang dari kamar
mandi. Wajahnya tampak basah oleh air.
“Gimana, kamu seneng
kan?”
Kening
Una berkerut, antara percaya dan tidak. Tapi, kemudian ia mengangguk. Senyumnya
terukir merekah. Tapi, jujur di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih
tak habis mengerti ada apa sebenarnya di balik hadiah Ibu. Apalagi ketika
dengan serta merta Upik meraihnya dalam pelukan sambil menangis sesenggukan.
Una tiba -tiba benar-benar merasa takut.
“Ada apa sih, Mbak.
Kok sesenggukan gitu,” Mahsa juga jadi bingung.
Upik
melepaskan pelukannya. Sambil mengusap matanya ia tersenyum. “Suer aku cuma
terharu dan kagum sama kamu, Adik kecilku yang sudah dewasa!” ucapnya parau.
“Makasih, Kakak!”
balas Mahsa lucu.
“Makasih
kembali. Kakak balik dulu ya ke kursi undangan. Sampai jumpa di pondok,” dan
klebat! Upik segera berlalu dari hadapan Una dan Mahsa.
Setelah
itu, ia tak perlu sungkan apalagi takut untuk meneruskan aliran air di matanya.
Ternyata tidak mudah untuk berakting demi memenuhi permintaan Ibu Una, agar
buah hatinya itu tetap bis a menikmati malam perpisahan bersama teman-temannya,
tanpa harus tahu kalau malam itu ia juga berpisah dengan sang Ayah untuk selama
- lamanya.
Selesai
Ad-da’watul
a’iliyyah liukhtina Launa Zidka min Boyolali narju khudhuraha ilal baitil
gharbi liqabulil hatif: panggilan keluarga untuk saudari Launa Zidka, supaya menerima telpon di Ndalem Barat.
Adda’watul muhimmah: panggilan penting.
Alhamdulillahi ‘ala kulli halin, wa
astaghfirullaha ‘ala kulli dzambin: ucapan syukur
dan mohon ampunan.
Al-mustahiqqah hadzal amrad al-haqirah
al-faqirah ila rahmati rabbiha Mahsa: yang berhak atas pemuda ini adalah Mahsa.
Badha apa sih, Kak?
Nja’ tadha’ pa -apa. Engko’ ghi rapat setiah. Tape la mareh: ada apa sih, Kak?
Nggak apa-apa. Aku lagi rapat. Tapi sudah
selesai sih.
Biasah wae to, ra usah nganggo nesu: biasa
aja, gak usah pakai marah.
Dampar: meja pendek untuk menulis.
Dhabith: ingatan tajam.
Emboh, gak ruh: gak tahu.
Farji: kemaluan.
Fashlun ai hadza
fashlun, utawi iki iku ono fasal …: pasal
menerangkan persoalan haid, nifas,
dan istihadhah.
Gawagis: golongan gus.
Gembretan wedus: embikan kambing.
Ghashab: memakai kepunyaan orang lain tanpa izin.
Ghadhab: marah.
Humaira’: kemerah-merahan.
Huwal habib: satu bait dari Burdah.
Israf: berlebihan.
Jeding: kamar mandi.
Kate ngopo: mau apa?
Kleleran: tercecer.
Koen-koen: kalian.
Kos: jatah makan.
Limadza tsumma limadza?: kenapa dan kenapa?
Mejeng tah?: ngeceng ya?
Meksi: span panjang.
Mufradat: daftar kata.
Muthalaah: pelajaran bahasa Arab.
Muwada’ah:
perpisahan.
Nambal: menyalin makna kitab.
Ndaeng: ngobrol.
Ngenyek: menghina.
Pemean: jemuran.
Sambang/dipanggil: dijenguk orang
tua.
Sekolah I’dad:
sekolah persiapan.
Sepurane: maaf.
Weton: pengajian kitab kuning.
Yaqin bilqaf: yaqin, memakai huruf qaf.
menarik kak kak ceritanya menginspirasi bgt ππ
BalasHapusmenarik kak,menginspirasi bgt ππ
BalasHapuscukup menginspirasi
BalasHapusbaguss.tulis lagi yg lebih menginspirasi orang .....
BalasHapusBagus, terus berkarya dan lebih menginspirasi orang
BalasHapusTeruslah berkarya dengan kemampuan mu
BalasHapusCerpennya keren menginpirasi bgt,saya tunggu karangan selanjutnya,smngat trus ya:)
BalasHapusKerennn nih tulisanya ππ
BalasHapusKeep writing cah ayu
BalasHapusCeritanya bener2 bagus lanjutkan karyamu yg bagus ini.
BalasHapusKeren, suka sama ceritanya, rekomended banget buat dibaca.
BalasHapusDitunggu karya selanjutnya.
Suka deh sama cerpennya, ditunggu cerpen selanjutnya ya syantik π
BalasHapusCeritanya bagus bgt,keren,lucu.
BalasHapusNyesel deh kalo gk baca.
Terus berkarya dan semangat
ditunggu karya2 selanjutnya
Menarik kak ceritanya..
BalasHapusCeritanya baguss sekali boss kuhh
BalasHapusJempol tenan critanya lanjutkan syantik ....
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusI like critamu, lanjutkan kawan..
BalasHapusTeruslah berkarya.
Ceritanya sangat menarik..ditunggu cerita selanjutnyaπ
BalasHapusBagus sekali cerpen nya
BalasHapusCeritanya sangat lucu..ditunggu cerita yang lain.
BalasHapusNiceπ I like itπππ
BalasHapusGood kakππ
BalasHapusMantapππππππ
BalasHapusThe best ��lanjutkan bakatmu ..tentunya jangan lupa berdo'a ya sebelum memulai apapun ��sukses dan semangat terus ����
BalasHapuskeren..... lanjutkan
BalasHapusKerenn. .Sukses terus ππ
BalasHapusKeren. .
BalasHapussemoga sukses untuk kedepannya buat kamu
BalasHapusCeritanya bagus, cukup menginspirasi pembaca.
BalasHapusLanjutkan berkarya